Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

bab 10

pov Zeta

Sebulan berlalu, aku sudah sering mendapati mbak Citra ada dirumah. Dia bebas melakukan apapun layaknya rumah sendiri. Seperti yang saat ini dia lakukan.

"Biar aku aja yang masak. Kamu bisa istrirahat Ta, atau mandi. Nanti aku buatkan juga untuk kamu. Kita bisa makan malam bersama." ucapnya dengan tulus. Sungguh, dia tak terlihat seperti pelakor atau selingkuhan. Dia sangat baik.

"Makasih ya, mbak."

"Aku yang seharusnya berterima kasih. Kamu wanita yang sangat baik, Ta."

Aku hanya tersenyum kecut mendengar penuturannya. "Aku permisi masuk kamar ya, Mbak."

Segera aku masuk kedalam kamar. Malam ini hujan lagi, terasa agak dingin. Aku segera mandi dan berganti pakaian. Shalat magrib terlebih dulu, merias diri sebentar didepan cermin.

Kupandangi wajahku dicermin. Aku cantik, wajah dan tubuhku tak cacat, tapi kenapa aku harus menjadi istri lelaki seperti dia? Lelaki yang tak punya sedikitpun perasaan.

Tok! Tok! Tok!

pintu kamarku diketuk.

"Ta, ayo makan malam dulu." suara mbak Citra.

"Iya, mbak, sebentar lagi aku keluar."

Terdengar langkah kaki menjauh dari pintu kamar. Huufftt bahkan dia sangat baik. Pantas saja suamiku sangat tergila-gila padanya.

Aku memakai jilbabku dan keluar kamar. Mereka pasangan kekasih itu sudah duduk bersebelahan didepan meja makan. Malas sekali harus seperti ini dalam beberapa hari.

"Ayo makan dulu, Ta. Mumpung masih hangat." suruh mbak Citra lagi.

Aku hanya tersenyum dan duduk tepat didepan mas Linxi. "Makasih ya, mbak, udah nyiapin buat aku juga."

"Mbak Citra itu emang baik. Masakannya juga enak lho. Makanya dia jadi chef." kata-kata mas Linxi yang membuat mbak Citra tersenyum bahagia.

Mendadak nafsu makanku jadi hilang. Tapi tetap aku memasukkan sesendok makanan ke mulutku.

"Coba yang ini, Ran, kamu belum pernah makan sayur crispy ini kan?"

Mas Linxi menoleh, membuka mulutnya. Dan mbak Citra memasukkan sayuran goreng itu ke mulut suamiku.

Diam, terlihat menikmati dan ... dia mencubit mesra pipi mbak Citra.

"Kamu emang jago. Ini enak banget, mbak."

Mendadak aku kesulitan menelan nasi yang sudah sangat lama aku kunyah. Aku segera meraih segelas air putih dan meminumnya. Aku berhenti makan.

"Kamu kenapa, Ta? Apa makanannya tidak sesuai seleramu?" tanya mbak Citra dengan expresi yang takut salah.

"Nggak gitu mbak. Makanannya enak kok. Tapi ini, tiba-tiba gigiku sakit. Tak bisa kugunakan untuk mengunyak nasi. Aku mau bikin susu saja." Aku segera beranjak kedapur menghindari pasangan kekasih itu.

Membuat susu putih yang kemarin aku beli di supermarket, lalu meminumnya.

Semoga nanti malam perutku nggak mengeluh karna lapar. gumamku dalam hati.

Aku berjalan santai melewati mereka yang masih saling menyuapi. Takku hiraukan mereka.

"Ta, udah mau tidur?" mbak Citra lagi-lagi ngajakin ngomong.

"Aku ada PR dari sekolah, Mbak. Banyak juga pelajaran yang harus aku kejar. Aku permisi ya." Aku membungkukkan sedikit badanku dan berlalu menuju kamarku.

Ting Tung! Ting Tung!

Bel depan berbunyi. Nandain kalau ada tamu malam ini. Segera aku menuju pintu depan.

Ceklek!

Astaghfirullah al-'Adhim, grandpa dan grandma berdiri diluar rumah. Tepatnya didepan pintu.

Apa mereka akan melihat perselingkuhan suamiku? Aku harus menutupinya atau bagaimana ini?? Aku jadi khawatir sama mas Linxi yang mungkin akan kena omel. Atau mungkin lebih parah dari itu.

