4. Anak Tidak Sah
Anasera sampai di apartemen Arvany sambil menarik koper barang bawaannya dengan lelah. Dia menekan bel pintu dan Arvany langsung membukanya. Arvany mengambil alih barang bawaan Anasera dan membimbingnya masuk ke apartemennya.
"Ana, aku minta maaf," Ujar Arvany sambil melirik ekspresi cemberut di wajah Anasera. Sebagai sahabat Anasera, dia merasa tidak berguna saat perempuan itu berada dalam masalah.
Anasera menghempaskan dirinya ke sofa. Dia masih tidak percaya dengan semua yang terjadi hari ini, itu seperti mimpi baginya.
Arvany duduk di sampingnya, menepuk punggungnya dengan lembut.
"tidak apa-apa semuanya akan baik-baik saja" Arvany menghibur Anasera dengan lembut.
"Jadi, apakah kamu akan mempertahankan bayinya?" Arvany bertanya dengan lembut.
Anasera memandangnya dan mengalihkan pandangannya kembali ke ruang kosong. "Aku sudah memutuskan untuk menjaga anak ini" ucap Anasera sambil tersenyum seolah hendak menangis.
Arvany benar-benar merasa tersiksa melihat penderitaan Anasera. Selama bertahun-tahun, mereka berdua telah bersama melalui banyak suka dan duka. Arvany masih ingat betapa Anasera tumbuh tanpa orang tua, sebelum akhirnya menyatu kembali dengan sang ayah.
Arvany pernah berharap bahwa semua akan baik-baik saja seiring berjalannya waktu. Namun, melihat Anasera harus terus menderita, diperlakukan sebagai anak haram oleh keluarga Wijaya, dan dicemooh oleh mereka, membuat Arvany merasa gusar dan marah. Dia berpikir, "Kenapa Anasera harus terus merasakan penderitaan seperti ini? Apakah ia tidak berhak mendapatkan kebahagiaan?"
Arvany semakin khawatir ketika ia terbayang akan berita tentang kehamilan Anasera mencuat ke publik. Ia membayangkan bagaimana media akan mengejek Anasera, yang baru saja menemukan kembali kehangatan keluarga, tapi harus kembali ditinggalkan karena masa lalu yang pahit.
"Demi Tuhan, bagaimana aku bisa melindungi Anasera dari cemoohan dunia yang kejam ini?" batin Arvany dengan keputusasaan. Dia tahu bahwa harus ada jalan keluar, agar Anasera tidak terus-menerus terluka dan bisa menemukan kebahagiaan yang pantas didapatkannya.
"Aku akan ke kamarku," kata Anasera dengan lemah, sambil menyeret kakinya ke kamar yang telah disediakan untuknya.
Arvany menghela nafas panjang, merasa tidak tega melihat Anasera yang begitu rapuh. Dia menyadari betapa besar beban yang dihadapi Anasera dan hal itu membuat dia kehilangan niat untuk berangkat bekerja.
"Sudahlah, mungkin aku harus memberi waktu untuknya merenung sendiri," pikir Arvany. Dia ingin menunjukkan dukungannya kepada Anasera, tapi ia takut kehadirannya justru akan membebani Anasera lebih jauh.
"Dia pasti memiliki banyak hal yang ingin dipertimbangkan. Aku tak akan mengganggunya dengan kehadiranku." Arvany memutuskan untuk meninggalkan Anasera sendiri dalam kamarnya, agar ia bisa merenungkan langkah apa yang harus diambil selanjutnya dengan hati yang lebih tenang. Arvany berharap jika Anasera mampu menemukan jawaban terbaik bagi dirinya sendiri dan mereka bisa menyelesaikan masalah ini bersama.
*
*
*
Anasera duduk di tepi tempat tidur, dengan perlahan meletakkan tangannya di atas perutnya yang semakin membesar. Matanya terasa panas dan air mata perlahan mengalir membasahi pipinya, mengungkapkan rasa duka yang selama ini ia pendam sendirian. Dalam hati Anasera terdapat pertanyaan yang selalu mengusik, 'Nak, kenapa kamu harus mengalami nasib yang sama seperti ibumu?'
Anasera menghela nafas dan mencoba untuk lebih tenang.
'Aku harap suatu saat nanti, saat kamu sudah tumbuh dewasa, kamu tidak akan pernah menanyakan tentang ayahmu,' ucap Anasera dalam hati.
Anasera berjanji pada dirinya sendiri dan pada bayi dalam kandungannya, bahwa ia akan memberikan kehidupan yang terbaik untuknya dan anaknya.
