6. Kontrak Bisnis
Anasera kembali pulang dalam keadaan lelah dan berkeringat. Kali ini nasib sial menimpanya, tak ada taksi yang bisa ia dapatkan. Terpaksa, ia harus menempuh perjalanan pulang dengan berjalan kaki. Tak ayal, kaki Anasera pun gemetar karena sakit.
Sesampainya di rumah, ia langsung menjatuhkan diri di sofa dan merentangkan kakinya, merasa tak mampu melangkah lagi.
Arvany yang melihatnya dengan heran berjalan menghampiri Anasera. "Apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu terlihat berantakan seperti ini?" tanya Arvany dengan raut wajah prihatin.
Anasera mencoba menjelaskan kondisinya, "Hari ini sangat sibuk-" Namun, sebelum ia sempat melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba bel pintu berbunyi, menghentikan pembicaraan mereka.
"Apakah kamu mengundang seseorang?" Arvany bertanya dengan tatapan bingung sambil menatap jam dinding.
"tidak, aku tidak mengundang seseorang" Anasera menggelengkan kepalanya.
Arvany membuka pintu dan mendapati Tuan Prabu Wijaya yang berdiri di depan pintu apartemennya.
Rasa hormat yang dia miliki terhadap pria paru baya itu telah hilang sejak hari dia mengusir Anasera dari rumah.
Arvany berkacak pinggang dengan nada sinis, "Apa yang Anda inginkan?" ujarnya dengan penuh kebencian.
“Saya hanya ingin melihat putri saya,” jawab Tuan Prabu Wijaya dengan suara yang tenang dan berwibawa.
Arvany tertawa kecil, dia memandang Tuan Prabu Wijaya dengan tatapan sinis. "Anda pasti tersesat, Tuan. Kaylasha dan Lavanya tidak ada di sini," ujarnya dengan suara datar dan dingin.
Melihat ekspresi dingin di wajah sahabat putrinya, hati Tuan Prabu Wijaya terasa panas. "Arvany, apakah aku punya salah padamu? Aku hanya ingin melihat bagaimana keadaan Anasera," kata Tuan Prabu Wijaya dengan suara getir.
Rasa kesal Arvany semakin menjadi-jadi. "Hak apa yang Anda miliki untuk menyebut Anasera sebagai putri mu? Jika Anda benar-benar peduli, Anda tak akan mengusir seorang wanita hamil," jawabnya dengan suara yang mulai meninggi.
Di dalam apartemen, Anasera yang sedang berbaring di sofa merasakan ada sesuatu yang ganjil. Dengan malas ia bangkit dan berjalan menuju pintu.
"Vany, siapa yang-" Anasera terkejut melihat wajah ayahnya yang berdiri di luar rumah dan berhadapan dengan Arvany. Dia tidak pernah menyangka jika ayahnya akan mencarinya ke sini.
Anasera menoleh ke Arvany, "Bisa minta tolong, tinggalkan kamu berdua?" kata Anasera.
Arvany mengangguk dan masuk ke dalam rumah. Setelah sahabatnya pergi, Anasera kembali menoleh ke ayahnya. "Apa yang Anda inginkan?" Tuntut Anasera, berusaha untuk tegar.
"Ana, Daddy hanya ingin tahu bagaimana kabarmu" ujar Tuan Prabu Wijaya lembut sambil mencoba menyentuh pipi Anasera, namun gadis itu segera melangkah mundur dengan waspada, “Anda tidak perlu mengkhawatirkanku, aku sudah dewasa. Jika anda sudah tidak memiliki sesuatu yang penting untuk dikatakan, aku akan kembali ke dalam,” ucapnya dengan dingin. Terlihat jelas kebencian dari tatapan Anasera.
"Daddy minta maaf, nak, Daddy tahu Daddy belum bisa menjadi ayah yang baik bagimu. Omamu ingin bertemu denganmu” ujar Tuan Prabu Wijaya sambil menghela nafas cemas.
Tuan Prabu Wijaya tahu jika dia menyebutkan tentang Omanya, Anasera akan mau kembali ke rumah.
"Aku akan datang menemui oma besok," ujar Anasera sambil berlalu menuju pintu rumah. Namun, di balik pintu itu, tersembunyi rasa was-was yang melanda hatinya.
