Ringkasan
Setelah bertunangan dengan putri tunggal seorang Presdir, Leo baru tahu bahwa pacarnya saat SMA hamil dan melahirkan. Pacarnya kabur ke Jerman dan meninggalkan bayi tersebut di rumahnya. Demi menyelamatkan pertunangan Leo, maka sahabatnya dan abangnya berpura-pura menjadi orang tua bayi tersebut dan melakukan pernikahan kontrak dengan imbalan 5 milyar untuk istri kontrak abangnya. Namun, hal mengejutkan terjadi. Leo menyadari bahwa dirinya ternyata jatuh cinta pada istri kontrak abangnya ....
01
POV TAKSIS
"Taksis! Bersihkan meja nomor 6!"
Hai, aku Taksis. Nama panjangku Taksis Irene Hermione. Hidupku ini adalah hanya sebuah lawakan saja. Aku selalu ditindas oleh orang lain. Jika dibandingkan dengan bunga teratai, akulah yang berada di bawah lumpur dan tidak pernah melihat matahari.
"Silahkan, iced Americano Anda, Tuan!"
Aku adalah seorang yatim piatu dan tidak pernah tahu siapa orang tuaku yang mana. Aku harus bekerja juga belajar di saat yang sama. Aku sudah dipaksa mandiri sejak masih kecil.
"Baiklah, satu salad Caesar, salad tuna juga, pesanan akan segera datang!"
Aku bekerja paruh waktu di sebuah kafe tak jauh dari sekolah. Lagi-lagi bos di sini menerima diriku yang masih di bawah umur itu semua tak lepas dari permintaan khusus ketua yayasan tempatku tinggal sebelumnya-Bu Sarah. Sekarang sudah tidak lagi. Panti asuhan itu tidak lagi punya donatur, untungnya ketua yayasan sigap mendapatkan orang tua baru untuk semua anak-anak di sana.
Kecuali aku. Siapa yang mau mengadopsi diriku yang sudah terlalu besar untuk dijadikan sebagai anak asuh? Kala itu usiaku sudah 15 tahun. Sejak itu pula, aku dipaksa dewasa oleh keadaan, mencari makan untuk diriku sendiri. Gadis kecil yang berkeringat demi bisa tinggal layak dan makan kenyang.
Sampai aku akhirnya bertemu dengan pemuda ini. Dia adalah Leo, seorang tuan muda keluarga kaya raya secara mengejutkan menjadi teman dekatku. Aku kemudian merasa seperti teratai yang sekarat melihat seberkas sinar matahari. Namun begitu, itu hanya ekspetasi diriku saja. Faktanya ....
"Taksis! Taksis!"
Suara pemuda itu terdengar begitu keras membuat dua temanku yang tadinya berjalan beriringan dengan diriku langsung kabur.
"Apa? Aku sibuk hari ini jangan memintaku melakukan hal-hal sepele!" kataku padanya.
"Kamu bisa nggak ngurusin panggilan roll untuk aku?" tanya Leo yang lagi-lagi memintaku melakukan ini dan itu.
"Nggak!"
Aku menolak dengan lantang. Sudah kubilang aku sedang sibuk. Mengerjakan tugas anak itu terkadang membuat tugasku sendiri terbengkalai.
"Seratus ribu!" ucapnya seraya mengeluarkan selembar uang kertas seratus ribuan dari kantong saku celananya.
"Ya, baiklah!" Kurampas uang itu segera meninggalkan dirinya. Itu tandanya aku telah setuju untuk melakukan perintahnya tadi.
Ya, aku sahabat Leo, tetapi juga babunya Leo.
"Taksis! Taksis!"
Kudengar suara Leo yang berseru memanggil aku. Sudah kuduga pasti setelah tugas satu akan ada tugas lainnya. Aku segera berlari, tetapi Leo mengejar diriku.
Hap!
Sudah sekuat tenaga berlari, tetapi Leo berhasil menangkap lenganku. Aku pun terpaksa berhenti dan meladeninya lagi.
"Taksis, tolong buatkan laporan mingguan punyaku juga, ya!" pintanya padaku.
"Nggak!"
Aku menolaknya, seperti biasanya, Leo mengeluarkan uangnya untuk membuatku berubah pikiran.
"Seratus ribu!" tawarnya seraya memperlihatkan selembar uang kertas seratus ribuan.
"Nggak!"
Aku menolak lagi. Uang itu terlalu sedikit untuk harga sebuah laporan mingguan.
"Dua ratus ribu!" Leo menaikkan tawarannya.
"Nggak!" Aku masih belum bersedia.
"Baik, 350 ribu! Bagaimana?"
Tawaran yang cukup untuk sebuah laporan yang hanya bermodal map tulang tiga ribu rupiah dan kertas HVS seribu rupiah dapat enam lembar. Aku tersenyum puas, kemudian menjimpit uang-uang tersebut dari jemari Leo sahabatku.
"Terima kasih," ucapnya padaku.
