bab 12
Didalam mobil kami sama-sama terdiam. Aku membuang muka menatap kearah jendela. Walau sebenarnya pikiran dan hati sangat ambyaarr!
"Ta, elo marah?" itu kata pertama yang keluar dari mulut suamiku.
"..........."
Sengaja aku diamkan. Terlalu malas berbicara dengan manusia yang tak punya hati sepertinya.
"Iya gue salah. Maafin gue ya." ucapnya lagi.
Aku tetap diam, juga tak menatapnya. Berusaha tetap menetralkan hati saja. Tiba-tiba dia menepikan mobilnya.
Dia raih tanganku dan digenggamnya erat. "Ta, jangan marah dong. Gue harus gimana biar elo nggak marah?"
Bersentuhan dengannya, membuatku tak bisa untuk tidak menatapnya. Emosiku sedikit luluh.
"Bilang, gue harus ngapain, hum?"
Oh, Tuhan, tatapannya. Aku nggak bisa menahan untuk tidak baper. Apa aku masih harus bilang jika tak mencintainya?
"Tolong jangan lakukan perbuatan zina dirumah yang aku tempati, mas. Aku tak mau. Dan aku harap kamu segera sadar mas jika perbuatanmu itu sudah melenceng jauh dari kata benar."
Dia lepaskan genggamannya, kembali melajukan mobilnya. "Iya gue nggak akan lagi ngelakuin itu dirumah. Tapi jangan pernah minta gue buat tinggalin mbak Citra. Karna dia bagian dari hidup gue."
Deg!
Sesak, sakit seperti ada yang menancapkan tongkat baseball di dadaku.
"Tenanglah, mas. Aku tidak akan meminta itu. Aku hanya mengingatkan, karna peranku sebagai istri adalah mengingatkan jika imamku mulai berjalan menyimpang."
"Udah deh nggak usah ceramah."
"Iya aku akan diam. Tapi jangan pernah melarangku untuk dekat dengan Aksa."
"Kenapa? Kamu suka sama dia?" dia melirikku sesaat, lalu kembali fokus ke jalan.
"Tidak. Aku merasa nyaman berteman dengannya. Dia orang yang sangat baik."
Terlihat wajahnya mulai tak enak dipandang. Sepertinya sih marah. Tapi aku tak akan pedulikan itu. Bahkan dia dengan santainya mengatakan tak akan meninggalkan kekasihnya itu. Dia pikir aku nggak bisa?
"Serah!"
**
Seperti biasa, saat istirahat Cici, Sofi dan Aksa ngajakin makan di kantin. Kali ini giliran aku yang pesenin buat teman-temanku.
Antri dengan beberapa siswa dengan berdesak-desakan. Tak sengaja aku menyenggol lengan salah satu cewek yang udah bawa dua gelas minuman. Minumannya tumpah dan buat bajuku basah.
"Anjiirr!! mata lo tuh didengkul ya. Tumpah kan minuman gue!!" Teriak cewek itu. Dan itu nyita perhatian se isi kantin.
Aku masih sibuk bersihin bajuku yang basah dan mulai keliatan tangtopku yang berwarna biru.
"Maaf kak, aku nggak sengaja." Aku menelakupkan tanganku didepan dada.
"Ciihh!!" dia berdesis. "Sok alim lo!!"
Dia kembali mengambil minum dan pergi. Aku balik ke meja teman-teman dengan tangan kosong. Aksa yang pertama berdiri dengan expresi sangat terkejut.
"Elo kenapa, Ta?"
"Tadi gue nyenggol minuman dan tumpah dibajuku."
"Ya ampun nerawang gitu, Ta." ucap Cici.
"Ayo ganti pakai kaosteam gue." Aksa narik lengan bajuku.
"Iya sana ganti dulu." ucap Sofi.
"Ya udah deh aku pergi dulu ya."
Aku mengikuti langkah kaki Aksa. Bahkan dia juga mengantarku ke kamar mandi untuk ganti baju dan menungguiku diluar.
"Sa, nggak perlu sampai kek gini, kan."
"Wajar kan gue khawatir ada yang ngerjain elo lagi."
"Tadi itu cuma nggak sengaja aja kok."
"Elo balik ke kelas aja. Gue beliin roti sama minumnya."
Tanpa nunggu persetujuan dariku, dia udah ngeloyor pergi. Aku juga tak ingin berlama-lama berdiri didepan toilet. Segera melangkah menuju ke kelas.
Duduk di kursiku dan mulai membuka buku pelajaran selanjutnya.
Tak begitu lama, mas Linxi masuk dengan kedua telinga yang ditutupi headseat dan kedua tangannya masuk ke saku celana. Kok tampan ya.
Tatapannya langsung tertuju pada kaosteam yang aku pakai.
"Kenapa lo pakai kaosnya Aksa?" pertanyaan yang udah keliatan nggak suka.
"Bajuku basah. Tadi pas di kantin ketumpahan minuman." jawabku enteng.
"Kan bisa pakai punya gue." Dia masih berdiri di meja sampingku.
"Kan tadi mas Linxi nggak sama aku."
"Yaudah, sekarang ganti kaos." Dia pergi ke belakang kelas ngambil kaosteam miliknya didalam loker.
Aksa masuk membawa sekantong plastik. Dia langsung taruh plastik itu dimejaku.
"Makan dulu ya. Biar perut lo nggak sakit." ucapnya lalu duduk disebelahku, ya karna emang tempat duduknya disitu.
"Makasih ya, Sa." Aku buka sebungkus roti dan mulai memakannya.
Mas Linxi nggak jadi ambil kaosnya. Dia kembali dan duduk disebelahku. Memperhatikanku tanpa beralih pandang.
"Ta, ntar pulang bareng gue aja ya. Kaya' nya ntar bakal hujan deh." ajakan Aksa yang aku yakin bikin mas Linxi jadi tambah marah.
"Nggak usah, Sa, aku nanti naik bus aja kaya' biasanya." kembali ku gigit roti yang aku pegang.
"Ntar kalo lo ditinggalin dipinggir jalan lagi gimana?"
Keliatan mas Linxi mengepalkan tangannya. Nafasnya mulai terdengar kasar.
"Nggak akan. Sopir bus nya nggak akan tega ninggalin anak gadis dipinggi jalan. Dia nggak seperti sopir mobil." Aksa terkekeh mendengar ucapanku, lalu melirik mas Linxi sebentar.
Aku nggak peduli lagi dengan dia yang setelah ini akan semarah apa atau mungkin akan mengusirku. Aku hanya ingin dia sadar dengan apa yang sudah dia lakukan.
"Ya udah, ntar bareng gue aja. Kita mampir ke kedai ice cream yang kemarin." tawar Aksa.
"Mau." jawabku semangat. " Tapi traktir ya."
"Iya, mau berapa cup pasti aku traktir."
"Nggak. Ntar kita langsung pulang." sela mas Linxi.
Aku beralih menatapnya. "Lho, kenapa, mas?"
"Mama mau berkunjung." jawabnya tanpa natap aku.
Huufftt ... kuhembuskan nafas kesalku. Padahal udah seneng mau bikin dia marah, bahkan sangat berharap dia cemburu. Tapi dari pada mama mikir yang aneh saat tak melihatku dirumah, mending nggak usah pergi aja.
"Lain kali aja ya, Sa."
"Iya gue tunggu lain kalinya."
**
Aku pulang diantar sama Aksa. Karna seperti dugaan, hari ini hujan lagi. Mas Linxi sudah pulang lebih dulu, katanya sih ada perlu. Tapi entahlah perlu apa. Aku tak akan terlalu kepo dengan urusannya.
"Makasih ya, Sa. Besok bajunya aku bawain." Ucapku tulus dengan senyum manisku.
"Iya Ta, santuy. Gue punya 2 kaosteam kok."
"Mau mampir dulu?" aku sudah membuka seatbelt.
"Nggak usah. Gue nggak mau suami lo marah."
Aku tertawa kecil. "Yaudah. Aku turun ya, makasih." Aku membuka pintu mobil dan turun, langsung lari kecil agar nggak kehujanan. Mobil Aksa pun melesat pergi.
Saat didepan pintu masuk, aku mulai ragu untuk membuka pintu. Aku sudah membayangkan akan melihat sepasang kekasih yang zina seperti sebelum-sebelumnya. Terlalu cepat jika akan melihatnya lagi, dan lagi ....
Bismilah ....
Aku membuka pintu. Sepi nggak ada orang yang bercumbu di depan tv. Ah, mungkin mereka didalam kamar. Whatever! aku nggak akan peduli lagi.
Langsung masuk kamar dan mandi. Shalat ashar, lanjut bikin makan didapur. Sekitar 30 menit membersihkan dapur dan masak. Sekarang tinggal makan.
"Kok nggak ajak gue makan?"
"Uhuk ... uhuk ... uhuk." Aku tersendak makananku. "Astagfirllah, mas, ngagetin."
Dia duduk di sebelahku, merhatiin aku yang lanjutin makan. Mungkin dia minta aku ambilkan makanan seperti biasanya. Tapi jangan harap aku akan melakukan itu.
Selesai makan, aku beranjak kedapur mencuci piringku dan jalan kembali kekamar. Bisa kulihat mas Linxi yang mengawasiku terus. Biarkan dia tau seberapa sakitnya aku.
Aku mencopot jilbab dan kaosku karna kena bumbu saat masak tadi.
Cekkleek!
Tiba-tiba mas Linxi masuk ke kamarku. Dia terkejut saat melihatku hanya memakai tanktop dan tanpa hijab. Dia langsung mepet aku kedinding. mengunciku dengan kedua lengannya.
"Mas, kamu ngapain? Ketuk pintu sebelum masuk itu berlaku, mas!"
Matanya tak henti menatapku dengan tatapan yang entah apa itu.
"Kenapa elo cuekin gue?" tanyanya dengan lembut.
"Aku nggak nyuekin. Aku hanya berlaku seperti mas memperlakukanku."
"Maksud elo apa?"
"Bukanlah selama ini kamu memperlakukan aku seperti ini? Menganggapku tak ada dirumah ini?"
"Siapa yang bilang?"
"Lho, aku barusan bilang. masa' nggak kedengeran."
Dia mengangkat daguku dengan tangannya. Menempelkan bibir kita dengan lembut. Ciuman yang hanya sekilas tapi mampu membuatku membeku ditempat.
"Gue nggak mau lo cuekin."
Kembali dia tempelin bibirnya ke bibirku. Lembut, sangat lembut. Mataku masih melotot melihat dia yang merem kaya' menikmati. Dia hisap bibir bawahku hingga terasa agak perih. Debar jantungku makin tak menentu. Seperti terserang sengatan listrik. Ini pertama kali untukku.
Dia melepaskan ciumannya setelah membuat bibirku bengkak. langsung ngeloyor pergi keluar kamar.
Seketika tubuhku luruh ke lantai. Aku menangis. Kenapa aku nggak bisa lawan dia sih! Harusnya aku menolak sentuhannya, kenapa tadi cuma diam?! Hiks, hiks, hiks ....
Murahan sekali aku ini. Dia sudah menyakitiku. Dia milik wanita lain, aku nggak mau begini.