Mencari Tahu
Kediaman Burneo
Ada Steven yang baru tiba di mansion.
Ia memasukkan motornya ke dalam garasi dengan tenaga yang sedikit lesu.
Tak lama terdengar motor besar di belakangnya.
"Nanti malem balapan lagi enggak kak?"
Itu Frangky, adik tiri Steven.
Steven melepas helmnya, mengibaskan rambut lebatnya.
"Enggak dulu. Kakak ada urusan."
Franky memajukan bibirnya sedikit kecewa.
Dengan cepat ia menyusul Steven yang masuk ke dalam mansion.
"Kalian sudah pulang?"
Langkah kedua cowok itu berhenti secara kompak, menatap kaget kala melihat pria berjas hitam duduk di ruang tengah menikmati rokoknya.
"Papa kapan datang?"
Steven langsung menghampiri Burneo diikuti Franky di belakangnya.
Keduanya duduk berdampingan, menatap pria setengah paruh baya itu dengan sedikit gemetar.
Burneo menghembuskan asap rokoknya, menatap kedua putranya.
"Apa yang kalian lakukan selama aku di luar negeri?"
Steven sedikit menelan salivanya begitu juga dengan Franky.
"Seperti biasa, kami sekolah dan pergi ke club. Tidak ada..."
Bugh
Pukulan keras itu sedikit membuat Franky terkejut bukan main.
Ia melihat sudut bibir kakaknya sedikit berdarah.
"Hanya pergi ke sekolah dan club katamu? Kamu berani membohongi papa sekarang?" teriak Burneo dengan keras membuat Steven mengusap sudut bibirnya sekilas.
"Pamanmu bilang tempo hari kau baru saja masuk kantor polisi karena tawuran, kemarin karena balapan. Setelah ini apalagi? Mau jadi apa kamu ini, hah? Kenapa kamu tidak bisa memberikan contoh yang baik untuk adikmu?" bentakan itu semakin keras dan menggema di ruang tengah.
Burneo melepas jasnya, berkacak pinggang dengan helaan napas yang berat.
"Entah kenapa aku dulu membesarkanmu. Aku sedikit menyesal saat ini."
Steven hanya menunduk, menelan salivanya berat.
Franky yang melihat hal itu merasa kasihan dengan Steven.
"Enggak cuma kakak pa, Franky juga ikut balapan dan tawuran."
Burneo menoleh begitu juga dengan Steven.
"Tolong jangan hanya memukuli kakak, Franky juga harus mendapatkannya agar impas."
Bukannya memukuli Franky, Burneo malah menarik kerah Steven dan memukulinya.
Dengan cepat Franky melerai untuk menghentikan aksi brutal Burneo.
"Pa udah cukup!"
Burneo mengatur napasnya dengan tatapan yang tajam pada Steven.
"Lihat! Bagaimana adikmu sekarang, dia menjadi rusak sepertimu. Dia menjadi urakan sepertimu. Kau memang tidak pantas menjadi contoh untuk adikmu. Kau tidaklah berguna."
Burneo melenggang pergi setelah meluapkan segala amarahnya.
Dan kini hanya menyisakan keheningan di ruang tengah di mana hanya ada Steven dan Franky.
"Ayo aku akan mengobati kakak!"
Franky menarik tangan Steven untuk ia obati luka pada sudut bibirnya.
Namun Steven menarik tangannya, menyambar jaket hitamnya.
"Mulai sekarang jagalah dirimu sendiri sebelum rusak sepertiku. Setidaknya kamu harapan terakhir papa!"
Steven melenggang pergi begitu saja, pergi ke luar entah kemana.
Franky membuang napasnya besar, menjambak rambutnya dengan frustasi.
"Bagaimana bisa aku menjaga diriku sendiri jika aku saja bergantung padanya. Tidakkah dia mengerti jika aku sangat membutuhkan sosoknya? Aku selalu menganggapnya sempurna kenapa dia selalu merasa rusak dan tidak berguna?" gerutu Franky heran dengan sikap Steven.
***
Di rumah lain ada Caramel yang termenung di kamarnya.
Ia hanya memikirkan Zhea.
"Kira- kira, seperti apa pria yang membeli Zhea? Apa ia pria kaya raya? Tampan? Atau tua bangka? Seperti apa rupanya?' gumam Caramel bertanya- tanya perihal itu.
Caramel mendesis, menerka segala pikiran yang muncul di otaknya.
