bab 14
pov Linxi
Damn!
Shit!
Tak henti-henti aku mengumpat kesal saat dalam perjalanan pulang. Sungguh menyebalkan melihat Zeta yang semakin hari makin dekat dengan Aksa. Dan hari ini aku melihat mereka lari pagi barengan, naik sepeda, makan bareng sambil bercanda. Apa lagi melihat Zeta bisa tertawa lepas begitu saat dengan Aksa. Aku nggak rela!
Bahkan saat denganku, tertawa kecil saja nggak pernah. Bangsad!
Aku kembali menuju parkiran dan pulang kerumah. Sudah cukup membuat hati terbakar melihat mereka seperti itu.
Sesampainya dirumah, sengaja tidak masuk kekamarku, tapi masuk ke kamar Zeta. Aku harus menghentikannya!
Menunggu dia pulang sambil ku buka setiap buku yang ada diatas meja miliknya. Tulisannya rapi, bagus. Apalagi tulisan arabnya, sangat indah. Tanpa sadar, bibirku terangkat dengan seutas senyum.
Kuingat kejadian semalam saat sama dia. Ada rasa yang berbeda. Saat sama mbak Citra, aku nyaman, seneng dan nafsuku tersalurkan. Tapi saat dengan Zeta, ada rasa gemetar didalam dadaku, dan entah apa itu. Apa lagi saat bibir kami menyatu, itu nyaman banget. Rasanya nggak pengen lepasin dia.
Menunggu hampir satu jam, tapi Zeta nggak juga datang. Jenuh juga, aku keluar kamar menuju dapur karna perutku mulai terasa perih. Nyari makanan, tapi nggak ada karna Zeta pergi tanpa masak dulu.
Aahhh istri kalo ngambek bikin kelaparan. Akhirnya cuma nuang segelas susu dan makan dua helai roti tawar.
Samar, aku dengar suara pintu dibuka, lalu ditutup. Pasti itu Zeta udah pulang kan. Segera aku nyusulin dia ke kamarnya.
Seperti biasa, aku masuk kamarnya tanpa mengetuk pintu dulu. Tapi sepi, kosong. Dia tak ada di kamar. Aku mendekati pintu kamar mandi yang tertutup, samar dengar gemercik air dari dalam.
Pasti dia sedang mandi kan? Mending nungguin dia lah. Aku tiduran diranjang sambil mainin hape. Sekitar 30 menit nungguin.
Ceklek!
Pintu kamar mandi kebuka juga. Mataku langsung fokus natap pintu itu. Awal yang kulihat adalah kaki mulusnya, lanjut tubuhnya yang beneran mulus. Dia cuma nutupi tubuhnya pakai handuk aja.
Oh my! Ternyata dia cukup sexy, dan tubuhnya sangat menarik. Berkali-kali aku menelan salivaku. Mataku tak bisa beralih pandang. Dia belum menyadari keberadaanku.
Jalan dengan santuynya menuju lemari baju yang letaknya pas di depan ranjang. Berdiri membelakangiku, mulai membuka lemari dan mencari sesuatu. Dia nungging karna sepertinya yang di cari itu ada di bagian bawah lemari.
Itunya gans, terlihat nyata. Sumpah ini beneran keliatan. Secara, itu handuk cuma berada di paha paling atas. Kalo dipakai nungging kan langsung keliatan.
Saat udah ketemu sama yang dia cari, dia lepas itu handuknya. Dia telanjang bugil didepanku. Keliatan bentuk tubuhnya yang aduhaaiii bagus banget. Kulitnya asli putih mulus, bokongnya yang berisi, dan lekukan tubuhnya. Menggoda.
Dia mulai pakai CD, lanjut pakai BH nya. Kembali ngambil baju di lemari dan memakainya. Setelah selesai, dia tutup lemari itu. Dia sisiran sambil ngaca di cermin gede yang nempel dilemari.
Matanya melotot, mulutnya kebuka sedikit. Dia balik badan dan natap aku. Tentu dia kaget saat liat bayanganku didalam cermin tadi.
"Sejak kapan mas Linxi disitu?" tanyanya dengan masih terkejut.
"Sejak elo belum keluar dari kamar mandi." Aku berusaha bersuara santuy. Walau sebenarnya jantungku udah nggak karuan karna menahan sesuatu.
Dia memejamkan matanya, menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. "Kok mas, nggak ngomong sih? Pasti sengaja ya?!" mulutnya udah mengerucut.
"Iya sih, sengaja liat." Aku menggaruk tengkukku yang nggak gatal. Kembali nyandarin badan ke papan ranjang dan natap istriku yang ternyata sangat menarik. Pantas saja Aksa terus deketin dia.
"Hhuftt! dasar mesum!" Dia ikutan duduk di ranjang. " Mau apa kesini?" dia masih sibuk nyisir rambut membelakangiku.
"Elo seneng ya kalo jalan sama Aksa?"
"Biasa aja sih. Tapi bisa bikin badmood jadi goodmood."
Kok dia ngomongnya santuy gitu sih? Berarti dia juga nikmati dong. Bikin sesak nafas kalo begini.
"Jalan-jalan yuk, Ta." harus aku imbangi.
Dia noleh, mengeryitkan keningnya. Nggak jawab, sibuk pakai jilbab.
"Kok diem sih? Nggak mau?"
"Kenapa nggak ajak mbak Citra?"
"Lagi pengen jalan sama elo."
Aku beranjak dari ranjang. Deketin dia yang masih sibuk didepan cermin. Aku diam perhatiin dia sampai selesai makai jilbab. Dia pun natap aku, kami berhadapan.