"Aku akan tetap kuat demi kita berdua, oke? Ibu sangat mencintaimu," Ujar Anasera sambil menyeka air mata yang menggenang di pipinya. Dia sadar bahwa duka yang dia rasakan saat ini tidak akan mengubah apa-apa. Yang perlu dia lakukan adalah bangkit kembali, melupakan masa lalu, dan fokus pada masa depan demi menjamin kehidupan yang layak untuk anaknya nanti. Dalam hantinya, tekad mulai dia bangkitkan semangat untuk menjalani hari-hari demi mempersiapkan masa depan yang lebih baik baginya dan calon anaknya.
Perlahan, Anasera merebahkan tubuhnya di tempat tidur dan memejamkan mata, menenangkan pikiran dan hati yang sempat resah. Tanpa sadar, lelap tidur pun segera menyelimuti Anasera, membebaskan sejenak dari beban dan rasa dukanya.
*
*
Bandara Jakarta, Indonesia
Maximillano turun dari jet pribadinya dengan Ivans yang mengikutinya di belakang.
Mobil yang akan menjemput mereka sudah tiba. Maximillano berjalan ke Bentley berwarna hitam mencolok dan masuk ke sana.
Mobil langsung melaju ke sebuah vila pribadi milik Maxmillano yang ada di kota tersebut. Dia telah membeli villa itu sejak saat dia mendirikan cabang lain perusahaan Ortiz grup di Indonesia beberapa tahun yang lalu.
Maxmillano memasuki vila, disambut oleh para pelayan yang membungkuk hormat kepadanya. "Selamat pagi, Tuan," sapa mereka serempak, suara mereka terdengar harmonis seperti sedang latihan vokal. Maxmillano mengangguk ringan dan melanjutkan langkahnya menuju lantai atas, tempat kamarnya berada.
Begitu tiba di kamar, pria itu segera mandi. Pertemuan bisnis akan diadakan siang nanti. Setelah selesai, Maxmillano keluar dari kamar mandi dengan handuk melingkari pinggangnya, sementara handuk lainnya melingkari lehernya untuk mengeringkan tubuhnya.
Ponsel Maximillano berdering, matanya segera menangkap ID si penelepon dan refleks membuatnya bergumam, "Ah, dia lagi."
Dengan berat hati, Maximillano mengangkat telepon itu. Namun sebelum si penelepon bisa membuka suara, dia segera memotongnya.
"Kalau soal pernikahan, lebih baik kita tutup saja teleponnya," ucap Maximillano tegas.
"Max, aku ini ibumu. Demi Tuhan... kamu telah mengabaikan panggilanku selama beberapa bulan terakhir," ujar ibunya dengan nada kecewa, "Aku ingin kamu pulang setelah perjalanan bisnismu."
Sejenak Maximillano terdiam, mencoba mencerna maksud dari kata-kata ibunya.
"Apakah Mommy yakin ini bukan semacam jebakan?" tanya Maximillano curiga.
Wanita di seberang telpon menghela napas panjang, "Tidak, Max. Ada hal-hal lain yang bisa kita bicarakan sebagai ibu dan anak, bukan hanya soal pernikahan," sahutnya sambil terkekeh.
“Baiklah, aku akan datang menemuimu saat aku sudah tidak terlalu sibuk,” kata Maximillano sambil segera menutup telepon.
Ketukan cepat terdengar di pintu, membuat Maximillano bergegas mengenakan celananya. Begitu membuka pintu, Ivan langsung memberi tahu, "Tuan, klien mengatur pertemuannya di sebuah restoran bernama Dream Light." Dia menginformasikan sembari membaca tablet di tangannya.
Maximillano mengerutkan keningnya, heran dengan pilihan lokasi pertemuan kliennya. "Kenapa tidak di perusahaan saja?" Dia bertanya dengan rasa penasaran. Di benaknya, mungkin ada alasan terselubung di balik keputusan klien tersebut.
"Saya tidak sempat bertanya lebih jauh, Tuan," jawab Ivan, seraya menggaruk kepalanya. Terkadang dia merasa bosnya ini terlalu kaku dan kuno dalam menghadapi situasi yang tak terduga.
"Baiklah, aku akan segera turun," ujar Maximillano dengan nada ketus, sebelum akhirnya membanting pintu.
*
*
*
Seiring langkahnya menuju restoran itu, hatinya merasa sedikit risih dengan suasana tak formal yang mungkin bakal ia temui di sana. Namun, dengan tawa kecil, dia memutuskan untuk bersikap profesional dan menyesuaikan diri, demi keberhasilan pertemuan dengan kliennya itu.
