Pustaka
Bahasa Indonesia

Bayi Mafia

66.0K · Ongoing
sherlynursafitri
67
Bab
805
View
9.0
Rating

Ringkasan

Ini tentang Zhea Logari Gadis SMA yang dijual ibu tirinya pada seorang germo sekaligus Mafia terkemuka di kota Malta. Bukannya dijadikan budak, Zhea malah dijadikan seorang putri. Yang mana hal itu membuat kakak tirinya berusaha menghalalkan segala cara untuk menggantikan posisi Zhea.

One-night StandPresdirCinta Pada Pandangan PertamaKawin KontrakThrillerTuan MudaRomansaBillionaireAnak KecilFlash Marriage

Kejam

Rumah Veni

"ZHEAAAA!"

Veni berteriak begitu keras sekali kala ia melihat meja makan masih kosong.

"Ya bu."

Zhea berlari kecil menghampiri Veni.

"Apa yang kamu lakukan? Mana sarapan kakakmu?"

Veni berteriak begitu keras sekali hingga membuat Zhea memejamkan mata karena terkejut.

"Zhea masih cuci baju bu," jawabnya membela diri.

Caramel yang sudah muak karena menunggu lama Zhea sontak langsung berdiri sembari menyambar segelas air.

Byur

"Caramel sayang."

Veni sedikit tersentak kaget kala Caramel menyiram wajah Zhea.

"Nanti pulang sekolah gue pengin makan ayam goreng sama spageti, awas aja lo pulang sampai telat."

Caramel menyambar tasnya, "Caramel berangkat dulu bu!"

Veni hanya mengangguk dan melihat kepergian putrinya.

Zhea mengusap wajahnya yang basah dengan mata yang berkaca- kaca.

"Cepat selesaikan cuci bajunya. Baru kamu boleh sekolah!"

Zhea langsung bergegas kembali ke belakang untuk menyelesaikan mencuci bajunya agar bisa pergi ke sekolah.

Brak

Veni terjengkit kaget kala pintu terbuka dengan kasar.

"VENI!"

Teriak seorang pria bertubuh kekar dan sedikit gempal.

Veni langsung bergegas untuk menemuinya di ruang tengah.

"Pak Lomes."

Sapa Veni dengan senyum murahnya.

Lomes duduk di sofa, menyalakan pematik rokoknya dengan kedua kaki di atas meja.

"Zhea tolong buatkan minum!" teriak Veni pada Zhea.

Lomes menghembuskann asap rokoknya dengan tenang.

"Mana setoran bunganya?"

Lomes mengadahkan tangannya pada Veni.

Veni langsung duduk di hadapan Lomes, memikir otak untuk bisa memberikan alasan yang tepat.

"Tidak bisakah bulan depan pak? Sekarang saya masih tidak punya uang."

Lomes tersenyum miring, "Kapan kau pernah punya uang. Setiap hari kau mengeluh tidak punya uang, lalu dari mana kau beli semua belanjaan yang kemarin hari kau tenteng bersama dengan putrimu?" tanya Lomes dengan sarkas.

Veni kicep, ia tidak bisa membantah kala ucapan Lomes begitu tepat.

Kemarin sore ia memang pergi ke mal bersama dengan Caramel untuk membeli beberapa baju dan bahan makanan.

Siapa yang tahu jika Lomes melihat hal itu.

Tak lama Zhea datang dengan nampan coklat di tangannya yang berisikan secangkir kopi.

Veni mengamati tatapan Lomes pada Zhea yang terlihat begitu takjub dan kagum.

Saat Zhea kembali ke belakang, Veni melontarkan candaannya, "Dia masih SMA. Jika bapak mau menjadikannya sebagai istri ketiga, saya akan memberikannya tanpa jaminan."

Lomes yang mendengar hal itu hanya tertawa renyah, meraih secangkir kopi yang masih mengepulkan asap untuk ia seduh.

"Meski aku hidung belang, bukan berarti aku seorang pedofil. Aku tidak suka anak remaja."

Veni menggerutu dan mengumpat dalam hati kala Lomes menolak tawarannya.

Udah tua bangka aja belagu banget, batinnya dalam hati.

"Bukankah ia lebih cantik dari putrimu sendiri? Kenapa tidak menjualnya pada germo?" usul Lomes membuat Veni yang tadinya ingin marah sontak langsung bungah.

"Menjualnya? Pada germo?" Lomes mengangguk.

Veni berpikir sejenak, mencoba mencerna dengan matang pilihannya.

"Biasanya berapa harganya untuk satu gadis?"

Lomes tersenyum miring kala Veni menanyakan tentang harga nilainya.

"Cukup untuk melunasi hutangmu dan hidup selama 2 tahun."

Mendengar hal itu Veni terlihat begitu berbinar, seolah kedua matanya dipenuhi dengan dollar.

"Yang terpenting dia masih perawan."

Veni menatap Lomes dengan lekat, namun detik kemudian ia tersenyum tipis.

"Jangan ragukan hal itu. Dia gadis yang tidak pernah aneh- aneh. Tidak mungkin dia tidak perawan. Aku bisa menjaminnya."

Lomes hanya manggut-manggut percaya dengan hal itu.

"Tapi ingat, germo ini bukanlah orang biasa."

Spontan raut wajah Veni langsung berubah pucat.

"Apa maksudmu?" tanyanya dengan nada suara yang takut.

Lomes mematikan putung rokoknya yang masih sepanjang jari telunjuk dan kembali menyeduh kopinya.

"Dia seorang mafia terkemuka di kota Malta."

Lomes lalu menyodorkan selembar kartu nama.

Devil Club.

Veni mengamati lama kartu nama berwarna hitam mengkilap tersebut.

"Deymond Castello."

Veni mengeja nama yang tertera di sana membuat Lomes tersenyum devil melihatnya.

•••

Kantor Ainsoft

Ada pria tampan yang tengah duduk di kursi putarnya sembari memainkan bolpoin hitamnya.

Tubuhnya tinggi, atletis, dan selalu berpenampilan rapi dengan pakaian mewah yang sesuai dengan status sosialnya sebagai seorang milyuner.

Dia tumbuh dalam kemewahan dan terbiasa mendapatkan apapun yang ia inginkan.

Kekayaan yang melimpah membuatnya menjadi seorang playboy yang sering terlibat hubungan singkat dengan wanita dan tidak pernah serius dengan mereka.

Deymond melihat wanita hanya sebagai peluang sementara untuk bersenang-senang.

Namun selama ia menjadi seorang germo, tidak pernah sekalipun Deymond bermain dengan seorang wanita.

Auranya yang gelap dan dingin membuat wanita manapun takut untuk mendekatinya.

Pasalnya Deymond tidak segan pada mereka yang mendekatinya.

Tok tok

"Masuk."

Deymond melemparkan bolpoinnya ke atas meja.

Pintu terbuka dan menampilkan sekretaris baru pengganti Zero dengan pakaian yang terbuka.

"Maaf tuan mengganggu, saya hanya ingin mengantar proposal yang harus tuan tanda tangani."

Deymond hanya mengangguk, mengambil bolpoinnya kembali untuk bersiap tanda tangan.

Deymond melirik tak suka kala sekretaris itu berdiri dekat di sampingnya.

"Saya dengar anda belum menikah, apa anda tidak ada niatan untuk menikah sekarang?" tanyanya sembari meraba tangan berotot nan berurat Deymond dari balik kemeja hitamnya.

Deymond memainkan bolpoinnya, menahan diri untuk tidak meledakkan amarahnya sekarang.

"Kamu pasti sudah tahu dari karyawati di sini. Saya benci disentuh orang asing."

Sekretaris itu hanya tersenyum tipis, membuka kancing kemejanya paling atas.

"Saya tahu. Tapi saya yakin anda tidak akan menolak dengan pesona ini."

Deymond mendongak, melihat sekretaris itu melepaskan satu persatu kancing kemejanya, bahkan Deymond sudah bisa melihat belahan squishy yang padat.

Entah senyuman apa itu namun sekretaris seksi itu beranggapan jika Deymond menyukainya.

"Berdiri di depan mejaku!"

Perintah yang singkat namun terkesan seksi di telinga sekretaris itu.

Sekretaris itu langsung mematuhi perintah Deymond dengan senang hati di mana kemejanya sudah terbuka dan menampilkan bra berenda warna hitam.

Deymond menarik laci di bawah mejanya, meraih revolver berwarna silver.

"Benar bukan, kamu tidak bisa menolak atas tawaran ini."

Sekretaris itu berucap dengan begitu percaya dirinya membuat Deymond yang tengah mengisi revolvernya tersenyum sinis.

DOR

Satu tembakan namun tepat sasaran.

Sekretaris itu sudah tak sadarkan diri dengan darah yang mengalir begitu deras dari dada sebelah kanannya.

Ceklek

"Surprise!"

Zero bersorak begitu girang sembari mengangkat tinggi barang bawaannya.

"Bagus kau datang tepat waktu. Bereskan dia dan sterilkan ruanganku!"

Deymond beranjak dari kursi putarnya, menyambar kunci mobil dan jas hitamnya.

Zero masih tertegun di tempatnya kala melihat seorang wanita terduduk tak sadarkan diri di kursi dengan darah yang menetes dari lengannya.

"Kau apakan wanita itu?"

Deymond berhenti di depan Zero, menoleh sekilas pada sekretaris tersebut.

"Dia yang menggoda lebih dulu!"

Deymond mengadu bak anak kecil. Zero menatap tak percaya Deymond.

"Yaaa! Tidak bisakah kau membiarkan hidupku tenang. Aku baru saja kembali dari Belgia menggantikan perjalanan bisnismu."

Deymond mengernyitkan keningnya, "Aku yang buat masalah kenapa kau yang pusing?" tanya Deymond heran.

Deymond lalu melenggang pergi begitu saja tanpa memedulikan Zero.

Zero menjatuhkan barang bawaannya.

"Hatiku sudah mengatakan untuk tidak kembali sekarang. Dan kini aku menyesalinya karena tidak mengikuti kata hatiku."

Zero mendekati sekretaris yang ia jadikan penggantinya sementara untuk membantu Deymond selama ia mengikuti perjalanan bisnis.

"Kenapa kau menggodanya? Dia bukan manusia. Kau melemparkan candaan dia akan memberimu tembakan."

Zero menghembuskan napas berat kala melihat sekretaris itu mati mengenaskan.

"Bodolah. Biar dia yang membereskannya. Aku ingin pulang."

Zero hendak meninggalkan wanita itu namun ia kembali mendekatinya.

"Kenapa tugasku selalu memindahkan dan mengubur mayat? Apa sebenarnya profesiku?" gerutu Zero sembari memindahkan wanita itu.