Tuan Prabu Wijaya menyeringai, menatap punggung Anasera yang mulai menghilang dari pandangannya. Hatinya bergemuruh, bersemangat karena merasa semakin dekat untuk bisa mengendalikan Anasera agar menari mengikuti irama yang diinginkannya.
'Aku tahu kau pasti akan jatuh ke dalam perangkapku,' bisik Tuan Prabu Wijaya pada dirinya sendiri.
*
*
*
Keesokan paginya, di kediaman keluarga Wijaya, Anasera duduk di samping omanya di tempat tidur. Oma tersenyum ke arahnya dan meletakkan tangannya di pipi Anasera.
"Sayang, bagaimana kabarmu?" tanya Oma.
"Aku baik-baik saja, Oma," jawabnya sambil tersenyum tipis.
Oma menggenggam tangan Anasera dengan lembut dan mulai menyampaikan kekhawatirannya, "Ana, hmm... tentang bayinya....." katanya dengan ekspresi rumit.
Anasera menangkap kecemasan di wajah Omanya dan berkata, "Bayinya baik-baik saja, Oma. Tenang saja, aku akan menjaganya sebaik mungkin."
Merasakan ketidaknyamanan Oma yang hendak menanyakan sesuatu, Anasera mengambil inisiatif dan berkata dengan penuh kerendahan hati, "Oma, aku mohon pengertian dan doanya. Aku tidak bisa memberitahu siapa ayah dari anak ini." Sambil menundukkan pandangannya, dia merasa sangat malu dan tak sanggup mengungkapkan kenyataan bahwa ia telah tidur dengan pria asing.
"Percayalah, Oma, aku akan menjaga anak ini sebaik-baiknya." Anasera berjanji, berusaha menutupi rasa takut yang melanda hatinya, sambil memohon restu dan kasih sayang dari oma yang begitu ia kasihi.
"Oma, ini sudah siang, aku harus berangkat kerja sekarang. Aku janji aku akan mengunjungi mu lagi nanti," ucap Anasera sambil memberikan kecupan ringan di kening sang Oma.
"Baiklah, jaga dirimu dan bayimu baik-baik," nasehat Oma.
Anasera mengangguk dan mulai berjalan keluar dari mansion. Di lubuk hatnya, Anasera merasa berat untuk meninggalkan Omanya, tapi dia sadar, untuk saat ini, dia harus menghadapi hidupnya sendiri.
Sebelum mencapai pintu keluar, Anasera mendengar suara Tuan Prabu Wijaya yang memanggilnya dari belakang. "Nak, kenapa kamu tidak kembali saja ke rumah? Daddy benar-benar minta maaf, ayo kita mulai dari awal lagi," ujar Tuan Prabu Wijaya.
Anasera menghentikan langkahnya sejenak, lalu menoleh ke arah Ayahnya. Anasera manarik nafas dalam-dalam dan tersenyum dingin ke arah Tuan Prabu Wijaya. "Tidak, Dad, sejujurnya aku belum pernah merasa sebahagia ini sebelumnya," ujar Anasera dengan tegas. Dia tahu, keputusan ini adalah yang terbaik untuknya dan anaknya.
Anasera mulai berjalan keluar lagi, berusaha untuk tidak terlihat gugup.
"Tunggu," kata Tuan Prabu Wijaya cepat sambil mengejar langkah Anasera. Anaserapun berhenti sejenak, menunggu apa yang akan dikatakan pria itu selanjutnya, sambil mempersiapkan diri untuk menghadapi apapun yang mungkin terjadi.
"Anasera, adikmu telah melakukan kesalahan. Ada kontrak yang seharusnya aku tandatangani dengan Bos mu, tapi Lavanya membuat Tuan Ortiz marah dan membatalkan kontrak tersebut. Bisakah kamu berbicara dan membujuk atasanmu atas namaku? "ucap Tuan Prabu Wijaya.
"Adikku?" ujar Anasera sambil tertawa sinis.
"Maafkan aku, Tuan. Aku tidak bisa membantumu" lanjut Anasera dan hendak mengambil satu langkah lagi.
"oh jadi kamu tidak mau membantu ayahmu sendiri" teriak Ayahnya.
Anasera mengabaikan suara teriakan ayahnya dan melanjutkan langkahnya hingga ia sampai di depan pintu keluar. Sebelum keluar Anasera berbalik dan memberikan senyuman menawan pada ayahnya.
