bab 9
"Ta, masuk yuk."
Aku mendongakkan kepala. Aksa sudah berdiri di sisi mobil yang pintunya kebuka.
"Hujan nih, gue bisa masuk angin." ucapnya lagi dengan naruh telapak tangan di atas kepala. Tujuannya buat payungan.
"Tau hujan kenapa kamu berdiri disitu?"
"Kan bukain pintu buat elo."
Karna aku tak mau jadi penyebab sakitnya Aksa, aku pun masuk ke mobilnya. Dia muter dan duduk di kursi kemudi. Dia segera melajukan mobilnya
"Elo ngapain duduk dihalte sendirian? Linxi kemana?" tanyanya tanpa menatapku.
"Dia ada perlu." Sesak sekali untuk bernafas dengan normal.
"Jadi, dia ninggalin elo dipinggiran jalan?" Aku hanya ngangguk. "Dia cowok bukan sih??! Kok bisa setega itu??!" Aksa keliatan emosi.
"Nggak papa, Sa. Dia pergi karna ada hal yang mendesak dan sangatlah penting. Dia baik kok."
Ya walau kenyataannya dia pergi karna kekasihnya. Sakit, tapi gimana lagi. Ini perjanjian saat kita belum nikah.
"Besok nggak usah pulang bareng dia lagi. Gue antar aja pulangnya."
Aku tersenyum ramah. "Nggak perlu, Sa. Aku bisa pulang naik bus."
"Sekarang elo jujur sama gue." Aksa menepikan mobilnya. Dia natap aku tajam.
"Sebenernya apa hubungan elo sama Linxi? Jangan jawab sepupu. Karna gue kenal sepupunya Linxi yang tinggal di LN atau Korea itu, gue juga kenal sama sepupunya Linxi yang sekarang sekolah di Amerika. Dia nggak punya sepupu alim kaya' elo. Adeknya aja bar bar nya nggak ketulungan." Aksa tak memalingkan wajahnya sedetikpun.
"Jujur, Ta, gue nggak akan bilang ke siapa pun kok."
Gue tarik nafas, ragu buat jujur. Tapi aku rasa emang Aksa ini orang baik. Dia bisa dipercaya, beda sama yang mas Linxi bilang.
"Janji ya jangan bilang ke siapapun?"
"Iya gue janji." Dia mengangkat dua jarinya di samping telinga.
"Dia suamiku." ucapku lirih.
Expresi Aksa biasa aja, malah dahinya berkerut. "Gue nanya serius Zeta. Jangan bercanda deh."
Jadi dia nggak syok karna nggak percaya?
"Iya, aku serius. Kita udah nikah tiga hari yang lalu."
Dia malah ketawa kecil sambil mencibirkan bibirnya. Kemudian geleng-geleng. "Masa' sih??"
Aku ngangguk. "Iya, memang kami udah nikah."
"Jadi, aku udah nggak ada harapan ya?" Tanyanya melas.
"Harapan apa, Sa?" Kali ini aku yang nggak ngerti.
"Udahlah, nggak apa-apa." Aksa kembali melajukan mobilnya.
Hening. Kami berdua sama-sama diam dalam keheningan. Hanya terdengar rintik hujan yang semakin deras.
"Kita mampir makan bentar ya, mau kan?"
Aku juga lapar sih, tapi Mas Linxi pasti marah jika aku jalan sama Aksa gini. Ah peduli banget sama dia. Dia kan juga pergi sama pacarnya.
"Iya, Sa."
**
Pov Author
Mobil Linxi terparkir diparkiran caffe tempat kerja Citra. Tak lama, Citra segera keluar dan langsung menuju ke mobil. Membuka pintu mobil, masuk dan duduk.
"Maafin aku ya, Ran. Aku udah egois maksain kemauanku." ucapnya penuh penyesalan.
"Nggak papa, sayang." Linxi mengelus pipi Citra lembut.
"Aku mencintaimu, Ran." Citra menggenggam erat tangan Linxi.
"Aku lebih mencintaimu, Mbak." Tatapan mereka beradu. "Mau langsung pulang, atau ....?"
"Ke homestay dulu yah, aku kangen manjaan sama kamu." ucapnya dengan manja.
Linxi tersenyum, entahlah senyum apa itu. Tentu lelaki normal akan merasakan kesenangan saat ada pancingan gairah seperti ini ya.
"Ok kita ke homestay." Linxi menjalankan mobilnya menjauhi caffe.
"Apa Zeta tidak akan marah jika melihatku kerumah kalian?"
"Jangan bilang gitu dong mbak. Itu juga rumahmu. Kapanpun kamu bisa datang. Bahkan menginap. Kamu berhak atas milikku, karna kamu adalah milikku."
Citra tersenyum bahagia mendengarkan penuturan Linxi. "Makasih, Ran. Aku sangat bahagia memilikimu."
Hanya beberapa menit, mobil Linxi sudah sampai di plataran rumah tempat tinggalnya. Masih seperti biasa yang selalu mereka lakukan. Citra pergi kedapur untuk membuatkan makanan, menyiapkannya di meja makan dan masuk ke kamar Linxi dengan bebas.
Kali ini seusai makan, Linxi duduk santai disofa depan tv. Menyalakan tv dan menonton acara tv yang sebenarnya cukup membosankan.
