Bab 6. Bantuan Kaivan
Saat pagi menyapa, Krystal sudah sibuk di dapur mengolah bahan-bahan makanan menjadi sebuah masakan. Sejak tadi Krystal menolak para pelayan yang hendak ingin membantunya memasak. Krsytal tidak suka ada yang membantunya jika dirinya tengah memasak. Dia memang terbiasa menyiapkan sarapan untuk dirinya dan adiknya sebelum beraktivitas. Kepergian kedua orang tuanya, membuat Krystal menjadi sosok yang mandiri.
“Kurang asin,” gumam Krystal kala mencoba nasi goreng kepiting buatannya. Dia mengambil bumbu penyedap masakan—lalu menuangkannya sedikit. Kini Krystal kembali mengaduk nasi goreng buatannya itu agar bumbu-bumbu menyatu.
Namun, Krystal tak menyadari kehadian Kaivan. Pria itu berdiri di ambang pintu menatap Krystal yang sibuk memasak. Tampak Kaivan hanya terdiam memperhatikan Krystal lekat. Tubuh Krystal terbalut apron berwarna kuning menarik perhatian Kaivan.
“Selesai.” Dengan wajah riang, Krystal memindahkan nasi goreng ke dua piring kosong Kemudian Krystal berbalik—seketika Krystal terkejut melihat Kaivan berdiri di ambang pintu.
“Kaivan? Kamu sudah bangun?” Krystal membawa dua piring yang berisikan nasi goreng dan meletakannya ke atas meja makan. Pun Kaivan melangkah mendekat dan duduk di kursi meja makan.
“Kenapa kamu harus memasak? Ada pelayan yang akan membuatkan sarapan,” ucap Kaivan dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.
“Aku hanya sedang ingin memasak saja. Aku terbiasa membuatkan sarapan untuk adikku sebelum beraktivitas.” Krystal memberikan piring yang berisikan nasi goreng untuk Kaivan. “Ini untukmu. Aku membuat nasi goreng kepiting. Aku harap kamu menyukainya.”
Krystal melepas apron yang melekat di tubuhnya, lalu meletakan ke samping. Kini Krystal duduk di samping Kaivan dan mulai menikmati nasi goreng kepiting yang dia buat.
“Kamu tidak takut gemuk?” tanya Kaivan yang sedikit membuat Krystal terkejut.
“Hm? Bagaimana maksudnya?” Krystal menatap lekat Kaivan.
“Seorang Ballerina akan menjaga makannnya. Kamu membuat nasi goreng kepiting tentu memiliki lemak yang tinggi. Apa kamu tidak takut?” ujar Kaivan dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.
Krystal tersenyum. “Tidak. Aku tidak pernah melakukan program diet. Sebenarnya makan apa pun tidak akan membuat tubuh kita gemuk asalkan kita tidak makan secara berlebihan. Aku juga hanya terkadang saja membuat nasi goreng. Tidak setiap hari. Biasanya aku lebih sering membuatkan adikku sereal atau roti panggang.”
Kaivan terdiam sejenak. Didetik selanjutnya, Kaivan melirik nasi goreng yang ada di hadapannya itu. Sebenarnya Kaivan tidak pernah sarapan dengan nasi goreng tapi entah kenapa Kaivan malah memilih memakan masakan Krystal itu.
Saat nasi goreng yang dibuat Krystal menyentuh lidah Kaivan—seketika Kaivan terdiam sejenak. Rasa yang benar-benar pas di lidahnya itu membuat Kaivan menyadari dia tidak pernah makan nasi goreng seenak ini dalam hidupnya.
“Kaivan, apa rasanya keasinan? Atau kurang asin?” tanya Krystal seraya menatap Kaivan yang tengah menikmati makanannya.
“Jika ini keasinan maka aku tidak akan memakannya. Aku tidak suka masakan asin,” jawab Kaivan dingin dan datar.
Krystal mendesah pelan. Dia tidak lagi bertanya. Percuma saja kalau bertanya jawabannya akan sama. Paling tidak Kaivan mau memakan hasil masakannya.
“Krystal,” panggil Kaivan dengan nada pelan namun tersirat tegas.
“Ya?” Krystal mengalihkan pandangannya, menatap Kaivan.
“Kemarin kamu tidak jadi menjenguk adikmu, kan?” tanya Kaivan memastikan.
“Iya. Tidak jadi. Tapi hari ini aku akan menjenguk adikku,” jawab Krystal pelan.
Kaivan mengangguk singkat. “Bersiaplah. Aku akan mengantarmu.”
“Eh?” Krystal tampak terkejut. “Kamu mau mengantarku?” tanyanya dengan wajah bingung.
“Ya,” jawab Kaivan singkat dengan raut wajah datar.
“Hm, apa tidak mengganggu kesibukanmu, Kaivan?” tanya Krystal pelan.
“Cepatlah. Jangan banyak bertanya. Aku menunggumu di depan.” Kaivan menyudahi sarapannya—lalu melangkah meninggalkan ruang makan itu.
Krystal terkejut kala Kaivan sudah meninggalkannya. Dengan cepat, Krystal bangkit berdiri seraya menyambar ponsel dan tasnya. Kemudian, dia mengejar Kaivan yang sudah lebih dulu meninggalkannya. Jujur saja, Krystal tidak enak jika diantar oleh Kaivan. Dia tidak ingin merepotkan pria itu. Namun, jika sudah seperti ini Krystal bisa apa? Dia pun tidak ingin membuat Kaivan marah padanya. Sejak menikah, bahkan Krystal belum pernah melihat Kaivan tersenyum sedikit pun.
***
Mobil yang membawa Kaivan dan Krystal mulai memasuki halaman parkir rumah sakit. Tepat di saat mobil terparkir, Karin dan Krystal turun dari mobil—lalu melangkah masuk ke lobby rumah sakit, menuju ruang rawat adik Krystal.
Saat tiba di ruang ICU, Krystal menatap nanar adiknya yang tergeletak tak berdaya dengan banyaknya bantuan alat pernapasan. Hati Krystal terasa begitu teriris. Bisa dikatakan luka di wajah adiknya begitu banyak hingga membuat Krystal tidak lagi bisa mengenali wajah sang adik. Bulir air mata Krystal terbendung. Dia meneteskan air matanya, jatuh ke pipi melihat keadaan adiknya yang begitu memilukan hatinya.
“Adikmu terlibat balapan liar hingga menewaskan tiga korban yang tidak bersalah. Jika adikmu sadar, dia akan berurusan dengan kepolisian. Meski di depan ruang ICU ini tidak ada polisi tapi di area rumah sakit ini polisi selalu menjaga,” ucap Kaivan yang langsung membuat wajah Krystal muram.
“A-Apa adikku akan di penjara?” Krystal menatap Kaivan dengan tatapan penuh kerapuhan.
“Tidak, jika keluarga korban tidak menuntut. Tapi besar kemungkinan adikmu di penjara karena dia telibat balapan liar bahkan menewaskan tiga orang yang tidak bersalah,” jawab Kaivan lagi menjelaskan keadaan yang sebenarnya dengan nada dingin.
Tangis Krystal semakin deras membayangkan adiknya masuk penjara. “Adikku masih berusia delapan belas tahun. Bagaimana masa depannya jika dia di penjara?” isaknya pilu. Bayangan Krystal terus mengingat pesan kedua orang tuanya untuk menjaga adiknya dengan baik. Nyatanya dia merasa gagal. Dia bahkan tidak pernah tahu adiknya itu terlibat balapan liar.
Kaivan terdiam sejenak melihat Krystal menangis. Dia mengembuskan napas kasar seraya berkata, “Pengacaraku akan mengurus kasus adikmu setelah adikmu sadar nanti. Aku akan berusaha menjamin kebebasan adikmu. Atau paling tidak, adikmu bisa menjadi tahanan kota.”
Seketika tangis Krystal berhenti mendengar ucapan Kaivan. Dia menatap Kaivan dengan tatapan penuh harap. “Terima kasih, Kaivan. Terima kasih,” ucapnya yang langsung memeluk erat tubuh Kaivan. Sedangkan Kaivan diam kala Krystal memeluknya. Pria itu tidak membalas atau pun menolak pelukan dari Krystal.
“M-Maaf—” Krystal mengurai pelukannya. Dirinya yang begitu bahagia, membuatnya lepas kendali.
Kaivan tetap diam. Dia tidak mengidahkan ucapan maaf Krystal. Hingga kemudian, terdengar suara dering ponsel berbunyi. Kaivan mengambil ponselnya yang ada di balik jas—lalu menatap ke layar tertera nama Livia yang ada di layar ponselnya.
“Aku harus menjawab teleponku. Livia menghubungiku,” ucap Kaivan yang langsung berlalu meninggalkan Krystal di ruang ICU itu tanpa menunggu respon dari Krystal. Ya, Krystal bergeming di tempatnya dan terus menatap punggung Kaivan yang mulai lenyap dari pandangannya.