"Zeta, kamu kenapa kok malah bengong melotot kaya' liat setan gitu?" ucap Grandma yang menyadarkanku.

"Apa kedatangan kami mengganggu waktumu bersama suami?" Timpal Grandpa.

"Eengg—nggak gitu Grandpa, aku terkejut karna grandpa dan grandma bertamu. Kan ini pertama kalinya." aku berusaha untuk bersikap biasa saja.

"Jadi ini Grandma nggak disuruh masuk?"

"YaAllah, iya aku sampai lupa. Ayo masuk grandma, grandpa."

Mereka pun masuk, mata mereka sibuk menyisiri ruang tamu hingga ke sudut ruangan terkecilpun.

"Aku panggilkan mas Linxi dulu ya Grandpa,"

"Nggak usah, Ta. Biar kami kedalam sendiri. Sekalian mau lihat-lihat isi rumahnya Linxi." Grandpa menolak.

"Iya, Ta. Ini pertama kalinya kami bertamu." Timpal grandma.

Mereka berjalan masuk mendahuluiku. Aku bahkan tak bisa mencegahnya. Hanya bisa meremas ujung jilbabku dengan kencang.

Semoga mbak Citra udah ngumpet. batinku dalam hati.

Hingga langkah kedua orang ini sampai di meja makan, semuanya sudah bersih. tak ada yang tersisa diatas meja. Mbak Citra pun sudah tak terlihat

"Grandpa," Mas Linxi keluar kamar dan menyalami tangan Grandma dan Grandpa bergantian.

"Tumben mampir sini, ada apa Grandpa?" Tanya mas Linxi.

Aku pun pergi kedapur untuk membuatkan mereka minum. Selama membuat minum, aku berfikir keras. Dimana mas Linxi menyembunyikan mbak Citra ya.

Kubawa 3 gelas teh hangat diatas nampan menuju ruang tv. Mereka bertiga ngobrol diruang tv. Setelah selesai meletakkan minum, aku ikutan duduk disamping mas Linxi.

"Ta, kamu nggak keberatan kan kalau kami nginap disini malam ini?" grandpa natap aku.

"Iya, ini hujannya deras banget sayang. Grandpa udah agak rabun kalau hujan deras harus nyetir juga." Timpal Grandma.

Aku natap mas Linxi yang keliatan banget kalau wajahnya bingung. "Aku sih nggak papa grandpa, iya kan mas? Kasian juga lho, ini diluar hujannya deras banget."

Mas Linxi membuang nafas kesalnya, lebih tepatnya nafas kegelisahannya. "Iya grandpa, nginep aja."

"Biar Zeta siapin kamarnya dulu Grandpa." Mas Linxi natap aku. "Ntar malam kamu tidur dikamarku aja. Aku bisa tidur diruang kerjaku."

"Lho, kenapa kalian nggak tidur sekamar?"

"Iya, kalian kan suami istri. Tidur sekamar nggak akan ada masalah Lin." sahut Grandma.

"Eemm ... Aku takut nggak bisa nahan grandma," Aku mendekik, alasan nggak mutu. Yang namanya nggak sayang, nggak akan mungkin tergoda.

"Hahahah...karna itu?" Grandpa dan Grandma malah ketawa.

"Ya itu kan wajar." Jawab mas Linxi.

"Kamu boleh ngelakuin Lin, Zeta ini istrimu. Asal jangan dipaksa. Dan kalau bisa jangan dibikin hamil dulu. Sampai SMA kalian lulus."

"Tuh kan, boleh tapi masih aja ada syaratnya." Mas Linxi mendegus kesal.

Emang jago acting ya dia. Sampai acting kek gini. Padahal aku tau apa yang ada dipikirannya. Tiba-tiba dia memegang tanganku. Dia genggam sangat erat dan ... aku merasa nyaman. Padahal hanya pegang tangan saja.

"Aku siapkan kamar untuk Grandpa dan Grandma dulu ya." Aku melepaskan genggaman suamiku dan pergi meninggalkan mereka bertiga.

Menyiapkan kamar tamu yang selalu aku pakai untuk tidur agar bisa di gunakan grandma dan grandpa menginap. Membawa baju seragam yang akan aku pakai besok dan alat sholatku. Aku keluar kamar dan masuk ke kamar mas Linxi.

