Bab 7. Tidak Perlu Menungguku
“Kaivan, aku ingin latihan balet.” Suara Krystal berucap dengan pelan kala Kaivan baru saja selesai melakukan panggilan telepon dengan Livia.
“Kamu ingin latihan balet?” ulang Kaivan memastikan seraya menatap Krystal.
Krystal mengangguk. “Iya, aku ingin latihan balet. Aku tidak enak karena sudah beberapa kali aku tidak latihan.”
“Baiklah. Aku akan mengantarmu,” jawab Kaivan dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.
“Jangan, Kaivan. Nanti akan banyak orang yang melihat. Aku tidak ingin menjadi pusat perhatian karena diantar mobil mewahmu. Biar aku naik taksi saja,” ucap Krystal pelan. Ya, selama ini teman-temannya tidak pernah melihat Krystal diantar oleh mobil. Dulu, saat orang tuanya masih ada memang Krystal memiliki mobil. Namun, setelah kepergian kedua orang tuanya—dia harus menjual mobil demi dirinya dan adiknya bertahan hidup.
Kaivan terdiam sejenak mendengar permintaan Krystal. Tampak Kaivan terlihat berpikir. Hingga didetik selanjutnya Kaivan mengangguk singkat. “Aku akan meminta asistenku menghubungi taksi untuk menjemputmu di lobby.”
“Iya, terima kasih,” jawab Krystal pelan.
Kemudian, Kaivan membawa Krystal meninggalkan ruang ICU menuju lobby rumah sakit. Sebelum beranjak, Kaivan sudah meminta asistennya untuk mengirimkan taksi untuk menjemput Krystal.
Saat Kaivan dan Krystal tiba di lobby rumah sakit, benar saja taksi sudah menjemput. Kaivan memang terkenal tidak menyukai pekerjaan lambat. Apa pun yang dia inginkan maka harus terjadi detik itu juga.
“Kaivan aku berangkat,” ucap Krystal seraya membuka pintu taksi.
Kaivan hanya mengangguk sebagai respon Krystal. Kini krystal masuk ke dalam taksi itu. Sebelum menuju ke parkiran mobil, Kaivan mengeluarkan dompetnya memberikan lima ratus ribu pada sopir taksi. Dan saat taksi yang membawa Krystal mulai meninggalkan lobby rumah sakit—Kaivan masih tetap melihat taksi itu hingga lenyap dari pandangannya.
***
“Pak, berapa?” Krystal bertanya pada sang sopir taksi kala taksi yang membawanya sudah tiba di tempat tujuannya.
“Non, tidak perlu bayar lagi. Tadi suami Nona sudah membayarnya. Ini malah kelebihan banyak, Nona. Saya pikir tadi Nona ingin mampir-mampir ke suatu tempat. Ternyata hanya satu tempat saja,” ujar sang sopir taksi dengan sopan dan ramah. Lalu sang sopir taksi memberikan sisa uang yang diberikan Kaivan pada Krystal, “Ini sisanya, Nona.”
“Eh? Sudah dibayar?” Krystal sedikit terkejut. Pasalnya saat masuk ke dalam taksi, wanita itu melamun tampak seperti memikirkan sesuatu. Dia tidak menyadari kalau Kaivan sudah membayar taksi yang dia tumpangi itu.
Sang sopir taksi mengangguk. “Iya, Nona.”
Krystal menghela napas dalam. Entah apa yang dia pikirkan sampai melamun dan tidak tahu kalau Kaivan sudah membayar taksi yang dia tumpangi itu. “Pak, bapak ambil saja sisanya. Simpan untuk, Bapak,” ucapnya ramah.
“Terima kasih, Nona. Semoga Tuhan selalu memberikan kebahagiaan untuk hidup Nona dan suami Nona,” kata sang sopir taksi yang langsung membuat Krystal terdiam sejenak.
Krystal tak menjawab. Dia hanya memberikan sebuah senyuman hangat di wajahnya pada sang sopir taksi. Kini Krystal turun dari taksi—lalu melangkah masuk ke dalam. Namun tiba-tiba…
“Krystal,” panggil seorang wanita dengan suara yang sedikit keras.
“Maya?” Krystal mengalihkan pandangannya melihat Maya dan Nadia—teman sesama Ballerina tengah melangkah menghampirinya.
“Krystal kamu dari mana saja? Kenapa tidak latihan-latihan?” ujar Maya kala tiba di depan Krystal.
“Iya, Krystal. Kami hampir gila mencarimu. Kami juga tidak ada di rumahmu. Aku bertanya pada tetangga tapi katanya kamu sudah lama tidak terlihat,” sambung Nadia.
“Maaf membuat kalian mencariku. Apa kalian sudah tahu adikku kecelakaan?” balas Krystal dengan senyuman samar di wajahnya. Senyuman yang tersirat menunjukan kerapuhan.
Maya menghela napas dalam. “Iya, kami dengar itu. Kami ingin menjenguk adikmu tapi ponselmu tidak pernah kamu jawab, Krystal. Kami jadi bingung. Kami takut itu berita tidak benar.”