Aku cubit pipinya dengan lembut. "Cantik."
Dia tersipu malu dan ngalihin pandangannya. Aku makin terkekeh liat wajahnya yang ngegemesin.
Tanpa banyak ngomong lagi, aku tarik tangannya keluar kamar.
**
"Seneng nggak?"
Sekarang aku sama dia udah ada dipinggir pantai. Letaknya agak jauh dari kota. Disini juga nggak terlalu banyak pengunjung, jadi bisa menikmati view nya dengan full.
"Seneng, mas. Ini indah banget." Dia beneran seneng. Itu terlihat dari senyumnya sedari tadi yang nggak pudar.
Dia jalan ngedahului aku. Berdiri ditepi pantai menatap hamparan lautan luas. Menelentangkan kedua tangannya dan ngerasain terpaan angin yang ... segar.
Aku terlalu gemas liat dia begini. Tanganku langsung melingkar ke perutnya. Aku peluk dia dari belakang. Wangi.
"Mas,"
Zeta kaget dan memegang tanganku. "Nikmati aja."
"Kamu ngapain, mas?"
"Pengen peluk elo. Dingin."
"Kenapa tadi jaketnya ditinggal?"
"Karna kamu lebih hangat."
Hening.
Kami sama-sama diam menikmati suasana. Lebih tepatnya, kebersamaan kami.
"Lepasin, mas, kamu nggak bisa asal peluk kek gini." dia narik tanganku buat lepasin pelukan.
"Elo kan istri sah gue." aku semakin eratin pelukan.
"Mas lupa ya, dalam perjanjian itu. Mas nggak bisa sentuh aku tanpa ijin."
"Tadi kan di ijinin."
"Jangan ngaco kamu, mas! Kamu bisa pegang aku sesukamu saat tangan kamu nggak akan pernah lagi sentuh wanita lain."
Dengar kalimat ini, tentu aku pilih ngalah. Aku nggak mungkin bisa.
Aku berdiri disampingnya sambil lipat tangan didepan dada. Melirik dia sesaat, dia merem sambil hirup udara yang emang seger banget. Wajahnya begitu damai. Itu bikin aku makin kagum sama dia.
Iseng ambil hape, langsung arahin kamera ke wajahnya. Pas banget saat senyum tipis itu terukir.
"Mas," ucapnya sambil merem.
"Hhmm."
"Kamu udah sering kesini ya?" kali ini mulai natap aku.
"Nggak juga. Baru dua kali ini."
"Kok mas bisa tau tempat ini?"
"Pernah diajak mama kesini. Ini dekat rumahnya Om Ifan."
"Saudara kamu?"
"Iya, adiknya aunty Diani."
"Aku udah pernah ketemu mereka?"
"Belum. Om Ifan sibuk banget sama kapal-kapal nya. Lo liat deh itu." Aku nunjuk sebelah timur. Disana banyak banget kapal nelayan. "Itu semua milik Om Ifan. Dan di bibir pantai tadi ada pasar kan," Dia ngangguk. "Itu 60% milik Om Ifan."
"Waahh, hebat ya."
"Iya, dia baik banget. Dulu waktu gue masih kecil, mama sering ajakin main kesini. Sekarang sih udah pada sibuk."
"Aku jadi pengen."
"Pengen apa?"
"Pengen sukses seperti Om Ifan."
Aku tersenyum, bahkan ketawa kecil.
"Kenapa ketawa gitu? Ngejek banget!"
"Emang kamu bisa berenang?"
"Nggak bisa. Ini juga pertama kali liat pantai, mas."
"Hah?!" Aku kaget. "Dulu kalau jalan, lo kemana?"
"Dulu saat aku masih kecil, aku sering ditinggal pergi Ayah Ibuk. Mereka sibuk kerja. Aku juga lebih banyak belajar di pesantren."
"Jadi udah dari kecil elo dipesantren?"
"Iya, mas. Dari aku masih belajar berhitung, aku udah tinggal dipesantren. Sampai saat kedua orangtuaku pergi, aku juga masuk pesantren lagi. Bisa dibilang, ini pertama kalinya aku melihat dunia luar."
Nggak bisa aku bayangin jika aku yang ada diposisinya. Hidup udah kaya' dipenjara gitu.
"Ada senengnya sih, bisa liat dunia luar begini. Ada sedikit kedamaian. Makasih ya, mas."
"Buat?"
"Mas udah bawa aku keluar dari lingkupan pesantren dan mengenalkan dunia luar. Dunia yang akan mendewasakanku. Aku siap menghadapi segala masalah dan ujian didepanku."
Dia masih bilang makasih? Kok ada sih orang baik kaya' dia. Aahh bukan lagi baik. Dia udah bego!
"Harusnya elo marah sama gue dong. Elo kan nggak jadi nikah sama anak Kyai itu."
"Kenapa harus marah sih mas. Itu namanya bukan jodoh. Kita cukup mengikhlaskan saja. Awalnya memang sangat sakit. Tapi, nggak mungkin kan kita akan terus berdiri dititik itu terus.
Mencintai itu nggak salah, tapi cinta itu nggak harus memiliki. Jadi, cukup mencintainya didalam doa saja. Aku yakin, jika memang kita jodoh, pasti akan ada jalan untuk kita bersama.
Kita tinggal jalani aja. Nggak perlu sibuk mikirin hati yang kadang entah seperti apa.
"Aku hanya akan menjalani yang sekarang sudah didepanku."
"Maksudnya?"
"Pikir sendiri ya," tersenyum miring dan manis.
Dia jalan ninggalin aku. Tentu aku beranjak menyusul dibelakangnya.