5. Burung Merak Yang Sombong
“Itu bukan urusanku, sudah berapa lama dia absen,” tanya Maximillano.
"sudah dua hari terakhir ini, Tuan" kata sekretaris itu.
"Hm.. Keluarga Wijaya ini benar-benar menganggap diri mereka terlalu tinggi. Segera berikan aku nomor teleponnya dari arsip karyawan" ujar Maximillano dengan marah.
Sekretaris itu segera berlari untuk mengambilnya dan segera kembali dengan nomor yang ia dapat dari arsip karyawan.
*
*
*
Di tempat lain, Anasera sedang duduk di tempat tidur sambil memakan buah-buahan ketika dia mendengar ponsel di sebelahnya berdering. Dia melirik ke ID penelepon dan itu dari nomor yang tidak dikenal. Dia segera mengangkatnya dengan perasaan bingung.
"Halo, siapa ini?" Anasera bertanya dengan tenang.
"Seretlah tubuh malas mu menuju perusahaan dalam waktu dua jam atau ucapkan selamat tinggal untuk pekerjaanmu" kata Maximillano dengan nada memerintah.
"Hei! Kamu pikir kamu ini siapa? Kamu pikir kamu bisa membentuk angka-angka dan mulai menelepon orang-orang dan mengatakan omong kosong kepada mereka," Ujar Anasera menggebu-gebu dengan suara yang sedikit meninggi.
"Pelankan suaramu, Nona Wijaya, aku adalah bos mu" kata Maximillano dengan gigi terkatup.
"Bos ku? Omong kosong, dia saja tidak pernah muncul di kantor dan aku juga belum pernah melihatnya. Jangan pernah menelepon nomor ini lagi, bodoh" Ujar Anasea lalu menutup telepon.
Maximillano menatap teleponnya dengan pipinya yang sudah memerah karena marah. karyawannya yang satu itu berani menutup telepon darinya, apakah dia sudah bosan bekerja di perusahaannya?
Sang sekretaris menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan keinginan untuk menertawai bosnya. Telepon dalam keadaan speaker dan mereka semua mendengar percakapan antara bosnya dengan Nona Wijaya.
Maximillano melirik sekretaris itu, "Segera telepon kembali karyawan pemalas itu" ujar Maximillano yang langsung di angguki oleh sekertarisnya.
Maximillano sangat menantikan untuk bertemu dengan karyawan wanita pemberani yang berani memanggilnya 'bodoh'
*
*
*
Anasera masih memakan buahnya dengan tenang ketika dia mendengar teleponnya berdering untuk kedua kalinya.
"halo Anasera, bos memintamu untuk segera datang ke kantor"
Anasera merasa seperti ada bom meledak di kepalanya, "A-apa? Bos?" tanyanya lagi karena berpikir mungkin dia salah dengar.
“Ya, dia menelepon mu beberapa waktu yang lalu, mengapa kamu harus bertengkar dengannya?” kata sekretaris itu.
"Ya Tuhan, aku tidak tahu jika boslah yang menelpon. Kukira itu panggilan dari orang iseng" ujar Anasera dengan suara panik.
Anasera tidak ingin kehilangan pekerjaannya saat ini. Tidak ada perusahaan lain di mana dia bisa mendapatkan gaji yang lebih baik daripada ini. Setelah memutuskan untuk mempertahankan bayinya, Anasera sadar jika ia membutuhkan uang yang banyak untuk membiayai kehidupannya dengan calon anaknya.
"Umm...aku akan segera ke sana" Ujar Anasera lalu segera menutup telepon.
Anasera baru menyadari betapa bodohnya tindakannya tadi. Dia sudah absen selama dua hari terakhir tampa ada kabar dan surat izin.
"Oh tidak! Aku akan kehilangan pekerjaanku hari ini" ucap Anasera dengan suara panik. Dia segera berdiri dan berpakaian. Dia meraih ponselnya dan mencoba menelfon kembali nomor yang menelponnya tadi, telfon itu terus berdering tetapi Maximillano tidak mengangkatnya.