"ayah yang sama yang tidak pernah mengakuiku sebagai putrinya," ejek Anasera keras. Tuan Prabu Wijaya hanya bisa melihat punggung Anasera yang menghilang dari pandangannya.
Pria paruh baya itu mengatupkan rahangnya mencoba menekan amarah yang membara di dalam dirinya. Dia tiba-tiba tertawa datar.
Tuan Prabu Wijaya mengepalkan tinjunya erat-erat, “Mari kita lihat seberapa jauh kamu akan melangkah. Akan aku pastikan kamu akan segera datang memohon padaku," gumam Tuan Prabu Wijaya dan mengeluarkan ponselnya dari sakunya.
*
*
Anasera sendiri belum mendapat kesempatan untuk bertemu dengan bosnya dan meskipun dia dekat dengannya dia tidak akan pernah membantu ayahnya.
Tidak ada kata-kata atau permintaan maaf yang bisa menghapus rasa sakit yang telah dia derita sejauh ini.
*
*
*
Madrid, Ortiz Grup
Maximillano duduk di kursi kerjanya, asistennya Ivans duduk di seberangnya. Ia terdiam terpaku pada ponselnya saat membaca sebuah berita tentang kekacauan yang terjadi di perusahaannya kemarin.
Hatinya merasa hancur dan frustrasi, bagaimana bisa perusahaan yang ia bangun dari nol tiba-tiba saja mendapatkan teror seperti itu?
'Bagaimana ini bisa terjadi? Apakah ada yang ingin sengaja menghancurkan perusahaan ini?' batin Maximillano. Di perusahaannya, telah terjadi kerumunan orang gila dengan senjata yang tidak terduga, mulai dari batu, papan, dan bahkan makanan busuk. Ivan bahkan harus memanggil polisi untuk mengatasi masalah tersebut.
"Kepala satpam tadi mengatakan, ada beberapa satpam yang mengalami luka parah dalam proses melindungi karyawan dan harus dikirim ke rumah sakit. Beberapa karyawan juga mengalami trauma karena ketakutan," tutur Ivans mencoba memberikan informasi tambahan.
Maximillano merenung sejenak, mencoba mencari alasan di balik insiden tersebut. 'Apakah ini karena pesaing bisnis? Ataukah ada seseorang yang ingin balas dendam kepadaku? Kenapa harus perusahaan ini yang menjadi sasaran?' pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikirannya.
Ada rumor yang mengatakan jika perusahaannya menggunakan aksesoris murahan untuk perhiasan mereka sambil memeras uang dari para klien mereka.
Judul berita yang dimuat dalam surat kabar malah membuat Maximillano semakin marah.
Pemilik dan CEO perusahaan Ortiz grup telah dikonfirmasi dan bersalah karena menggunakan aksesoris berkualitas rendah untuk memproduksi perhiasan dengan harga tinggi.
"Omong kosong!" ujar Maximillano.
Dia bukanlah orang yang perhitungan, mereka selalu menggunakan perhiasan berkualitas tinggi. Harga perhiasan termurah yang mereka miliki mencapai 5 juta dolar.
Maximillano membanting tinjunya ke meja. "Aku tahu siapa yang menyebarkan rumor murahan tentang perusahaan," ujar Maximillano. Bibirnya melengkung membentuk seringai, "Ronald Bourbon, jadi dia sudah berani main-main denganku sekarang? Akhirnya dia punya keberanian untuk mencoba bersaing denganku," lanjutnya.
Hampir semua orang di benua Eropa tahu bahwa keduanya selalu berusaha untuk membuktikan siapa yang lebih baik di antara mereka. Namun entah mengapa, Maximillano selalu unggul dari Ronald Bourbon. Keduanya termasuk dalam daftar pengusaha paling tampan dan sukses di Eropa. Mereka memiliki bidang usaha yang berbeda, namun selalu berlomba-lomba untuk mendapatkan tempat teratas. Sama seperti perusahaan Ortiz Grup yang terkenal dengan perhiasannya, perusahaan hiburan Bourbon Entertainment sangat terkenal.
Bourbon Entertainment memiliki artis dan aktor papan atas di firma mereka, mereka juga menduduki peringkat nomor 1 di Eropa saat ini.
Maximillano tahu jika Ronald Bourbon pasti sudah mendengar bahwa dia tidak berada di Spanyol saat itu, itulah sebabnya dia berani menyeret namanya ke bawah.
*
*
*
Kediaman Keluarga Ortiz
"Welcome.."
"Welcome..." Ujar Tuan Ramon Ortiz sambil terkekeh.
Tuan Aragon menjabat tangan Tuan rumah. “Senang bertemu denganmu lagi, Ramon” katanya.
Nyonya Elvira Ortiz melirik Nyonya Aragon sambil tersenyum manis. "Ya Tuhan, menurutku kamu akan selalu terlihat muda selamanya," ucapnya membuat Nyonya Aragon terkekeh.
"Kamu juga, Elvira," sahut Nyonya Aragon sambil berpelukan dengan Nyonya Rumah.
Siapa pun yang melihat mereka bisa dengan mudah menyimpulkan bahwa mereka memanglah sangat akrab.
Maria Aragon, berdiri di belakang orangtuanya dengan malu-malu sambil menundukkan kepala. Nyonya Ortiz yang melihatnya lantas memberinya senyuman menawan. "Kemarilah Maria, kamu sudah dewasa dan cantik sekali," ujar Nyonya Ortiz membuat Maria tersipu.
Maria menoleh ke sekeliling, kemudian bertanya dengan suara lembut yang bergetar penuh harap, "Ngomong-ngomong, di mana Maxim, Tante?" katanya sambil menurunkan pandangannya, merasa malu untuk memandang langsung ke wajah orang-orang di ruangan itu.
Mereka semua terkekeh lepas, "Aku sudah meneleponnya, Maria sayang. Dia sudah dalam perjalanan ke sini. Tenanglah, kamu segera akan bertemu dengan pria yang akan menjadi pendampingmu seumur hidup," ungkap Nyonya Ortiz dengan tersenyum bahagia.
Pipi Maria memerah, jantungnya berdebar kencang, dan dia menggigit bibirnya. Tak mampu menyembunyikan perasaan cemas yang bercampur bahagia, menantikan kedatangan Maximillano—sosok yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.
"Ayolah, apakah kita akan berdiri di sini sepanjang hari? ayo kita masuk" ajak Tuan Ortiz pada para tamunya.
Maria duduk di sebelah Nyonya Ortiz, "Sayang, bagaimana studimu di Kanada?" Tanya Nyonya Ortiz.
"Itu adalah pengalaman yang menyenangkan, Tante Elvira. Aku sudah berhasil menyelesaikan studiku di Canada" kata Maria.
"Oh, Maria kita juga sekarang sudah menjadi pengacara yang handal," Tambah Nyonya Aragon.
"Wow! Itu kabar yang bagus. Aku akan memberitahu Maxi agar menjadikanmu pengacara yang mewakili perusahaannya. Bukan hanya itu saja, jika kamu bekerja sama dengan Max, mungkin saja kalian..." Nyonya Ortiz sengaja tidak melanjutkan kalimatnya, dia malah tersenyum aneh ke arah mereka semua. Hal itu membuat seluruh orang di ruangan itu tertawa.
Ketika mereka sedang larut dalam obrolan hangat, Maximillano melangkah menuju ruang tamu dengan langkah pasti dan aura yang memancarkan wibawa. Matanya menyapu tatapan dingin ke arah para tamu yang berkumpul, raut wajahnya nampak tidak bersahabat. Dalam hati, dia sadar bahwa kali ini dia telah terjebak dalam skenario yang direncanakan oleh ibunya sendiri.
"Oh, Maxim, kamu akhirnya tiba juga di sini," ujar Nyonya Ortiz sambil tersenyum lebar.
Perlahan, mereka semua beranjak ke meja makan. Para pelayan dengan sigap mulai menghidangkan sajian lezat yang menanti. Namun, sejenak setelah itu, suasana yang tadinya riuh rendah kini beralih menjadi hening menyelimuti.
Merasa tidak nyaman, Nyonya Ortiz berdehem dan memulai percakapan, "Max, apak kamu tahu, Maria baru saja pulang dari Kanada. Dia kini sudah menjadi seorang pengacara handal. Aku sangat berharap kamu bersedia untuk merekrutnya, agar dia dapat bergabung dan membantu pengembangan perusahaan yang sedang kamu kelola." Ucapan Nyonya Ortiz terasa penuh harapan, seraya melirik ke arah Maximillano dan Maria dengan pandangan penuh makna.