Dibayar ratusan ribu rupiah hanya untuk sebuah laporan? Kedengarannya mudah dan sepele, aku hanya memangku laptop setelah selesai mesin printer yang bekerja. Oh, tidak semudah itu, Ferguson! Yang sebenarnya terjadi ialah ....
"Taksis! Ambilin aku minum!" pinta Leo yang sedang berbaring di atas sofa yang nyaman sembari memainkan game online. Sementara aku? Aku sibuk mengerjakan laporan miliknya sejak tadi, bahkan tugasku sendiri sama sekali belum kusentuh.
"Ambil sendiri!" tolakku tanpa mengalihkan perhatian dari layar laptop.
"Aku haus!"
Kudengar bocah besar itu merengek dengan suara manja yang menyebalkan sekali. Terpaksa kuhentikan aktivitas sejenak. Berjalan ke dapur, menuang air dingin pada gelas bening berukuran 300 Mili liter, lalu membawanya kepada Leo yang masih sibuk dengan game onlinenya.
"Aku lupa kasih tau aku mau minum yang agak hangat kuku bukan air dingin," ujarnya tanpa segan dengan senyuman yang terlihat cringe.
Berjalan dengan mengentak kaki karena kesal. Aku mengganti air dingin itu dengan air hangat dari dispenser sesuai dengan permintaannya. Kuberikan padanya sehingga sukses membuat anak laki-laki itu kembali tersenyum.
"Aku tiba-tiba pengen ngemil. Ada makanan ringan kan di kabinet?" Lagi-lagi dia memerintahku. Aku beringsut memeriksa kabinet. Benar saja, terdapat berbagai macam makanan ringan di tempat ini.
Kupilih beberapa yang biasanya Leo suka memakannya. Dia suka kripik pedas, tapi juga suka wafer keju, lalu satu lagi lumpia kering favoritnya. Kuletakkan tepat di atas meja di depan sofa tempat Leo berada.
"Eh, tapi kok perutku laper banget, ya? Kamu masak dong! Bukannya kemarin kusuruh ngisi kulkas? Tolong lah, Taksis! Please ...!" pintanya lagi.
Anak ini selain menyebalkan juga kurang ajar sekali. Aku tidak tahan lagi. Sekarang sudah larut malam dan tugas membuat laporan belum juga selesai, tetapi Leo justru bertingkah seperti bocah minta ini dan itu.
"Cukup! Aku nggak akan jadi babu kamu lagi! Juga duit kamu lagi! Duitmu nggak bisa membeliku!" seruku kesal.
Kuambil laptop yang masih menyala langsung kututup begitu saja. Aku berniat untuk menginap di rumah temanku yang lain saja malam ini. Kesal dan marah diri ini pada bocah besar itu.
"Taksis, tunggu!" Leo mencegahku, menarik pergelangan tanganku. "Aku sangat lapar. Kamu bisa kan belikan aku makanan? Jadi, kamu nggak perlu masak. Aku emang nggak peka harusnya aku tau kamu udah capek ngerjain tugas sekolahmu juga tugas sekolahku," lanjutnya memohon dengan wajah dibuat-buat semanis mungkin.
Leo kemudian mengeluarkan selembar uang seratus ribuan. Dia memintaku membeli dua porsi kwetiau goreng untuk kita makan berdua. Dia juga mengizinkan aku mengambil kembalian uang tersebut. Huuffft! Lagi-lagi aku terpedaya olehnya juga duitnya.
Seorang gadis miskin seperti diriku akhirnya menjadi babu uang seorang Leo setiap waktu. Tiga tahun bersamanya membuat diriku cukup uang untuk membayar biaya sekolah dan menghidupi diri sendiri.
Kita harus berpisah setelah lulus sekolah. Leo akan kuliah di luar negeri. Sementara aku tanpa dia bagaimana nantinya? Aku sendiri tidak tahu. Jangankan untuk kuliah, untuk hidup sehari-hari saja aku mengandalkan uang sahabatku itu. Ya, meski aku juga punya pekerjaan paruh waktu yang melelahkan.
"Kamu emang bisa apa-apa sendiri di sana? Apa kamu ingin membayar seorang pengasuh untuk mengurus dirimu?" ejekku pada Leo.
Ini adalah hari terakhir kami bertemu. Aku dan Leo akan berpisah untuk waktu yang sangat lama. Leo hari ini berangkat ke luar negeri.
Semua yang dia butuhkan di sana nanti sudah kupacking di dalam koper miliknya. Sekarang kutemani sahabatku itu menunggu mobil jemputan yang dikirim oleh abangnya untuk mengantarkan Leo ke bandara.
"Jangan meremehkan aku! Kamu nggak ada aku juga susah, kan?" balas Leo yang kemudian menyikut lenganku.
Aku mengelus bekas sikutannya yang terasa sakit. Setelah ini aku nggak akan punya lawan bertengkar lagi. Aku juga tidak perlu meneriaki dia lagi untuk bangun dan berangkat ke sekolah. Ya, aku memang sudah beberapa tahun tinggal di rumah Leo. Hanya ada aku dan Leo. Eits! Jangan berpikir sembarangan! Antara aku dan Leo murni persahabatan. Dia tidak pernah melakukan hal yang tidak senonoh kepada diriku.
"Okay, sebentar lagi jemputan kamu datang," ucapku tak sabar menanti mobil kiriman abangnya Leo.
"Taksis, aku sangat berterima kasih sama kamu. Sejujurnya aku sangat ragu apa aku bisa lulus tanpa kamu di sana?" tanya Leo yang meragukan kemampuan diri sendiri.
"Nggak usah manja! Aku juga sebenarnya kalau kamu pergi aku kehilangan setengah lebih mata pencaharian," jawabku berterus terang.
"Jangan khawatir! Aku punya ide. Aku akan kirimkan semua tugas aku ke kamu melalui email. Gimana?" cetus bocah tengil itu.
"Dasar curang!" umpatku sembari menoyor kepalanya.
"Jangan mengataiku! Pokoknya jika kamu butuh bantuan, katakan saja padaku. Fair bukan?" Leo rupanya hendak berbisnis denganku.
"Ya, baiklah," jawabku setuju.
"Aku pergi dulu. Peluk!" pintanya sembari merentangkan kedua tangannya hendak memelukku, tetapi langsung kulempar dengan ransel miliknya yang sedari tadi kubawa. Ditangkapnya dengan sempurna lalu dia menunjukkan ekspresi keberatan.
"Enak aja!"
"Apa kamu nggak mau memelukku?" Leo masih bertanya hal menggelikan itu yang sudah jelas-jelas kutolak mentah-mentah.
"Nggak. Sana pergi! Dadaaaa ...!"
"Jangan terlalu bersedih gitu," hibur Leo. Dasar bocah besar sok tahu. Memangnya siapa yang sedang bersedih harus berpisah dengan dirinya?
"Nggak sedih. Kamu jangan bertingkah di sana!" pesanku padanya. Meskipun aku tidak yakin bahwa dia akan mematuhi pesanku ini.
"Iya, mommy," jawab Leo mengejekku.
"Siapa mommy? Enak aja!" Aku pun protes tatkala dia menyebut diriku Ibu.
"Hahaha!"
Leo tertawa terbahak-bahak setelah sukses membuatku kesal gara-gara dipanggil Ibu olehnya. Tak lama kemudian, sebuah mobil Fortuner putih perlahan berhenti tepat di depan kami. Seorang sopir keluar dari kendaraan mengkilap tersebut.
Kulihat Leo menjadi tampak sedih dengan bola mata yang berembun. Dasar bodoh! Makiku di dalam hati. Untuk apa dia bertingkah cengeng seperti itu? Bukan kah usianya sudah 19 tahun? Satu tahun lebih tua dariku meski kami satu angkatan.
Leo masih enggan menutup kaca meski mobil yang membawanya sudah berjalan. Aku melambaikan tangan mengucapkan selamat tinggal. Pun demikian dengan Leo yang mengeluarkan sebagian kepalanya dari jendela mobil. Bocah tengil itu terlihat mengusap matanya sebelum menjauh. Dia menangis? Dasar cengeng!
"Yes! Merdeka ... akhirnya aku bebas!"
Kulakukan celebration kemerdekaan dengan melompat setinggi-tingginya. Akhirnya, aku bebas sekarang. Tidak ada lagi yang memerintah diriku ini dan itu. Good luck, Leo! Semoga setelah kembali dari luar negeri, bocah tengil itu menjadi lebih dewasa dan baik budi.
Sebulan kemudian ....
Aku dan Leo masih intens berkomunikasi. Aku juga masih tinggal di rumah Leo. Kalau bukan aku, memangnya siapa yang akan mengurus rumah tua peninggalan orang tuanya tersebut?
Bertahun-tahun tinggal dengan Leo, kuketahui jika dia itu sama seperti aku yang yatim piatu. Bedanya, sebelumnya aku tinggal di panti asuhan tanpa tahu siapa orang tuaku. Sementara dia, kedua orang tuanya meninggal dunia karena kecelakaan. Leo setelah masuk sekolah menengah atas memutuskan tetap tinggal di rumah peninggalan orang tuanya dengan alasan dekat dengan sekolah. Padahal, kutahu karena dia ingin bebas dari abangnya juga tantenya.
Perbedaan lainnya antara aku dengan Leo tentunya derajat ekonomi. Ya, dia putra bungsu konglomerat yang hartanya tidak akan habis sampai tujuh keturunan. Sementara aku, saat itu masih mengelap meja bekas tumpahan kopi pengunjung kafe.
"Taksis! Taksis! Kabar buruk, cepat ikut aku!"
Kafe sedang sibuk, tiba-tiba temanku datang dengan paniknya membuat orang-orang memerhatikan dirinya.
"Pelankan suaramu! Nanti bosku marah," pintaku padanya.
"Taksis, gawat! Leo, Leo, anak itu berulah. Dia sudah bikin Gitara hamil. Sekarang Gitara mengancam akan melakukan aborsi," jelasnya yang langsung membuatku hampir pingsan karena kaget.
"Apa katamu?!"