Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7

Vi dan Mulan baru saja keluar dari bar. Keduanya melihat Taksis sedang didekap oleh seorang pria cindo yang mencegah gadis itu hendak mengejar pria bertato dengan seorang wanita berpenampilan seksi.

"Eh, kayaknya kita udah telat," cetus Vi.

"Kayaknya dia abis berkelahi," ujar Mulan membenarkan.

"Iya, kayaknya. Nggak apa-apa, deh! Ini lebih baik daripada dia ngancurin bar aku," lanjut si pria kemayu itu.

Keduanya lantas segera berlari mendekati Taksis yang semakin kepayahan menyangga tubuh dengan kedua kakinya sendiri.

"Koh, maaf. Cewek ini temenku," ujar Vi menarik lengan Taksis.

"Temenku juga, Koh," tambah Mulan kemudian.

Sebelumnya pria itu sempat melihat saat Taksis berada di dalam bar memang duduk satu meja dengan dua orang yang baru saja mengaku sebagai teman wanita yang kini dibantunya untuk tetap berdiri meski sempoyongan.

Percaya pada kedua orang yang baru saja tiba itu, pria itu pun lega karena akhirnya ia bisa pergi. Akan tetapi ....

Huwek!

Baru saja merasa lega, ia justru terkena muntahan wanita mabuk tersebut membuat jaket yang menutupi kaos polonya menjadi bau dan kotor.

"Astaga, Taksis!" seru Vi.

"Maaf lagi ya, Koh," tambah Mulan.

Vi kemudian membawa tiga orang itu ke lantai dua bar miliknya. Di sini ternyata ada kamar khusus staf biasanya digunakan untuk beristirahat para shift malam bergantian melepas penat juga kantuk.

Ia juga membantu pria yang sudah menolong Taksis, melepaskan jaket agar tidak sampai mengenai kaos pria tersebut.

"Sini! Sini! Baringkan sini! Ini tuh kamar khusus staf. Tapi kalian boleh pakai nginep kalau mau nginep," tawar Vi sembari mengarahkan pada Mulan dan pria itu.

"Taksis, kamu terlalu banyak minum," kesal Mulan.

"Dia nggak akan mendengar," balas pria itu.

"Hehehe, iya. Kami minta maaf lagi ya, Koh. Terima kasih banyak sudah merepotkan. Dia kalau lagi mabuk emang suka halu jadi Power Ranger Pink yang membela keadilan dan kebenaran," ujar Mulan.

"Nggak apa-apa. Aku biasanya melihat dia versi seorang Ibu. Agak terkejut melihat dia begini," jawab pria itu santai.

"Ha?! Biasanya?!" Mulan dan Vi justru terkejut.

"Oh, aku tinggal di kondominium yang sama dengan Mama Yuka ini," jelas pria itu lagi.

"Ooo, kok bisa kebetulan sekali. Sama-sama di Batam, lalu ketemu di Surabaya."

Tubuh lunglai tak berdaya yang diam saja sejak dibopong ke ruangan ini pun tiba-tiba menggeliat, memanggil nama gadis kecil yang selalu bersamanya 24 jam selama hampir empat tahun terakhir.

"Yuka! Yuka!"

"Dia mengigaukan putrinya. Begini saja, Taksis yang akan mengembalikan jaketmu, Koh. Kalau Koko mau pulang nggak apa-apa," ujar Mulan tak enak hati karena harus merepotkan orang asing itu.

"Atau kamu mau membersihkan diri dulu? Kamar mandi di sebelah sana! Atau aku antar, yuk!" Vi menunjukkan letak kamar mandi pada orang yang sudah membantunya mengurus Taksis.

Pemilik bar lantas mengantar pria itu sampai ke depan pintu kamar mandi, kemudian meninggalkannya. Vi pun kembali ke ruangan di mana Taksis dan Mulan berada.

"Taksis, Taksis. Huft! Berhentilah mencampuri urusan orang lain," gerutu Vi saat sudah berada di dalam ruangan mantan pegawainya terbaring karena mabuk berat.

