Sekolah
Di sekolah
Zhea kini berjalan menyusuri lorong dengan kepala yang terus menunduk dalam.
Ia sangat malu saat ini.
Bagaimana tidak malu jika beberapa menit yang lalu Deymond mengantarnya ke ruang kepala sekolah, mengatakan pada kepala sekolah jika ia istrinya.
Tak hanya itu, bahkan Deymond mengumumkan pada semua guru jika ia adalah istrinya.
Alhasil Zhea tidak mendapatkan hukuman apalagi diskors melainkan ucapan selamat dari para guru.
Tadinya Deymond hendak mengantarkan dirinya ke kelas namun karena tidak ingin malu di depan teman- temannya, terlebih oleh Caramel, Zhea menerima tawaran gila Deymond tentang menjadi ibu susu putranya,
"Ahh aku pasti sudah gila tadi."
Zhea terlihat uring- uringan kala mengingat ia menerima tawaran yang Deymond berikan tadi sewaktu di mansion.
"Bodoh amatlah, pikirkan saja itu nanti. Sekarang yang terpenting aku bisa masuk kelas tanpa hukuman dari pak Jemy."
Zea sedikit mempercepat langkahnya
berjalan menuju kelasnya.
Tok tok
Semua kepala menoleh ke arah ambang pintu, suasana mendadak jadi hening.
Zhea berjalan menghampiri guru yang sedang mengajar.
"Maaf pak saya terlambat."
Zhea menundukkan kepalanya dalam, enggan menatap gurunya.
"Iya enggak papa. Udah duduk di tempatmu."
Zhea mengangkat kepalanya, menatap tak percaya pak Jemy.
Pak Jemy melemparkan senyum tipis pada Zhea.
Seisi kelas tercengang kala melihat hal itu.
Terlebih tatapan tajam Caramel seolah menghunus ke dalam ulu hati Zhea.
Bagaimana bisa Zhea lolos dari hukuman pak Jemy yang begitu killer akan murid yang terlambat akan kelasnya?
Zhea yang juga bingung dengan semua ini, juga merasa canggung dan risih dengan tatapan teman- temannya.
Dengan rasa yang berat hati Zhea duduk di bangkunya.
Kemana Bora?
Ah sudahlah, Zhea tak peduli hal itu sekarang.
Ia hanya ingin semua teman- temannya lupa akan apa yang terjadi hari ini.
Zhea benar- benar menyesali semua yang terjadi pagi ini.
Bahkan ia juga mengutuk Deymond saking kesalnya.
Pelajaran pun berlangsung, meski ada suara bisik- bisik dan tatapan sinis pada Zhea.
Zhea tak peduli dengan hal itu, ia fokus dengan apa yang sedang dijelaskan oleh pak Jemy.
Caramel kembali menghadap ke depan, merasa marah dan kesal kala Zhea bisa pergi ke sekolah setelah ibunya menjual pada seorang germo.
Bagaimana bisa ia pergi ke sekolah?
Ah shit, mana mungkin germo itu membiarkan dia pergi ke sekolah? Aku jadi ingin tahu germo itu, bagaimana bisa ia sebaik itu padanya?
Bahkan ia lolos dari hukuman pak Jemy.
Itulah suara batin Caramel yang mana ia terus menggerutu serta mengumpat saat melihat Zhea datang ke sekolah seolah tidak terjadi apa- apa padahal semalam ibunya telah menjualnya pada seorang germo.
Pelajaran pun berlangsung di mana mereka mengikuti pelajaran dengan begitu tenang dan lancar.
***
Jam istirahat telah tiba
Pak Jemy sudah meninggalkan kelas sejak beberapa menit yang lalu.
Zhea kini sedang mengemas bukunya hendak pergi ke kantin.
Dari semalam ia belum makan dan ia begitu lapar sekali saat ini.
"Ayo ikut kami!"
Dua anak buah Caramel langsung membawa Zhea begitu saja entah kemana.
"Kalian mau membawaku kemana? Lepaskan!"
Banyak dari pasang mata yang melihat hal itu.
Sayangnya mereka tidak berani melawan atau membantu Zhea.
Mereka sendiri takut dengan Caramel.
Biasanya jika ada Bora, dialah yang akan menjadi pelindung Zhea.
Namun, berhubung hari ini dia tidak masuk kelas alhasil Zhea menjadi bahan pelampiasan Caramel.
Kakak tiri Zhea sendiri.
Brugh
Zhea merasakan perih yang menusuk-nusuk ketika lututnya terhempas ke lantai dingin gudang itu.
Rasa sakit yang semakin menjalar di sekujur tubuhnya membuatnya meringis.
Di saat yang bersamaan, Caramel memberi isyarat pada kedua temannya untuk meninggalkan mereka berdua, seolah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dalam kesunyian gudang tersebut, Zhea terkekeh pelan seraya mencoba mengabaikan rasa sakit yang kian tak tertahankan.
Sedangkan Caramel, yang berjongkok di depan Zhea, mencengkeram kuat rahang pipinya, memaksa Zhea untuk menatap matanya.
"Gimana lo bisa pergi ke sekolah? Bukankah ibu sudah menjualmu?" Seraya berusaha menyembunyikan rasa sakit itu, Zhea tersenyum tipis.
Caramel memicingkan matanya dengan tatapan tajam yang mempertanyakan kelakuan Zhea.
Tamparan ringan itu terdengar nyaring, seakan sebagai peringatan bahwa Caramel tidak akan menoleransi perbuatan Zhea.
"Lo tahu apa?!" sahut Zhea dalam hati, ingin melawan namun ia sadar bahwa posisinya sangat lemah saat ini.
"Gue bakalan aduin lo sama ibu, kalau lo kabur dari pria itu," ujar Caramel, membuat senyuman di wajah Zhea kembali muncul meski tertutup rasa sakit.
"Apakah aku pantas diperlakukan seperti ini? Apakah aku tidak berhak mencari kebahagiaan di tengah-tengah dunia yang keras ini?" gumam Zhea dalam hati, mencoba meyakinkan diri bahwa dia mampu melawan nasib buruk yang telah dituliskan baginya.
Walau rasanya mustahil, Zhea memilih tetap tersenyum, menunjukkan bahwa tekadnya tak akan patah semudah itu.
"Aduin aja. Lagian ibumu sudah membawa semua uangnya semalam. Jika aku kabur, kau dan ibumu yang ditangkap olehnya."
Zhea terlihat begitu keren dan berani saat ini di mana ia juga sangat lelah dengan sikap kakak tirinya ini.
Caramel yang mendengar hal itu kini terpancing emosinya.
Ia hendak menampar Zhea kembali, namun tangannya tertahan di udara.
"Lepaskan!"
Caramel berusaha menarik tangannya dari cengkraman tangan Zhea.
"Mungkin dulu aku budakmu, tapi tidak untuk sekarang. Ibumu sudah menjualku pada pria malam, itu artinya aku bukan budak kalian lagi. Jalani hidupmu sendiri dan berhenti menggangguku. Aku bisa membuat masalah agar ibumu terlilit hutang lagi."
Caramel yang baru kali pertamanya mendapatkan ancaman dari Zhea yang selama ini selalu bungkam ketika ia tindas, benar- benar tak percaya dan tak terima dengan semua ini.
Ia menarik tangannya dari Zhea, bangkit dari jongkoknya.
"Awww."
Zhea meringis kesakitan sembari memegangi kaki Caramel yang menekan kuat kakinya.
"Gue enggak bakal lupa sama ancaman lo hari ini. Lo kira gue takut dengan ancamanmu?" Caramel berdecih pelan, "Gue enggak bakal lepasin lo dengan mudah!"
Zhea menahan air matanya yang sudah menggenang di kelopak matanya.
"AWWW."
Zhea berteriak keras kala Caramel dengan sengaja menyenggol lututnya yang tadi sempat terluka karena dorongan kedua teman Caramel.
Caramel lalu melenggang pergi begitu saja meninggalkan Zhea di sana.
Zhea menyibak roknya, melihat lututnya yang terasa nyeri dan perih.
"Kenapa menjadi begini, padahal hanya tendangan kecil."
Zhea mencoba mencari sesuatu untuk bisa ia jadikan pembalut lututnya agar darahnya berhenti.
Kalau tidak teman- temannya akan curiga dengan Zhea nantinya.
Zhea lalu bangun mengambil kain lusuh entah bekas apa dan mengikatnya pada lututnya yang terluka.
"Setidaknya ini lebih mendingan daripada tadi."
Zhea mengusap bekas air matanya.
Lalu keluar dari gudang seolah tidak terjadi apa- apa.
"ZHEA!"
Zea menoleh kala mendengar panggilan tersebut.
Bibirnya mengulum, pipinya tampak naik hingga membuat kedua matanya sedikit sipit kala melihat laki- laki tinggi dengan rambut ikal berlari ke arahnya dengan pakaian olahraga.
"Kamu dari mana aja? Tadi aku cari di kelas enggak ada? Ngapain di sini?"
Laki- laki tampan blasteran Amerika itu membrondongi Zhea dengan segala pertanyaan cemasnya.
Dia adalah Steven.
Ketua basket sekaligus wakil ketua OSIS.
Steven yang melihat Zhea hanya senyam- senyum tanpa menjawab pertanyaannya sontak menyentil keningnya.
"Awww."
Zhea memegangi keningnya sembari mencebikkan bibirnya.
"Malah ngelamun. Ayo ke kantin, aku sangat lapar sekarang."
Steven merangkul bahu Zhea berjalan bersama menuju kantin untuk makan.
Caramel yang sejak tadi masih berdiri di balik dinding pembatas gudang dan parkiran itu hanya bisa menatap tajam akan kebersamaan mereka berdua.
"Aku harus mencari tahu apa yang terjadi dengannya!"