bab 13
Pukul 9.30 pm
Aku masih berkulat dengan buku paket yang harus kupelajari. 2 bulan lagi udah ujian semesteran, dan pasti aku harus extra mengejar pelajaran yang ketinggalan jauh.
Dduer!
Malam ini memang hujan deras dan lagi-lagi ada petir. Ini semakin membuatku bergetar. Gemetar kedinginan sekaligus takut. Tak bisa konsentrasi membaca lagi. Segera aku duduk di atas tempat tidur, memeluk lutut dan mengamati sekitar kamar.
Dduer!
Petir itu menyapaku lagi. Aku menenggelamkan kepala di antara lutut dan perlahan menangis. Biasanya saat begini ada Nur teman sekamar waktu di pesantren dulu yang akan memeluk, menenangkan dan menemani semalam penuh. Air mata mulai menetes, aku merindukan suasana di pesantren. Disana banyak orang yang peduli dan menyayangiku. Dimana saat aku tak pernah merasa sendiri ataupun tak dianggap.
"Hiks, hiks, hiks, ummi, Zeta rindu." ucapku disela tangis.
Tangisku semakin deras hingga tubuhku mengguncang. Dan suara petir itu masih terus bersahutan. Tiba-tiba ada yang mendekapku, mengelus lembut kepalaku dan menempelkan didadanya.
Dia suamiku, mas Linxi. Siapa lagi jika bukan dia. Ingin menolak, tapi sungguh aku membutuhkan pelukan ini. Pelukan yang hangat dan terasa nyaman.
"Sstt ... udah jangan nangis. Ada gue disini, gue akan selalu jagain elo." ucapnya.
Ucapan yang terasa menenangkan hati dan jiwa. Aku pun merasa sedikit lebih tenang mendengarkannya. Saat aku sudah tak lagi terisak, dia melepaskan pelukannya. Kembali mengelus rambutku, mengusap kedua pipiku yang basah.
"Ini udah malam, kita bobok ya."
Aku menggeleng. "Aku takut, mas."
"Gue temenin. Gue nggak akan tinggalin elo."
Dia bantu aku rebahan di bantal, menaruh lengannya di bawah leherku dan membenamkan kepalaku di dadanya. Ini mirip saat dia bobok sama mbak Citra malam itu.
Kembali air mataku menetes. Ya Tuhan, ini sangat nyaman. Dada suamiku sangat hangat dan bikin tenang. Tapi di dalam dada ini sudah ada wanita lain yang berumah. Tak mungkin aku bisa memasukinya.
"Kenapa masih nangis?"
Aku hanya diam dengan masih terus menangis. Hingga dia menarik wajahku untuk menjauh dadi dadanya agar dia bisa menatapku.
"Apa pelukan gue nggak bisa bikin elo tenang?"
Bukan itu mas, ini sangat nyaman. Tapi ... pelukanmu bukan milikku, itu yang membuatku sakit. tentu aku hanya bisa membatinnya saja.
Dia memegang daguku. Menempelkan bibirnya ke bibirku. Ciuman seperti sore tadi, tapi tak hanya sekilas. Dia gigit kecil bibir bawahku, hingga lidahnya masuk kedalam mulutku. Menjelajahi setiap sudut didalamnya.
Sesuatu yang belum pernah aku rasakan, dan ini nikmat. Ya, aku nggak munafik. Ciuman mas Linxi sangat nikmat dan mampu membawaku terbang dalam anganku. Aku mulai memejamkan mata, menikmati ciuman ini. Cukup lama, dan aku mendorong dadanya karna mulai kehabisan nafas. Tapi dia malam mendorong tengkukku. Membuat ciuman kita semakin dalam lagi.
"Eembb ...." ini suaraku. iya ini asli keluar dari mulutku. Mirip desahan yang pernah aku dengar dari mbak Citra malam itu.
Mas Linxi melepaskan ciumannya, menempelkan keningnya dikeningku. Nafas kami beradu karna sama-sama terengah-engah.
Dia mengelap bibirku lembut, dengan tatapan yang sangat hangat. Aku sangat mengharapkan cinta dan sayang dari tatapan itu. Sedetik kemudian, dia tersenyum manis.
"Apa kamu menyukainya?"
Pertanyaan yang membuatku sangat malu. Aku yakin pipiku sekarang memerah. Segera kudorong tubuhnya agar menjauh dariku. Aku beranjak dan duduk diatas kasur.
"Kembalilah ke kamarmu, mas. Petirnya dudah nggak ada." aku bicara tanpa menatapnya.
Dia ikutan bangun dan duduk disebelahku. Diam menatapku, cukup lama. "Ok."
Dia benar-benar ngeloyor pergi meninggalkan kamarku.
Dasar penjahat!
Setelah menciumku, dia bisa dengan mudah pergi begitu saja. Tidak sedikitpun mikirin perasaanku.
**
Minggu pagi yang lumayan cerah walau semalam hujan deras. Aku belum mandi, hanya cuci muka dan memakai celana training, kaos yang agak santai, sepatu kets dan tentu pakai jilbab.
Keluar kamar dan menunggu Aksa didepan rumah.
"Lo mau kemana?" mas Linxi sudah berdiri disamping pintu sambil natap aku.
"Mau lari pagi, mas."
Aku masih sangat malas menatapnya. Apa lagi mengingat kejadian semalam. Itu menyebalkan.
"Sama siapa?"
"Aksa."
Jawaban yang mampu bikin rahangnya menegang. "Nggak boleh!"
Aku berdiri dan natap dia. "Kenapa?"
"Gue nggak suka lo deket sama dia!"
"Kalau mas nggak suka, jadi aku harus nurutin?"
"Gue ini suami elo, Ta. Inget, suami!"
Aku mencibirkan bibirku. "Suami macam apa yang kelonan sama wanita lain di ranjang yang sama dengan istri sah nya?!"
Tatapan mas Linxi makin tajam. Kenapa harus marah saat aku bilang kenyataannya?
Terlihat ada kegusaran juga disana.
Tin ... Tin ....
Mobil Aksa udah berhenti didepan rumah.
"Aku pergi, mas. Assalamualaikum."
Segera aku meninggalkan rumah neraka itu tanpa peduli ijin darinya. Tanpa menunggu lagi, Aksa segera melajukan mobilnya menuju taman kota.
"Elo berantem nya belom kelar ya?" tanya Aksa saat kita berlari kecil menyusuri jalan taman.
"Dari awal nikah udah kek gini." jawabku enteng.
"Mau tahan berapa lama?"
"Apanya?"
"Nikahnya, apa lagi?"
"Prinsipku dalam hidup, menikah cukup satu kali saja. Tapi entahlah, tak tau didepan takdirku akan seperti apa."
Aku berlari agak kencang meninggalkan Aksa. Hingga dia harus mengejarku. Kami duduk bersebelahan di undakan kecil sisi taman. Memberi jeda pada tubuh kami untuk beristirahat sebentar.
"Tunggu sini ya, gue ambil sesuatu dulu." dia pergi entah kemana.
Nggak lama, dia datang bawa sepeda yang agak panjang dengan dua sedle depan belakang.
"Yuuk kita nyari keringat lagi."
Dengan semangat aku naik ke belakang dan mulai mengayunkan kakiku. Kami mengayun sepeda memutari taman sambil ngobrol dan bercanda.
Aku sangat bersyukur dihubungan rumah tanggaku yang rumit ini, ada Aksa yang selalu jadi teman siagaku. Dia sungguh sangat baik.
"Sa, berhenti dulu." pintaku.
Dia pun ngerem dan sepeda berhenti.
"Kenapa?" dia noleh.
"Aku mau beli itu. Laper."
Segera aku berlari kebelakang mendekati mamank yang jualan batagor pakai grobak.
"Bang, pesen dua ya."
"Iya, neng. Tunggu ya."
"Nanti dianterin kesana bisa?" Aku menunjuk tempat Aksa duduk di pinggiran pembatas jalan.
"Bisa, neng. Mau pedes nggak?"
"Satu pedes banget, satunya dikit aja sambalnya."
"Siyap, neng."
Selesai pesan, aku kembali jalan ke tempat Aksa. Ikutan duduk disebelahnya.
"Kamu suka pedes nggak, tadi aku pesenin tapi pakai sambal. Tapi aku mintanya nggak banyak sih."
"Biasa sih, nggak suka banget. Tapi doyan." Dia nyengenges.
"Syukur deh."
Beberapa menit kemudian pesanan batagor datang. Kami pun memakannya sambil ngobrol ria.
Tanpa aku sadari, ada sepasang mata yang sedari tadi ngawasi kami.