Vi kemudian mengajak Mulan untuk meninggalkan ruangan itu karena teringat dengan pria seksi berkoas merah jambu tadi. Keduanya harus buru-buru sebelum pria itu meninggalkan bar sehingga tidak sempat lagi berbagi nomor telepon sesuai rencana awal.

Di tempat lain. Seorang pria dengan cemas bolak-balik mengubah posisi tidurnya. Ia masih kepikiran pada sahabatnya yang meninggalkan putrinya dan saat terakhir berkomunikasi, sahabatnya itu sedang dalam keadaan mabuk.

Leo menyerah. Sudah berusaha untuk tidur, tetap saja tidak bisa. Dinyalakan kembali lampu kamarnya, kemudian meraih ponsel di atas nakas.

"Kenapa dia nggak telepon balik?" gumam Leo menatap ponsel di tangan.

Sudah sejam lebih sejak panggilannya kepada Taksis berakhir. Ia pun memutuskan untuk melakukan panggilan lagi. Berkali-kali menelepon, tetapi tidak juga dijawab. Namun, ia tidak menyerah dan terus melakukan panggilan ulang.

"Di mana mereka?" gumam pria yang baru saja kembali dari kamar mandi, tetapi mendapati ruangan itu kini hanya ada Taksis seorang. Sementara dua lainnya tidak lagi berada di sana.

Sejurus kemudian, fokusnya beralih pada ponsel yang menyala dan mengeluarkan bunyi nyaring, tetapi tak juga membuat Taksis terbangun. Pria itu lantas mengambil ponsel tersebut. Pada layar tertera nama PAPA YUKA memanggil.

"Hei, suamimu menelepon. Dia pasti khawatir, jawablah sebentar!" Pria itu memegang ponsel milik Taksis dan menyodorkan. Diguncangnya tubuh wanita yang sedang teler itu agar terbangun. "Kak, Kakak! Apa kamu nggak mau menjawab telepon suamimu? Ini, ini ambillah!" perintahnya sekali lagi.

Setelah merasa terusik karena tubuhnya diguncang-guncang, Taksis meraih benda pipih tersebut. Lamat-lamat melihat tombol hijau berarti menjawab, lalu digesernya ke atas. Setelah itu, benda tersebut dilempar begitu saja. Melihat telepon telah tersambung, pria itu memungut ponsel yang menyala itu.

"Taksis! Mengapa kamu nggak telepon balik?!" teriak Leo dari seberang sana melalui sambungan telepon.

"Aku bukan Taksis, dia sedang tidur," jawab pria yang baru saja memungut ponsel milik Taksis.

"Kamu siapa? Kenapa kamu menjawab teleponku? Berikan teleponnya pada Taksis! Apa kamu seorang pencuri?" kesal Leo karena justru pria asing yang menjawab telepon darinya.

"Jika kamu sangat khawatir, yang harus kamu lakukan adalah meluangkan waktu untuk istri dan anak kamu. Jika dia sudah bangun akan kuberitahu kalau kamu menelepon," pungkas pria itu lalu mematikan telepon.

"Huft! Suamimu benar-benar tolol," gumamnya ikut kesal karena harus terlibat dengan drama rumah tangga orang-orang yang tidak ia kenal.

Sementara itu, di Batam sana Leo yang belum selesai berbicara tampak semakin murka, tetapi bercampur penasaran. Perasaannya sekarang campur aduk. Ia khawatir pada putrinya yang ditinggal pengasuh yang mabuk. Ingin datang secepatnya untuk menjemput sang anak. Namun, ia tidak punya alasan untuk apa pergi ke Surabaya?

"Halo! Halo!" seru Leo masih menempelkan ponsel di telinga. Sementara panggilan telah berakhir beberapa detik berlalu. "Suara pria ini macam nggak asing. Siapa dia? Kenapa terdengar akrab di telingaku?" gumam Leo bermonolog.

Keesokan harinya dengan wajah kuyu kurang tidur bahkan sama sekali tidak tidur. Leo berjalan gontai ke ruang santai yang terdapat televisi ukuran raksasa di sana. Dihempaskannya tubuhnya ke atas sofa, berhadapan dengan wanita setengah tua yang akrab dipanggil Tante olehnya.