"Astaga! Dia pasti sangat marah padaku saat ini" gumamnya sembari menuju pintu.
“Hai Anasera, kamu mau kemana?" Arvany bertanya sambil keluar dari dapur dengan celemek.
“Perusahaan, ada sesuatu yang mendesak. Aku akan memberitahumu begitu aku kembali,” ujarnya dan meninggalkan rumah.
*
*
*
Ortiz Grup
Maximillano duduk di ruangannya sambil memeriksa beberapa file. Sudah setahun sejak terakhir kali dia mengunjungi cabang ini, dia cukup terkejut dan terkesan dengan perkembangan anak perusahaan tersebut. Semuanya berjalan dengan baik, dia tidak punya apa pun untuk dikeluhkan atau dikhawatirkan. Mau tak mau dia mengangguk puas sambil membaca halaman terakhir file itu. "Bagus," gumamnya.
Sekretaris itu tersenyum senang. Dia sudah sangat khawatir ada kesalahan sebelumnya, tetapi sekarang dia bisa bernapas dengan lega.
"yang ditahan selama ini," katanya, akhirnya mengangkat kepalanya dari arsip.
"Ini Nona Dhiajeng Anasera Wijaya" jawabnya.
Maximillano terpana oleh wanita yang sama yang telah menyebutnya bodoh beberapa saat lalu. Tidak heran jika perempuan itu begitu percaya diri beberapa waktu lalu.
Maximillano bahkan lebih tertarik untuk melihatnya.
"Kamu boleh pergi sekarang," ujar Maximillano kepada sekretaris.
Sekertaris itu mengangguk dan langsung berjalan menuju pintu bertepatan saat itu Ivans masuk.
"Bos, ada sesuatu yang terjadi di perusahaan utama. Saya tidak tahu apa yang terjadi, namun saham kita terdepresiasi dan media serta massa menyebabkan keributan di luar perusahaan. Semua karyawan saat ini terjebak di dalam gedung.
Garis dalam muncul di dahi Maximillano. Dia mengeluarkan tabletnya dan memang stoknya sedang terdepresiasi.
Dia telah kehilangan hampir satu juta dolar hanya dalam satu jam. Sepertinya dia harus segera pergi.
“Kita akan segera kembali ke Madrid, beritahu mereka untuk menyiapkan jet pribadi,” Ujar Maximillano dan bangkit dari tempat duduknya. Segera mobil Maximillano melaju meninggalkan anak perusahaan.
Anasera turun dari taksi. Dia membayar sopirnya dan masuk ke gedung perkantorannya. Dia langsung naik lift ke lantai ruangannya berada. Saat dia keluar dari lift, sekretaris segera berjalan menghampirinya.
“Bos baru saja pergi,” kata Amber.
"Apa maksudmu dia pergi? Apa dia lelah menungguku?" Anasera bertanya dengan heran.
“tidak, ada sesuatu yang terjadi di perusahaan utama yang harus dia urus,” kata Amber.
“Maksudmu dia kembali ke Madrid” tanya Anasera lagi.
Amber mengangguk dan Anasera menghela nafas lega. Dia takut saat memikirkan jika dia mungkin akan kehilangan pekerjaannya hari ini, untungnya surga mendukungnya.
'Mulai sekarang aku akan menjalankan pekerjaanku dengan lebih serius,' tekad Anasera
Anasera pergi ke ruangannya dan meletakkan tangannya di perutnya. Terkadang dia belum percaya jika dia akan segera menjadi seorang ibu.
Anasera tidak tahu bagaimana rasanya memiliki seorang ibu, lagipula dia ditinggalkan sejak dia masih kecil, dia hanya berharap dia akan menjadi ibu yang luar biasa bagi bayinya.
*
*
*
“Apa maksudmu kontraknya dibatalkan?” Tuan Prabu Wijaya berteriak melalui telepon kepada sekretarisnya.