"Bagaimana bisa ia pergi ke sekolah tanpa kekangan atau pengawasan? Bukankah ia sudah dijual, bagaimana mungkin pria itu membiarkannya pergi ke sekolah? Apa ia tidak takut jika Zhea kabur darinya? Ini sangat aneh."
Caramel hampir gila hanya memikirkan hal itu.
Selain ia tidak terima dengan ancaman Zhea tadi, Caramel dibuat penasaran setengah mati dengan pria yang membelinya.
Karena sikap Zhea menunjukkan seolah ia baik- baik saja seperti tidak ada yang terjadi.
"Bagaimana jika kubongkar saja jika dia adalah pelacur malam, apa mungkin ia akan dikeluarkan dari sekolah? Ah sepertinya ini akan menarik, ia tidak hanya dikeluarkan dari sekolah melainkan akan dijauhi oleh Steven juga."
Caramel tertawa begitu puas kala membayangkan rencananya.
Ceklek
"Sayang, ibumu memanggilmu sejak tadi, apa yang kamu lakukan hingga asyik sendiri dan tidak menjawab panggilan ibu?" Caramel hanya tersenyum membuat Veni langsung menghampiri putrinya.
"Ada apa dengan senyumanmu? Apa kamu sedang kasmaran?" tanya Veni yang langsung duduk di samping Caramel.
"Apa ibu tahu, tadi Zhea pergi ke sekolah."
Ekspresi Veni seketika langsung berubah pucat pasi.
"Sekolah?" Caramel mengangguk dengan sangat antusias.
"Malam itu ibu menjualnya pada pria yang seperti apa? Apa dia tampan? Apa dia tua? Seperti apa rupanya?" tanya Caramel dengan begitu antusias dan sangat penasaran dengan pria yang membeli Zhea.
Veni memalingkan wajahnya, ia sedikit takut saat ini di mana mengingat malam itu kakinya lemas tak berdaya meski hanya untuk berdiri saja, tatapan Deymond malam itu benar- benar membuat Veni sulit untuk bernapas.
Apalagi ucapannya.
Benar- benar seperti nyanyian dari neraka.
Begitu membara.
"Bu, siapa pria itu? Aku ingin tahu rupanya."
Veni langsung memegang kedua tangan Caramel.
"Jangan pernah mencari tahu apalagi mengganggu Zhea. Kamu tahu?" Caramel mengernyitkan keningnya bingung serta marah.
Ia melepas tangan ibunya, "Ada apa dengan ibu, kenapa membela Zhea?" tanya Caramel dengan sengit kala ibunya tampak membela Zhea setelah sekian lama begitu jahat padanya.
Veni terlihat gelisah, ia begitu takut saat ini, "Dengarkan saja ucapan ibu, jangan pernah mengganggu apalagi menyentuh Zhea jika kamu tidak ingin terkena masalah."
Caramel langsung bangkit dari tepi ranjang, "Apa ibu tahu bagaimana sikap Zhea tadi saat di sekolah? Ia mengancamku dan ibu, ia bahkan mengataiku untuk jual diri jika ingin seperti dirinya? Kenapa ibu malah membela Zhea, siapa yang membuat ibu takut dan gemetar seperti ini?" sungut Caramel dengan begitu keras.
Veni langsung bangkit dari tepi ranjang, memegang kedua bahu Caramel, "Jangan pedulikan ancaman Zhea, pedulikan saja dirimu sendiri, jangan pernah membuat masalah apalagi menyentuh Zhea, kamu tidak akan bisa menandingi seperti dulu lagi, dia milik seseorang saat ini," Veni menjeda ucapannya sejenak, "Ingat untuk tidak pernah mencari tahu tentang Zhea lagi, kamu paham?" peringati Veni dengan keras.
Veni lalu bergegas keluar dari kamar Caramel setelah mengatakan hal itu.
Caramel yang mendengar pesan ibunya dibuat tak percaya sekaligus penasaran dengan siapa seseorang itu.
"Cih, tidak menyentuhnya? Aku bahkan berniat untuk bisa membunuhnya dengan tanganku sendiri, dia tidak boleh terlihat bahagia di atas kehidupanku."
Caramel langsung mengganti bajunya secara diam- diam.
Ia bahkan tidak mengindahkan peringatan ibunya barusan untuk tidak mencari tahu tentang Zhea lagi.
Caramel sudah terlanjur penasaran dan ingin menyelidiki ini semua sendiri.
"Aku akan mencari tahu sendiri semuanya!"