"Waaah, tumben kamu bangun pagi-pagi sekali, Leo?" ujar Tante Monica pada kemenakannya itu.

"Aku semalam balik larut banget, Tan. Terus nggak bisa tidur," jawab Leo setengah berdusta.

"Leo, Tante ingatkan kamu, ya! Kamu itu udah punya tunangan jadi berhentilah pacaran dengan para gadis itu. Violin mungkin nggak mengatakan apa-apa tapi emang kamu tahu apa yang di dalam pikiran papa Violin?" ucap Tante Monica memperingati Leo pagi ini.

"Oke, noted," jawab pemuda itu singkat dan padat.

"Leo, Leo ... kamu itu beruntung, orang tua kalian telah meninggalkan banyak harta untuk kalian. Tetapi jika kamu menghamburkan uang mereka, kamu nggak akan punya apa-apa lagi," nasihat wanita setengah tua itu terdengar begitu bijak, sayangnya cukup disepelekan saja oleh keponakannya.

"Jangan khawatir, Tante! Tante lihat sendiri, Neymar sedang mengurus uangku juga uangnya. Eh, Tante nonton apa? Kuganti, ya?" Leo yang bosan mendengar tantenya berceramah di pagi hari pun mengalihkan topik pembicaraan.

Dirampasnya remote TV dari tangan sang Tante. Ia kemudian nyengir sembari menowel dagu wanita yang sudah belasan tahun mengganti peran orang tuanya.

"Ish! Jangan mengubah topik pembicaraan," kesal sang Tante.

"Jangan nonton sinetron, Tan! Mari kita nonton berita pagi ini," cibir Leo yang kemudian memencet tombol angka pada remote untuk mengganti saluran sinetron menjadi berita.

"Dalam 4 tahun terakhir ini ada banyak anak-anak terlantar. Penyebab utama adalah kehamilan yang tidak diinginkan dan remaja."

Leo menelan saliva mendengar orang di dalam televisi tersebut membacakan berita. Seolah tersindir, memang dirinya adalah salah satu yang dimaksud di dalam berita. Hanya saja, secara materi ia tidak benar-benar menelantarkan putri hasil hubungan dengan pacarnya semasa SMA. Namun, sampai sekarang ia juga masih belum berani mengakui kalau dirinya adalah Ayah biologis dari Yuka.

Sementara itu, Gitara juga sampai sekarang tidak ada kabar sama sekali. Baik ia maupun Gitara sama-sama cuci tangan dan melimpahkan semuanya pada seorang gadis yang terpaksa kehilangan masa muda demi menjadi ibu dari anak mereka, pasangan yang membuat anak di luar pernikahan.

"Mengapa anak muda begitu ceroboh nggak pake kondom? Sekarang bayi mereka jadi korban. Pria brengsek! Mereka nggak tahu apa yang harus dilalui oleh ibu tunggal sangatlah berat," caci Tante Monica seketika membuat Leo mendelik tersindir.

"Setuju! Tante, emang betul," sambar Leo. Lain di mulut lain pula di hati pemuda itu.

"Puji Tuhan kamu hanya pergi clubbing jangan sampai tidur sama cewe lalu menghamili mereka," lanjut Tante Monica semakin membuat keponakannya sangat malu di dalam benaknya.

"I-iya. Puji Tuhan," balas Leo tergagap.

Tante Monica tidak tahu jika keponakan kesayangannya itu adalah satu dari para kawula muda tanpa kondom saat bergemes-gemes ria dengan para gadis. Yang ia tahu Leo adalah anak yang patuh pada adat kuno orang timur di mana berhubungan badan sebelum pernikahan adalah tabu untuk dilakukan. Padahal, sejak SMA pemuda itu sudah doyan gonta ganti pacar sebagai teman bobok bareng.

"Oiya, Tan. Kalau seandainya aku menghamili seorang cewek, apa yang akan Tante lakukan?" tanya Leo berandai-andai, padahal kenyataannya memang sudah seperti itu dan sudah hampir empat tahun usia putrinya.

"Apa yang Tante lakukan? Kamu adalah pria dewasa semua terserah padamu," jawab Tante Monica santai.

"Syukurlah ...." Leo mengelus dadanya sembari tersenyum lega.

"Tapi, Neymar dan Violin juga papa Violin akan membunuhmu," lanjut Tante Monica membuat senyuman Leo seketika lenyap.

Deg!

Jantung Leo seolah minta cuti. Tadinya sudah cukup melegakan karena sang Tante ternyata tidak segarang yang ada di dalam pikirannya. Namun, begitu menyebut tiga orang barusan, ia kembali seperti berada di sebuah paralayang dengan pemandu yang pingsan. Sementara dirinya sendiri takut akan ketinggian.

"Tentunya pria pintar dan licik seperti kamu nggak akan membuat kesalahan seperti itu kan, Leo?" terka Tante Monica. Seketika Leo menjadi kikuk. Ekspetasi tantenya terhadap dirinya ternyata berbeda jauh dengan kenyataan yang sudah terlanjur terjadi.

"Betul! Nggak akan pernah. Tante bisa percaya padaku!" ujar Leo meyakinkan Tante Monica. Benar-benar seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Sudah hampir empat tahun rahasia ini tersimpan rapat. Mungkinkah akan terbongkar?

Leo menyomot sepotong lapis legit, lalu meninggalkan tantenya. Ia kembali ke kamar untuk mengecek ponsel miliknya. Nihil, tidak ada pesan maupun telepon dari Taksis. Perasaan pemuda itu menjadi tidak karuan lagi. Segera ia mengirim pesan beruntun pada sahabatnya di Surabaya.

"Taksis, di mana kamu?"

Pesan pertama sukses terkirim.

"Jam berapa kamu tadi malam pulang?"

Leo menyundul dengan pesan kedua yang juga sukses terkirim.

"Kapan kembali ke Batam?"

Lagi, pesan ketiga baru saja ceklis dua yang berarti terkirim juga.

"Atau aku jemput kamu ke Surabaya, ya?"

Dan pesan berikutnya menjadi pesan keempat. Leo mengacak rambutnya. Kepalanya sebentar lagi meledak. Taksis benar-benar sukses membuatnya kacau balau dan tersiksa.

Sementara itu, di Surabaya ....

Kepalanya terasa berat dan bau alkohol menyeruak mengganggu indra penciuman. Netranya bergerilya meski menyipit, melihat sekeliling. Tampak sangat asing baginya. Ia tidak ingat kapan datang ke tempat tersebut.

"Hei, Sist? Udah bangun?" sapa Mulan yang sudah terlihat rapi juga wangi seperti biasanya.

"Ini di mana? Kok, aku bisa sampai di tempat ini? Tunggu! Jangan bilang aku tadi malam gila?" oceh Taksis menerka-nerka kejadian saat ia sedang mabuk.

"Emang gila. Sampai-sampai aku, Vi, dan Neymar harus membawa kamu ke sini," jawab Mulan diakhiri dengan cekikikan.

"Neymar?!"

"Kenapa kaget?" tanya Mulan berhenti cekikikan.

"Neymar siapa?" Taksis balik bertanya.

"Lho, dia bilang tetangga kamu di Batam. Dia juga lupa untuk mengambil jaketnya yang kena muntahan kamu. Nanti kamu kembalikan, ya! Sekarang kita siap-siap temui Bu Sarah lagi," jawab Mulan yang kini mulai merapikan alat makeup miliknya lalu memasukkannya ke dalam tasnya.

Neymar. Taksis sekelebat ingat kejadian tadi malam. Seorang pria muda keturunan Tionghoa yang keluar dari mobil Fortuner putih. Orang itu terlihat sama dengan yang tempo hari menyelamatkan Yuka, putrinya. Taksis pun segera menebak jika Neymar yang dimaksud Mulan adalah pria itu.