"Astaghfirullah al-'Adhim," Aku jingkat kaget saat mendapati mbak Citra berdiri di samping pintu. "YaAlloh mbak, maaf aku kaget." Aku masih sibuk mengelus dadaku.

"Mereka mau nginap ya?" tanya mbak Citra padaku.

"Iya, mbak." aku yakin, pasti dari tadi mbak Citra udah nguping. "mereka tidur dikamarku. Jadi aku bobok di kamar ini. Tapi mas Linxi bobok di ruang kerja kok. Dia nggak akan sekamar sama aku. Jangan marah ya."

Iisshh, kenapa aku harus peduli sama kemarahannya sih!! ini menyebalkan.

pukul 11.00 pm

Aku dan mbak Citra masih terjaga diatas tempat tidur. Kita sama-sama diam dengan pemikiran masing-masing.

Ddrtt ... Ddrrtt ....

Hape milik mbak Citra bergetar. Sebuah panggilan telfon masuk.

"Hallo" sapanya.

"........"

"Maaf mas, malam ini aku nggak pulang. Aku nggak bisa pulang"

"..........."

"Biar aku ngomong sama Bella."

"..........."

"Maaf ya, sayang, malam ini bunda nggak bisa pulang. Bella bobok sama Ayah dulu ya."

".........."

"Iya, sayang. Besok kita jalan-jalan. Jangan nakal ya."

"...........”

"Good night, sayang."

Dia menutup telfonnya. Dan menaruhnya diatas nakas. Dia menatapku.

"Aku tau, pasti kamu heran kan mendengarkan percakapan ditelfonku?" ucapnya.

Ya, jujur aku sangat heran. Banyak sekali yang ingin aku tanyakan. Dia menyebutnya 'Bunda', apa dia sudah bersuami dan memiliki anak?

"Aku memang sudah memiliki suami."

Mataku langsung melotot kaget. Aku begitu terkejut. Jadi selama ini suamiku berpacaran dengan wanita yang sudah bersuami?? Dan mereka sama-sama tau. Astaghfirullah al-'Adhim.

Beberapa kali aku istigfar dan mengelus dadaku. Sungguh aku syok.

"Aku dan Ran sudah pacaran 4 tahun lebih Ta. Aku menikah karna sebuah kesalahan. Dan sampai detik ini, aku tidak mencintai suamiku." Dia menatap lurus kedepan.

Aku masih berusaha mengontrol emosi yang ingin meledak didalam dadaku. Dia lebih tua dari aku, seharusnya dia lebih mengerti dan bisa berfikir normal kan.

"Maafkan aku Ta, aku sangat mencintai Ran. Aku tidak bisa melepaskannya. Walau banyak sekali rintangan yang akan kita hadapi untuk tetap mempertahankan hubunganku."

Aku memilih diam tak berkata. Takku tanggapi setiap kata-katanya. Pikiranku yang selalu memuji mbak Citra orang yang baik itu sudah berubah. Dia ternyata jahat. Dia menyakiti suaminya, dia menyakitiku. Dan tentunya itu akan menyakiti mas Linxi juga. Egois sekali!

Cekkleek!

Mas Linxi masuk kedalam kamar. Dengan wajah yang sulit untuk dijelaskan. Duduk di tepi ranjang samping mbak Citra tentunya.

"Kamu kenapa, sayang?" mbak Citra mengelus pundak suamiku.

"Grandpa nginep sini, Mbak." ucapnya lesu.

"Iya aku sudah tau."

"Maaf ya, nggak bisa nganterin kamu pulang. Kamu pun juga jadi nggak bisa pulang." Ucapnya penuh penyesalan.

Cara natap mas Linxi ke mbak Citra itu bikin hati teriris. Sangat sakit. Aku segera merebahkan tubuhku miring kesamping. Terlalu sakit melihat kemesraan mereka.

"Nggak papa, Ran."

"Grandpa nggak ijinin aku tidur diruang kerja. Jadi malam ini kita bobok bertiga disini."

Mataku yang tadi sudah merem langsung kembali melotot. Aku bangun dan menatap mas Linxi.

"Tenang dulu, Ta. Aku tau kamu tidak mau bersentuhan dengan lelaki. Nanti biar aku yang bobok ditengah." ucap mbak Citra kemudian.

Duueer!!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel