bab 11
"Tenang dulu, Ta. Aku tau kamu tidak mau bersentuhan dengan lelaki. Nanti biar aku yang bobok ditengah." ucap mbak Citra kemudian.
Duueerr!
Ada bubuk mesiu yang meledak didalam dadaku. Tubuhku bergetar menahan marah, emosi dan....aahhh ini sakit. Aliran darahku mulai memanas. Nafasku tak bisa lagi normal.
"Iya, gue bobok nya dipinggir sini." sahut mas Linxi.
Bagaimana bisa dua pasang kekasih ini tak merasa bersalah padaku. Setidaknya menjaga perasaanku. Ya Allah, mereka memang tidak bisa dikatakan manusia.
Segera aku kembali merebahkan tubuhku miring memunggungi mereka. Kuatur nafasku agar stabil dan tidak terbawa emosi. Tapi air mataku menetes tanpa permisi.
Aku tidak mencintai nya Tuhan, sungguh aku tidak mencintainya. Tapi kenapa hatiku terasa sakit. Sakit menyaksikan setiap kemesraan mereka, dan kali ini aku akan menjadi saksi untuk mereka yang bobok bareng. Ya Allah, takdir bertema apa yang sedang aku jalani saat ini. Kenapa engkau menghadirkanku diantara mereka. Aku yang sah, tapi aku yang tak punya hak disini. Aku harus bagaimana?? Ini sakit Tuhan.
Aku menangis dalam diam. Mataku terpejam, tapi aku tak bisa tidur. Tak mungkin bisa tidur jika begini.
Apa lagi berkali-kali aku merasakan pergerakan dua manusia itu melalui kasur. Kasurnya nggak mau anteng. YaAlloh apa yang sedang mereka lakukan dibelakangku?? Pengen noleh tapi takut sakit hati.
"Eegghhh ...." dengkuran yang terdengar halus disuasana yang sepi ini.
Jarak antara aku dan mbak Citra yang tak ada 30cm itu membuatku mampu mendengarkan apa pun yang keluar dari mulutnya.
Aku mencengkram bantal kuat-kuat. Air mata masih setia menetes hingga jilbab yang aku gunakan telah basah.
Hatiku sakit, tapi pikiranku sibuk membayangakan apa yang sedang mereka lakukan. Ciuman seperti di ruang tamu waktu itu, atau mas Linxi meraba dada mbak Citra dengan mulutnya, atau ... Aarrggg! aku ingin lari. Aku nggak bisa begini.
"Aahhh ... pelan-pelan." Bisikan yang mampu kudengar. Disusul tawa kecil dari mulut suamiku.
Astaghfirullah, Astaghfirullah, aku hanya bisa beristigfar berkali-kali untuk sedikit meredakan emosiku.
Hingga beberapa menit kemudian tak lagi aku dengar suara tawa dan desahan dari mulut-mulut yang dibelakangku.
Duueerr!!!
Hujan yang sangat lebat beserta petir menjadi penghias malamku. Dari kecil, aku tak bisa bobok sendirian saat ada petir begini. Aku langsung bangun dan duduk. Mataku tertuju pada dua orang disampingku.
Mereka tidur berpelukan. Terlihat sangat nyaman. Tangan mas Linxi melingkar diperut mbak Citra dan kepala mbak Citra ngusel didada suamiku. Mesra sekali bukan. Ditambah hujan lebat, menambah hawa dingin yang mendukung aksi mereka.
Dduueerrr!!!
Langit kembali murka. Aku hanya bisa memeluk lututku dan menangis dalam diam. Aku turun dari ranjang, duduk di lantai dan menangis disana.
Hingga samar aku mendengarkan suara adzan subuh, baru aku bangkit dan masuk ke kamar mandi.
Kutatap bayanganku dicermin kamar mandi. Mataku bengkak, ada lingkaran hitam juga dibawah mata. Wajahku terlihat sangat hancur.
Aku menyandarkan diri didinding kamar mandi, tubuhku luruh kelantai. Aku kembali menangis. Sakit sekali, ini sakit. Tapi aku tak tau aku sedang memangisi apa. Hanya saja, hatiku terasa amat sangat sakit.
"Ummi, Zeta kangen." ucapku lirih.
Aku ingin sekali mengadu pada ummi tentang semua perasaan ini. Aku butuh tempat mengadu. Ummi Yanti memang hanya orangtua angkatku. Tapi dia yang sudah membesarkanku, dan dia yang selalu ada untukku. Disaat seperti ini, aku sangat merindukannya. Aku membutuhkan pelukan hangat darinya.
Setelah hatiku mulai merasa sedikit tenang, aku segera mandi, langsung memakai seragam sekolah dan keluar dari kamar mandi.
Mbak Citra sudah duduk ditepi ranjang membenarkan kancing kemejanya. Sebelum kancing itu dibenarkan, sempat aku lihat ada cupangan diatas payudaranya.
"Kamu udah mandi, Ta?" tanyanya saat mengetahui aku berdiri menatapnya.
"Iya." Aku mengambil tasku dan keluar dari kamar setan itu. Aku masuk ke ruang kerja mas Linxi dan menunaikan dua rakaat di sana.
Setelah selesai shalat, aku keluar untuk membuatkan grandpa sarapan pagi. Terserah urusan mbak Citra yang ketahuan atau apa lah. Aku tak akan lagi peduli. Sudah sangat sakit untuk yang semalam.
"Zeta, kamu udah bangun, nak," grandma berdiri dibelakangku.
"Eh, udah, grandma. Ini bikinin sarapan." Aku menghindarkan wajahku dari tatapan grandma.
Jangan sampai grandma tau mataku yang bengkak dan mirip mata panda ini. Aku sekarang menginginkan mereka tau perbuatan mas Linxi, tapi aku tidak mau menceritakannya. Aku ingin mereka tau dengan sendirinya tanpa ikut campur mulutku.
"Grandma duduk aja ya. Ini udah selesai kok, kita tinggal sarapan."
"Iya, sayang. grandma duduk di meja makan aja." grandma pun pergi menuju meja makan.
Agak bisa sedikit lega.
Aku lanjut menyiapkannya, menatanya diatas meja. Tak lama, grandpa keluar, dan Mas Linxi juga keluar. Dia udah rapi pakai seragam sekolahnya. Nggak tau kekasihnya udah pergi atau masih ada didalam kamar.
Mereka bertiga udah kumpul dimeja makan. Tapi aku masuk ke kamar tamu untuk mengambil beberapa buku pelajaran untuk hari ini. Setelah beres semua masuk tas, baru keluar dan ikutan gambung dimeja makan.
"Lho, kok belum pada makan?" ucapku setelah duduk disamping mas Linxi. Piring mereka masih tengkurep.
"Ya nungguin kamu, Ta, masa' kita sarapannya nggak barengan." jawab grandpa.
Ya Tuhan, baik sekali mertuaku ini. Beda sama Mas Linxi yang secara terang-terangan suap-suapan sama mbak Citra didepanku.
Aku tersenyum, lalu kembali berdiri menghampiri granpa. Membalikkan piringnya dan ngambilin dia nasi serta lauknya.
"Zeta, nggak perlu begitu, nak. Grandpa bisa ambil sendiri kok."
Lanjut ke piringnya grandma. "Iya Ta, kita bisa ambil sendiri. Kamu nanti bisa telat sekolahnya."
"Nggak akan grandma," jawabku santai.
Aku lanjut ambilin buat mas Linxi. Baru aku duduk dan ngambil buatku sendiri.
"Ta, kamu semalam nggak tidur? Kamu nangis?" tanya grandma disela makan.
"Iya, itu mata kamu bengkak." Timpal Grandpa.
Mas Linxi hentikan aktifitas makannya. Dia menarik lenganku dan natap wajahku. Tapi aku tetap nunduk. Aku nggak berani natap dia. Dia raih daguku.
"Liat gue." perintahnya.
Gue melengos buang muka dan nepis tangannya. "Iya semalam aku nangis. Aku nggak bisa tidur karna dari kecil aku takut saat ada petir."
"Kenapa kamu nggak minta peluk suamimu, Ta? Biasanya kan kalau takut, pelukan seseorang itu bisa bikin kita tenang." ucap grandma.
Aku melihat mas Linxi gusar. Ada perasaan yang entah, terdengar nafasnya yang mulai tak beraturan.
"Semalam mas Linxi boboknya nyenyak banget, grandma. Aku nggak mungkin gangguin. Takut mimpi indahnya kepotong." Sanggahku.
Mas Linxi hanya nunduk dan berpura-pura fokus lanjutin makan.
"YaAllah, Lin, kamu semalam mimpi apa? Kok sampai nggak tau kalau yang bobok disampingmu nggak tidur sampai pagi?"
"Padahal semalam itu dingin lho. Grandpa aja boboknya ngusel ke grandma. Kamu nggak ngusel istrimu??"
Deg!
Hatiku sakit banget ingat semalam. Ingat mbak Citra yang bobok ngusel. Yang mendesah, liat cupangan di dada montoknya itu. Kenapa jadi pengen nangis lagi. Astaghfirullah, aku mengelus lagi dadaku. Sesak sekali rasanya.
"Linxi kecapekan, maaf ya." Itu yang keluar dari mulutnya.