"Bu Sarah? Oke, oke," jawab Taksis usai terdiam memikirkan siapa Neymar?

"Siapkan alasan untuk suami kamu yang entah siapa itu pada Bu Sarah nanti," pinta Mulan mengingatkan sahabatnya jika ia telah berjanji pada Bu Sarah kunjungan berikutnya akan membawa suaminya.

"Astaga ... di mana aku harus menemukan suami palsu?" tanya Taksis yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Mulan.

Sedang pusing memikirkan bagaimana cara mendapatkan suami palsu, tiba-tiba terdengar suara dering iPhone yang membuat konsentrasi Taksis buyar. Ia gegas menyuruh Mulan menjawab atau mematikan ponsel.

"Angkat teleponnya! Berisik!" perintah Taksis pada sahabatnya.

"Itu bukan ponselku," jawab Mulan setelah melihat ponsel miliknya berada di genggamannya sendiri.

Mulan lantas bangkit dari duduknya guna mencari sumber suara dering iPhone tersebut. Setelah beberapa saat, akhirnya menemukan benda pipih di dalam saku jaket milik Neymar.

"Neymar lupa membawa ponselnya masih di jaket," ujar Mulan sembari memegang iPhone milik Neymar yang dibiarkan berdering tanpa menjawabnya.

"Sini!" Taksis merampas benda berlogo buah apel yang tidak utuh tersebut dari tangan Mulan. "Hmmm, kok, aku jadi ada ide. Kayaknya aku udah nemuin seseorang untuk jadi suamiku," ujar Taksis lalu tersenyum.

"Siapa?" tanya Mulan penasaran.

Tanpa password, Taksis dengan mudah menjawab panggilan telepon yang ternyata dilakukan oleh si pemilik iPhone tersebut. Neymar meminjam ponsel staf hotel tempatnya menginap untuk melakukan panggilan pada kontaknya sendiri.

"Halo! Aku Neymar, tadi malam aku lupa ponselku di saku jaket," ujar pria berdarah cindo itu.

"Oh, iya. Maaf, Koh. Tadi aku nggak dengar ada ponsel bunyi, jadi nggak tahu ada telepon. Baru terdengar sekarang. Maaf ya, Koh," jawab Taksis menahan tawa.

"Nggak masalah. Bisakah kamu meninggalkan ponselku di bar? Aku akan kembali untuk mengambilnya," perintah Neymar kemudian.

"Tapi, aku udah nggak di bar, Koh. Bisakah kamu mengambilnya di rumah sakit?" Taksis berbohong. Ia sedang menjalankan rencana liciknya agar Neymar mau tidak mau datang untuk menemui dirinya.

"Oh, begitu? Oke, oke. Rumah sakit yang mana?" tanya Neymar setuju bertemu di rumah sakit dengan Taksis.

Gadis itu menyebutkan sebuah nama rumah sakit di kota Surabaya. Ia tidak berharap banyak rencananya akan berhasil. Akan tetapi, selain Neymar tentunya saat ini tidak ada pilihan lain lagi untuk jadi suami palsunya.

"Oke, aku akan ke sana. Terima kasih banyak," jawab Neymar.

"Baik, sampai jumpa," pungkas Taksis mengakhiri sambungan telepon dengan pemilik iPhone yang kini ia gunakan.

Gadis itu berjingkrak senang karena Neymar setuju datang ke rumah sakit. Walaupun ia masih belum menyampaikan permintaan agar pria itu bersedia membantu dirinya. Akan tetapi, setidaknya ada sedikit kemungkinan pria itu mau memberikan bantuan.

"Ehem! Apa kamu pikir orang asing itu akan mau bantuin kamu?" tanya Mulan meragukan rencana Taksis juga ketersediaan Neymar untuk terlibat.

"Mana kutahu? Setidaknya bisa dicoba dulu," jawab Taksis.

Berbohong kepada Bu Sarah ternyata membuat dirinya dalam kesulitan. Di Surabaya ia sudah menjadi orang asing. Jangankan menemukan suami palsu, menemukan teman untuk ngopi bareng saja tidak mungkin.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel