7. Peringatan
"Ya Tuhan, wanita ini memang cerewet sekali," keluh Maximillano dalam hati saat mendengar ibunya membicarakan seseorang.
"Siapa dia?" tanyanya langsung tanpa basa-basi, membuat Nyonya Ortiz hampir tersedak makanannya.
Maria, wanita yang menjadi topik pembicaraan, terlihat kesal dengan pertanyaan Maximillano. Dia berusaha menyembunyikan rasa kecewanya, tapi wajahnya sudah menggambarkan segalanya. Dalam hati, Maria bertanya-tanya mengapa Maximillano melontarkan pertanyaan itu padanya. Maria hanya bisa memasang senyuman palsu di wajahnya sambil menggenggam garpu di tangannya erat-erat.
"Max, apakah kamu bercanda? Bagaimana kamu bisa melontarkan pertanyaan konyol seperti itu? Ini Maria, teman masa kecilmu. Saat kamu berumur enam tahun, kamu biasa menyebut dan memanggilnya 'pengantinmu'. Apakah kamu begitu cepat lupa?" sahut Nyonya Ortiz sambil tersenyum penuh harap.
Maximillano mengerutkan wajahnya dengan jijik, merasa terganggu oleh kenangan masa kecilnya yang dibahas oleh ibunya. Dia berpikir dalam hati, 'Pasti aku sudah gila saat kecil dulu. Bagaimana mungkin aku menyebutnya sebagai pengantin ku?'
Dalam benak Maximillano, dia mulai merasa kesal pada diri sendiri karena tidak mengingat sosok Maria yang begitu dekat dengannya di masa lalu.
"Oh, dia akan mendapatkan pekerjaan itu berdasarkan kemampuannya. Aku tidak akan mengesampingkan kualifikasi hanya karena dia adalah putri temanmu," ujar Maximillano, mengalihkan pembicaraan.
Maria terkejut. 'Apakah Maximillano benar-benar tidak ingat aku dan menganggapku hanya sebagai putri teman ibunya?' gumam Maria dalam hati.
Dia merasa hatinya tercabik kembali. Ingatannya kembali pada masa-masa sulit saat ia sedang menempuh pendidikannya di Kanada. Tak ada hari yang dilewatkannya tanpa melihat foto-foto Maximillano secara online, bahkan dia mengumpulkan berbagai majalah yang menampilkan wajah pria itu.
Maria berharap Maximillano akan memeluknya dan merasa bahagia karena kehadirannya kembali. Namun, mendengar ucapan dan melihat reaksi Maximillano membuatnya terkejut. 'Apakah dia sengaja mengatakan ini, atau memang dia benar-benar tidak mengingatku?' batin Maria.
Perempuan itu menatap Maximillano dengan penuh kekaguman; wajah tampan yang terpahat, hidung mancung, serta bibir tipis berwarna merah muda. Kulit halus tanpa cela dan rambut hitam legam yang disisir rapi ke belakang seakan menambah keanggunannya.
Maria merasa seakan tertantang, 'Aku takkan menyerah padanya. Ya, aku akan berjuang habis-habisan untuk membuatnya jatuh hati. Aku yakin, suatu hari nanti, dia akan menyadari betapa istimewanya aku dalam hidupnya,' gumamnya dalam hati sambil menarik napas dalam-dalam, memupuk keberanian yang tak pernah ada sebelumnya.
*
*
*
Anasera sibuk membersihkan kamar bersama Arvany setelah selesai berbelanja, mengganti berbagai perabotan di apartemen mereka. Semangat mereka terlihat mencuat dari setiap detail tempat tersebut, terutama dari setiap pilihan perabot yang baru mereka beli.
"Ana, aku suka banget sama dompet Chanelmu yang ini!" ucap Arvany, memuji dompet merah muda itu yang menjadi incaran matanya. "Aku jadi pengin punya juga. Kapan kamu akan bosan sama dompet ini?"
Tawa Anasera meledak, menyebar kehangatan antara mereka berdua. Ia melihat Arvany dengan sinar mata yang penuh canda.
"Baiklah, kau boleh mengambilnya, oke?"
Anasera menyodorkan dompet itu, namun, sayangnya, dompet itu meluncur dari genggaman tangannya dan isinya menghambur di lantai. Arvany mendecak kecil, lalu berjongkok untuk mengambil isinya yang bertebaran di lantai. Ia merapikan tiap-tiap barang dengan sabar, memasukkannya kembali ke dalam tas, yang akhirnya hanya tersisa satu.
Tiba-tiba, matanya terpana pada sebuah jam tangan silver yang bersinar dengan pesona luar biasa. Itu adalah sesuatu yang bahkan sebelumnya tak ia sadari ada dalam koleksi Anasera.
“Wow Ana, kamu tajir banget ternyata,” celetuk Arvany pada Anasera sambil mengobrak-abrik arlojinya.
Suasana hati Anasera langsung berubah saat melihat jam tangan itu. Dia menarik napas dalam-dalam, "itu bukan milikku. Aku nemuin itu keesokan harinya di kamar hotel," jelasnya.
Arvany langsung ngeh, "ini jam tangan cowok, pasti harganya mahal banget. Maksudku, aku belum pernah liat desain kayak gini sebelumnya. Apa mungkin jika yang bersamamu saat itu dalah anak konglomerat atau CEO, gitu?" dia berkata dengan mata melebar.
Anasera mendelik, "duh, please deh. Aku yakin kalo harga arloji itu nggak akan lebih dari 100 juta rupiaj. Jadi, berhentilah berkhayal kalo benda itu seberharga itu," ujar Anasera dan melempar arloji itu ke dalam laci.
Arvany mengangkat bahunya, "yaudah, kalo kamu bilang gitu," katanya.
*
*
*
TIGA BULAN KEMUDIAN
Anasera tengah bersiap-siap untuk berangkat kerja sambil melihat bayangannya di cermin. Benjolan perutnya kini semakin terlihat jelas, membuat para karyawan di kantornya bergosip. Bagaimana mungkin seorang wanita lajang bisa hamil dalam semalam? Anasera tahu itulah yang dipikirkan banyak orang, namun dia tak merasa perlu menjelaskan apapun kepada siapa pun, dan tak ada yang berani menanyakan hal itu padanya. Anasera berjalan perlahan, usia kandungannya sudah lima bulan, namun beruntung tubuhnya yang mungil membuat perutnya tak terlihat terlalu besar. Sementara itu, Arvany juga sudah berpakaian rapi dan siap untuk bekerja.
"Udah siap?" tanya Arvany sambil mengambil kunci mobil dari meja kopi. Pacarnya baru saja membelikannya sebuah mobil baru sebagai kado ulang tahunnya sebulan lalu setelah melamarnya.
Anasera mengangguk sambil meminum air hangat dari botolnya.
"Kapan nih mau ambil cuti hamil dari kantor?" Tanya Arvany dengan nada khawatir.
"Sabar, bentar lagi kok, sekarang aku masih kuat buat kerja," jawab Anasera sambil tersenyum meyakinkan sahabatnya.
"Yaudah, kamu harus berangkat kerja lebih awal, jangan lupa ada janji buat pemeriksaan antenatal," Arvany mengingatkan Anasera.
"Iya, iya, cerewet amat sih," sahut Anasera dan mereka tertawa bersama.
Mereka segera menuju ke perusahaan Ortiz Grup. Setibanya di lobby perusahaan, Anasera turun dari mobil dan melambaikan tangan ke arah Arvany.
"Jaga baik-baik ponakan kembarku ya," pesan Arvany sebelum berlalu. Anasera mengangguk dan memasuki gedung perusahaan. Di bulan keempat kehamilannya, dokter mengkonfirmasi bahwa Anasera tengah mengandung anak kembar. Mendengar kabar tersebut, hati Anasera berbunga-bunga. Ia percaya bahwa bayi-bayi itu adalah sinar harapan dan kebahagiaan dalam hidupnya.
Perusahaan tempatnya bekerja akan meluncurkan karya agungnya dalam dua hari lagi. Semua orang di perusahaan itu sibuk dengan tugas yang diamanahkan kepada mereka. Berita ini telah tersebar di hampir di seluruh benua, menjadi topik pembicaraan di banyak negara yang menunggu-nunggu acara grand openingnya.
Hari ini bukan hanya tentang peluncuran karya baru mereka, tetapi juga lelang amal untuk mengumpulkan dana bagi anak-anak yatim piatu. Orang-orang dari berbagai latar belakang di seluruh dunia akan hadir, dan itulah mengapa segalanya harus berjalan sempurna.
Anasera segera melangkah ke dalam kerumunan yang ramai, namun tiba-tiba terhenti ketika mereka semua menatapnya sambil berbisik-bisik.
"Lihat saja dia, betapa tidak tahu malunya. Dia seolah tahu cara bersikap lebih baik daripada orang lain, tapi hamil tanpa tahu siapa orang yang menghamilinya."
"Kamu benar, dan dia masih berani menampakkan wajahnya di sini. Kalau aku, aku pasti akan kabur dari sini dan tak akan kembali lagi."
"Apakah dia menjual diri demi uang?"
"Apa dia akan menggugurkan anak itu? Aku pikir dia cuma jadi ibu pengganti demi uang."
Anasera tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dia sadar bahwa dirinya sudah menjadi sasaran gosip. Sudah tiga bulan terakhir mereka mengejeknya, namun dia tak pernah menanggapi apapun. Hinaan mereka masih bisa ditolerir, tetapi jika ada yang berkomentar tentang anak-anaknya, dia tak ingin tinggal diam, Anasera berjalan mendekati karyawan yang barusan mengeluarkan pernyataan itu, tatapannya begitu dingin hingga membuat semua orang merasa jika suhu ruangan seolah-olah turun.
"Apa tadi yang kamu katakan? Coba ulangi sekali lagi," ujar Anasera dengan nada tegas dan dingin.
Yang lain tampak ketakutan melihat sikap Anasera, tetapi wanita yang menjadi sumber pernyataan tadi tampaknya tak terintimidasi sama sekali.
Dia melipat tangannya ke dada. "Aku bilang kamu adalah ibu pengganti" kata perempuan itu percaya diri.
Plakkk....
Anasera menampar pipinya dengan meninggalkan bekas tangannya di wajah wanita itu.
Semua orang terkejut. Mereka belum pernah melihat sisi Anasera yang seperti ini; selama ini mereka menganggapnya sebagai orang yang mudah diintimidasi.
Wanita itu menatap tajam Anasera, "Kamu pikir menamparku akan menghentikanku mengungkap kebenaran? Yang lain mungkin takut padamu, tapi aku tidak," ucapnya penuh percaya diri.
"Sepertinya pendapat burukmu tak diperlukan. Menurutmu apa hakmu untuk ikut campur urusanku? Saat pacarmu berselingkuh dengan sahabatmu, teman-temanmu ini masih menggosipkanmu di belakang dan memanggilmu dengan berbagai nama. Tentu saja aku tidak mencoba memanipulasi mu. Kamu bisa bertanya langsung pada mereka," kata Anasera sambil pandangannya beralih ke para wanita yang ada di sana.
Anasera menatap tajam seluruh karyawan yang hadir di sana. Semakin dalam pikirannya terasa ingin melontarkan semua kekecewaannya, tapi ia tahu harus mengendalikan amarahnya. "Dan ini seharusnya menjadi peringatan bagi kalian semua. Jika selanjutnya aku masih mendengar ada orang yang mengatakan sesuatu yang buruk tentang aku dan anak-anakku, aku berjanji akan membuat orang itu membayar. Tandai kata-kataku," tegasnya, lalu segera meninggalkan tempat tersebut. Dalam benaknya, Anasera merasa haru dan marah sekaligus. Bagaimana bisa rekan kerjanya menilainya dengan begitu buruk?
Beberapa karyawan melirik Anasera dengan tatapan hormat dan kagum, tersadar akan kesalahan yang telah mereka perbuat. Mereka yang berbisik dan mengatakan hal-hal di belakang punggung Anasera merasa sangat malu.
Lita memelototi teman-temannya dengan mata yang berkaca-kaca. Seolah tak percaya, ia bertanya-tanya dalam hati: apakah mereka semua benar-benar tak mengenalku? "Wow! Terima kasih banyak atas semua yang kalian katakan," katanya sambil mencoba menahan tangis, lalu bergegas meninggalkan mereka.
"Lit..." Namun sebelum teman-temannya sempat memanggilnya, Lita telah menghilang dari pandangan mereka. Mereka tertegun, menyadari betapa menyakitkannya ucapan mereka tadi.
"Bagaimana Anasera mengetahuinya?" gumam salah satu wanita, menatap tajam ke arah Anasera tadi.
Yang tidak mereka ketahui, Anasera memiliki pendengaran yang begitu tajam sehingga ia mampu menangkap bisikan terhalus dari jauh. Itulah salah satu kelebihan luar biasa yang dimilikinya.