Setelah menunggu hampir 20 menit di dalam mobil bersama supirnya, akhirnya Maximillano turun dan duduk di kursi belakang sambil memakai kacamata hitamnya.
Ivans menggelengkan kepalanya. Bosnya begitu percaya diri, “Dasar narsisis!” Dia pikir.
Mobil itu perlahan berhenti di parkiran restoran. Maximillano keluar dengan Ivans di sampingnya dan para pengawal yang berjalan di belakang mereka. Mereka berjalan cepat menuju restoran, sementara dia mencoba melihat sekeliling tetapi tidak menemukan siapa pun yang mereka cari. "Benar-benar amatir, siapa orang-orang ini?" Maximillano berkomentar sambil mendengus kesal.
Ivans menoleh ke arah bosnya, lalu menjelaskan, "Keluarga Wijaya, salah satu keluarga terbesar di Indonesia dengan kekayaan bersih lebih dari 100 juta dolar." Dia menyesuaikan pelek kacamatanya seakan memastikan informasinya benar.
Maximillano melangkah ke tempat duduk dan duduk dengan percaya diri. Dia menyilangkan kakinya dan mulai asyik dengan ponselnya, tak sabar menahan kekesalannya. "Aku tak pernah jadi orang yang menunggu siapa pun seumur hidupku. Mereka kurang profesional, seharusnya mereka menutup bisnisnya dan menyumbangkan kekayaannya untuk amal," keluhnya Maximillano.
Sebelum Ivans sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara sepatu hak tinggi menyentuh tanah. Mereka menoleh, dan melihat seorang wanita mengenakan gaun ketat berwarna merah muda yang hampir tak mampu menutupi pahanya melangkah mendekat. Riasan tebal yang dia kenakan seolah tak seimbang dengan penampilannya, dan senyumannya terasa dipaksakan serta janggal. Aroma cologne yang dia pakai sungguh menusuk hidung, sehingga Maximillano tak bisa menahan untuk mengerutkan wajahnya.
Merasa ada tatapan tertuju padanya, perempuan itu mengulurkan tangannya ke depan, "Selamat siang, Tuan Ortiz.. perkenalkan, saya Lavanya Pramatagi Wijaya. Ayah saya sedang sibuk, jadi dia meminta saya untuk mewakilinya," ungkapnya dengan senyum yang ia upayakan menawan. Namun, Maximillano hanya mengangguk singkat dan kembali fokus pada ponselnya, seakan tak tertarik untuk berbicara lebih jauh dengan Lavanya.
Menyadari situasinya, perasaan malu menyelimuti Lavanya. Ia menarik tangannya kembali dan menunggu, berharap pria di hadapannya akan menunjukkan kesopanan dengan mengundangnya duduk layaknya seorang pria sejati. Namun, nampaknya ia harus bersabar, sebab Maximillano belum menunjukkan tanda-tanda untuk melakukannya.
Lavanya berdiri di sana, menatap pria itu yang begitu asyik dengan ponselnya hingga seolah tak menyadari kehadirannya. Rasa gugup mulai merayapi hatinya, lalu tangannya pun canggung menyentuh hidungnya sebelum akhirnya ia duduk dengan sendirinya.
Sebelumnya, Lavanya sudah memohon kepada ayahnya agar diberi kesempatan bertemu dengan Maximillano. Dia telah mendengar begitu banyak hal tentang pria itu, tentang kekayaan bersihnya, aset pribadi yang tak ternilai, serta kenyataan bahwa dia masuk dalam daftar lima miliarder terkaya dan paling tampan di dunia. Itu yang membuatnya penasaran dan tertarik pada pria ini.
'Aku harus bisa merayu pria ini,' gumam Lavanya dalam hati.
Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan memanfaatkan kesempatan emas ini dengan sebaik-baiknya.
'Lagipula, jika aku berhasil menaklukkan hatinya, ayahku juga akan diuntungkan. Bayangkan, keluarga kami akan terikat dengan salah satu keluarga kaya dan berpengaruh di dunia, kekayaan keluarga kami akan melonjak tiga kali lipat.'
Di balik rasa gugupnya, tekad Lavanya semakin kuat untuk mencapai tujuan tersebut. Dia berusaha untuk tetap percaya diri dan siap menghadapi apapun demi meraih harapan yang tinggi di depan matanya.
Ivans berdehem dan memulai pembicaraan karena dia bisa melihat keengganan di mata bosnya.
Mendengarkan pembicaraan antara klien dan asistennya hanya sebentar, Maximillano segera merasa kesal. "Nona Wijaya, apakah Anda benar-benar yakin bahwa Anda mengerti tentang bisnis ini?" ujar Maximillano dengan sinis.
Lavanya merasa terintimidasi saat melihat cara Maximillano yang memelototi dirinya dengan penuh ketidakpercayaan.
"Tentu saja, Tuan," jawab Lavanya mencoba tetap tenang dengan suara yang sedikit lebih pelan.
Maximillano mendengus kesal, "Kamu jelas tidak paham sama sekali tentang bisnis ini. Satu-satunya hal yang bisa kamu kuasai dengan sempurna sudah tersirat jelas pada dirimu," ucapnya dengan nada mencemooh sambil segera berdiri dari tempat duduknya.
"Tuan, tunggu sebentar," Lavanya buru-buru mencoba menghentikan pria itu. Namun, upayanya terhalang oleh pengawal Maximillano yang langsung menghadang di depannya. Di dalam hati Lavanya, perasaan ketakutan dan kekhawatiran mulai bercampur menjadi satu. Apa yang harus kulakukan sekarang? Bisakah aku membuktikan pada Tuan Maximillano bahwa aku pantas bekerja dalam bisnis ini?" pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikirannya.
Lavanya mengacak-acak rambutnya frustasi “bukankah aku cukup Cantik, bahkan sangat cantik, lalu kenapa pria itu bahkan tidak mau melirikku untuk kedua kalinya” ucapnya lalu mengambil tasnya.
*
*
*
"Lain kali, kamu harus benar-benar menyelidiki klien dengan lebih teliti sebelum membawaku ke sini, hanya untuk membuang waktuku yang sangat berharga. Mengerti?" ujar Maximillano pada asistennya, Ivans, dengan nada yang tegas saat mereka masuk ke dalam mobil.
"Baik, Bos," Ivans mengangguk dengan patuh, mencatat setiap amarah yang ditujukan padanya oleh Maximillano. Dia tahu, kesalahan ini tentu saja membuat bosnya kecewa. Namun, sejujurnya dia telah berusaha yang terbaik.
"Apakah kita akan terbang kembali malam ini?" tanya Ivans, berusaha mengalihkan perhatian dari kesalahan yang telah dia lakukan.
Maximillano melihat ke luar jendela, menimbang pertanyaan itu. Ada perasaan aneh yang mulai muncul dalam dirinya. Entah mengapa, dia tidak ingin kembali ke negaranya malam ini. Di sisi lain, dia juga merasa ingin tinggal beberapa hari lagi di sini. Tetapi mengapa? Apakah ada yang menarik perhatiannya? Ataukah hanya rasa lelah yang mulai menumpuk, membuatnya enggan untuk terburu-buru pulang?
"Pergi ke perusahaan cabang," ujar Maximillano pada sopirnya dengan nada dingin, memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan perasaan aneh tersebut. Untuk saat ini, dia akan fokus pada bisnisnya dan menjelajahi tempat ini.
Begitu tiba di perusahaan, Maximillano berjalan menuju lift untuk ke lantai atas tempat ruangannya berada. Para karyawan yang melihatnya tercengang. Namun, untunglah manajer pertama cukup tegas terhadap mereka. Maximillano berpatroli di setiap lantai, mengawasi tiap departemen satu per satu.
Saat berpatroli, tak sengaja matanya menangkap sebuah ruangan yang terkunci. "Siapa yang seharusnya bertanggung jawab di sini?" tanya Maximillano.
Sekretaris itu membungkuk sedikit, "Nona Dhiajeng Anasera Wijaya," jawabnya.
Maximillano menyipitkan matanya, seolah mencoba mencerna informasi yang baru saja dia dengar. "Wijaya yang mana? Apakah keluarga yang sama yang membuatku kehilangan waktu berharga?" tanyanya dengan suara yang mulai meninggi akibat kegeraman yang muncul di hatinya.
Sekretaris itu tampak ragu, namun terpaksa memberikan informasi lebih lanjut. "Eh... Dia adalah anak... anak yang tidak sah dari Tuan Wijaya, Tuan," jawabnya dengan hati-hati.
Maximillano menatap sekretarisnya dengan pandangan tajam, mencoba mencari tahu apakah dia serius atau hanya bercanda. Namun, sekretaris itu tampak jelas gelisah. Dia tahu dia telah melakukan kesalahan dengan membahas hal ini, apalagi di hadapan atasannya yang sangat tegas dan keras.
Dia ingin meminta maaf dan mengambil kembali kata-kata yang telah terlontar, namun rasanya sudah terlambat untuk itu.
"Anak yang tidak sah?" ulangi Maximillano, seraya menghela napas. Jelas, berita ini membuatnya semakin frustasi.
.