“Berita itu benar. Maaf belakangan ini aku harus mengurus adikku. Korban yang ditabrak adikku meninggal di tempat. Pikiranku terlalu kacau. Mangkanya belakangan ini aku sering mengabaikan ponselku,” tutur Krystal menjelaskan.
“Ya, Tuhan. Lalu bagaimana keadaan adikmu? Dan bagaimana korban yang meninggal? Apa keluarga mereka melayangkan tuntutan?” Maya dan Nadia tampak begitu terkejut.
“Adikku baru selesai operasi. Dia mengalami luka parah di kepalanya. Saat ini dia masih di ICU. Dan untuk korban sudah diurus. Aku masih belum tahu tentang apa yang terjadi setelah adikku sadar. Kami akan tetap mengikuti proses hukum yang berlaku,” jawab Krystal menerangkan seraya mengembuskan napas panjang. Tak dipungkiri, pikiran Krystal selalu kacau jika membayangkan nasib sang adik. Meski Kaivan berjanji akan membantunya tapi tetap saja Krystal tidak bisa tenang begitu saja. Sejak dulu, Krystal sangat takut jika berurusan dengan pihak kepolisian.
Maya dan Nadia terdiam sejenak mendengar apa yang diucapkan oleh Krystal. Tampak kedua wanita itu begitu iba menatap Krystal.
Maya membawa tangannya mengelus bahu Krystal. “Kamu tenanglah, Krystal. Aku berdoa semoga semuanya baik-baik saja. Jika kamu butuh bantuan, kamu boleh bilang aku, ya. Kalau aku bisa, pasti aku akan membantumu.”
“Iya, Krystal. Kalau kamu membutuhkan bantuanku, kamu juga bilang saja padaku, ya?” sambung Nadia hangat.
Krystal mengangguk dan memberikan senyuman tulus. “Terima kasih.”
“Yasudah kalau begitu kita latihan sekarang saja. Yang lainnya pasti sudah menunggu kita,” ujar Maya memberitahu.
Krystal kembali menganggukan kepalanya. Kemudian, dia bersama dengan kedua temannya memasuki studio latihan balet. Pun Krystal dan kedua temannya segera mengganti pakaian balet mereka yang berada di loker mereka masing-masing.
Setelah mengganti pakaian, Krystal bergabung dengan teman-temannya yang lain berlatih balet. Krystal sebagai Ballerina utama yang seperti biasa beradu dengan lawannya Ballerino.
Kini Krystal mulai menari, memutar tubuhnya. Lalu terakhir tubuh Krystal diangkat oleh sang Ballerino. Serta Ballerina yang lainnya terus berlatih menari di antara Krystal dan sang Ballerino. Tampak tubuh Krystal begitu lentur. Tarian demi tarian diiringi dengan musik khas Italia. Semua penari terlihat begitu bersemangat dalam berlatih.
Setelah selesai berlatih, Krystal bersama dengan teman dekatnya Maya juga Nadia segera duduk di studio itu. Mereka meluruskan kaki. Wajah mereka semua tampak begitu lelah.
“Krystal, tiga hari lagi kita pementasan balet. Kamu tidak lupa, kan?” ujar Maya berusaha mengingatkan.
“Aku mengingatnya. Tenang saja,” jawab Krystal.
Nadia tersenyum. “Kamu memang hebat, Krystal. Lihat saja kamu jarang latihan tapi nyatanya tarianmu tadi sangat mengagumkan.”
“Ya, aku mengakui itu. Kamu memang sangat hebat, Krystal,” sambung Maya menyetujui ucapan Nadia.
Krystal pun tersenyum. “Terima kasih. Kalian terlalu berlebihan. Yasudah, lebih baik kita pulang sekarang. Aku ingin segera istirahat. Besok kita masih berlatih balet lagi.”
Maya dan Nadia mengangguk—lalu mereka melangkah menuju ruang ganti untuk mengganti pakaian mereka.
Tak berselang lama, setelah Krystal dan kedua temannya sudah mengganti pakaian mereka—Maya dan Nadia menawarkan pulang bersama. Namun Krystal tentu saja menolak. Tidak mungkin Krystal menyetujui tawaran kedua temannya itu. Ya, kini Maya dan Nadia menuju parkiran mobil. Sedangkan Krystal masih sibuk di area lobby melihat-lihat taksi yang lewat. Sayanganya, tidak ada taksi yang lewat. Mau tidak mau Krystal harus menghubungi taksi agar menjemputnya.
Saat Krystal mengambil ponselnya dari dalam tas, tatapan Krystal melihat satu pesan masuk dari Kaivan. Tampak kerutan di kening Krystal melihat pesan masuk dari Kaivan. Tidak biasanya Kaivan mengirimkan pesan padanya. Didetik selanjutnya, Krystal membuka pesan masuk itu dan membacanya.
*Hari ini aku akan pulang ke rumah Livia. Tidak perlu menungguku—Kaivan.*
Krystal terdiam seribu bahasa kala membaca pesan masuk dari Kaivan. Dia memegang ponselnya dengan kuat seraya terus melihat pesan itu.