'Iya Tuan, tiba-tiba kami mendapat telepon jika Tuan Ortiz sudah tidak berminat lagi' kata sekretaris itu dengan suara ketakutan.
Saat itu bertepatan dengan Lavanya yang masuk dengan ekspresi muram di wajahnya. Pabu Wijaya memelototinya.
"Aku akan menutup telepon sekarang," ujarnya pada sang sekertaris lewat telepon.
Tuan Pabu Wijaya berbalik kembali ke Lavanya yang hendak menaiki tangga.
"Lavanya!" panggil Tuan Prabu Wijaya.
Lavanya berbalik perlahan "iya, Dad" ucapnya terdengar tidak sabar.
"Apa yang sebenarnya kamu lakukan? Aku baru saja mendapat telepon bahwa Tuan Ortiz tidak lagi tertarik dengan kontrak itu" teriaknya pada putri ke-tiganya itu
Lavanya meletakkan tangannya di pinggangnya. "Dengar dad, aku sedang tidak mood untuk membahas ini, jika pria itu sudah tidak tertarik lagi dengan kontraknya, maka biarkan saja" katanya dengan marah.
Tuan Prabu Wijaya memegangi dadanya karena marah, dia merasa dia mungkin akan segera terkena serangan jantung karena ulah putrinya itu. Rahangnya terkatup rapat berusaha menekan amarah yang memancar dalam dirinya.
"Kamu anak yang tidak berguna. Apa kamu tahu sudah berapa tahun aku menantikan hari ini? Apa kamu tahu berapa banyak keuntungan yang akan aku peroleh dari kontrak ini? Kamu pergi dan menghancurkannya dengan otak kosongmu. Kamu bilang kamu akan mendapatkannya, apakah ini caramu mendapatkannya?" Ujar Tuan Prabu Wijaya sambil mendekat ke arah Lavanya sambil meraung seolah dia hendak memakannya.
Lavanya tersentak dan menelan ludahnya dengan susah payah, "Andai saja dia bisa jatuh cinta pada pesonaku, kamu tidak akan mengatakan semua ini, dia akan menjadi menantumu. Daripada menghiburku karena orang yang aku sukai tidak menyukaiku, kamu justru malah berteriak padaku untuk sesuatu yang sudah tidak dapat kembali" katanya sambil meninggikan suaranya pada ayahnya.
Nyonya Diana segera turun dari lantai atas "apa yang terjadi disini?" dia bertanya.
“Tanyakan pada putrimu yang tidak berguna ini yang telah pergi dan menghancurkan kerja kerasku selama bertahun-tahun," kata Tuan Prabu Wijaya.
"Mom, aku tidak melakukannya. Aku hanya mencoba merayunya tetapi dia tidak melirikku sama sekali" kata Lavanya dengan suara lemah, air mata sudah mengalir di matanya.
“Omong kosong!” kata Tuan Prabu Wijaya dan berjalan pergi. Dia masuk ke dalam mobil dan supirnya pun segera menjalankan mobilnya. Dalam perjalanan pikiran Tuan Prabu Wijaya kembali tertuju pada Anasera.
'Aku harus mencari cara agar Anasera mau bekerja di perusahaan ku. Tunggu sebentar, Tuan Ortiz adalah bosnya Anasera, aku yakin dia bisa membantu, tetapi bagaimana caranya agar burung merak yang sombong itu mau bekerja untukku,' pikir Tuan Prabu Wijaya sambil mengusap area di antara alisnya.
'Ini akan sedikit sulit, jika dia menolak membantu maka aku akan melakukannya dengan cara yang kasar. Ya! Itu yang akan aku lakukan.' Sebuah pikiran jahat muncul dari kepalanya membuatnya menyeringai.
Senyuman jahat tersungging di wajahnya,
“Bawa aku ke jalan Sukarno Hatta,” ujar Tuan Prabu Wijaya pada sopirnya.