Seusai membersihkan diri, Citra menyusul Linxi dan duduk disebelahnya.
"Kamu sudah makan, Ran?"
"Sudah, mbak, tadi aku sudah memakannya. Hanya saja belum mencuci piringnya." Linxi menatap Citra. "Mbak, tumben dandan,"
"Kenapa? Jelek ya?" Dia mengusap pipi dan bibirnya.
Linxi mencekal tangan Citra yang sibuk ngusap lipstik dan bedak. "Jangan, kamu sangat cantik."
Linxi mulai memegang dagu Citra agar bibirnya bisa dengan mudah menyatu.
Cuupp!
Kecupan dibibir yang sekilas. Linxi tersenyum menatap wanita didepannya yang melotot kaget.
"Pengen lagi?" ucap Linxi. Citra hanya ngangguk. "Kalau hari ini aku pengen lebih boleh?"
"Semua ini milikmu, Ran. Aku milikmu, aku akan memberikan semuanya untukmu. Hanya untukmu."
"Bagaimana dengan suamimu, Mbak?"
"Aku tidak mencintainya," Terlihat matanya menahan sesuatu untuk keluar. "Aku hanya mencintaimu, sungguh, Ran." Citra memeluk Linxi. Dia menumpahkan tangisnya didada kekasih gelapnya.
Dengan lembut Linxi mengelus surai Citra. "Kenapa kamu tidak meninggalkannya mbak?"
"Aku tidak tega dengan Bella yang sangat menyayangiku. Dan hutang Ibuk sangat banyak. Aku tak bisa menebusnya."
Linxi melepaskan pelukannya. "Maafkan aku ya, aku tak bisa membantu apapun. Granpa selalu mengawasi keuanganku. Aku tak mau kamu terlibat masalah lagi."
"Nggak masalah buatku. Asal kamu selalu ada untukku, itu sudah cukup."
Citra mendekatkan bibirnya ke bibir Linxi. Hinga ciuman yang sangat lembut itu terjadi. Semakin lama, semakin dalam. Linxi menekan tengkuk Citra hingga lidah mereka saling membelit. Tangannya yang satu tak tinggal diam. Dia meremas lembut gundukan di dada Citra.
"Eeggghh ...." Desah Citra disela ciuman mereka.
Linxi menghentikan ciumannya, mengambil jeda untuk menarik nafas sebentar, lalu kembali melumat bibir mungil didepannya. Tangannya mulai menelusup kedalam kaos Citra, memainkan putingnya. Setelah puas dengan ciuman dibibir, dia menaikkan kaos Citra dan mengeluarkan salah satu benda kenyal itu dari tempatnya.
Terpampang jelas payudara Citra yang selalu membuatnya tak tahan. Segera dia melumat payudara itu dengan lembut.
Tanpa mereka sadari, pintu depan kembali ditutup oleh seseorang yang hampir saja masuk. Jika saja dia memaksakan kakinya masuk, pasti dia sudah menggagalkan dua pasang kekasih yang sedang zina itu.
"Ta, lo kenapa nggak jadi masuk? Kenapa malah nangis?" Aksa kembali menghampiri Zeta yang berjalan menjauhi rumah Linxi tempat tinggalnya.
"Aku pengen beli ice cream. Kamu tau kedai ice cream yang dekat sini?"
"Tau, mau diantar?" Zeta hanya mengangguk, dia segera kembali masuk ke mobil Aksa.
Sampai dikedai, Zeta memesan satu cup besar ice cream yang dominan rasa buah. Dia makan dengan lahapnya, tanpa mempedulikan mata Aksa yang sedari tadi memperhatikannya.
Kembali bayangan suaminya terlihat. Di depan matanya, dia melihat sendiri. Suaminya mesum dengan wanita lain, lebih tepatnya kekasih suaminya. Sakit, sangat sakit melihat itu didepan mata.
Dan itu dirumahku. mereka melakukan dosa itu ditempat tinggalku. Apa aku akan melihat seperti ini setiap saat?? Aku nggak akan kuat. Dia suamiku, aku nggak rela berbagi. Tapi dia adalah kekasihnya, bagaimana ini?
Dia elap pipinya yang ternyata sudah basah. Kembali dia memasukkan sesendok ice cream kedalam mulutnya. Disertai dengan tangis diamnya yang lama-lama terisak juga.
"Ada gue disini, gue siap dengerin keluh kesah elo. Jangan dipendam sendiri." Aksa mulai angkat bicara.
"Makasih udah nemenin. hiks hiks hiks." Dia masukin lagi ice cream ke mulutnya. "Aku nggak papa kok."
"Yakin nggak papa?" Zeta hanya ngangguk, masih saja air mata itu tak tertahan.
"Elo nangis kenapa?"
"Takut kamu minta." Jawabnya enteng.
Aksa diam, dia membiarkan Zeta menangis sepuasnya. Mungkin dengan ini dia bisa lebih baik.
"Mau ke pasar malam?" tawarnya, setelah melihat cup besar di tangan Zeta benar-benar habis.
"Pasar malam?" zeta memastikan.
"Iya, didekat sini ada pasar malam."
Mungkin pergi ke pasar malam bisa membuatku lebih tenang lagi. Toh, suamiku tak mempedulikanku.
"Aku mau."