Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

bab 8

pov Zeta

Pagi ini aku agak sibuk. Karna hari ini adalah hari pertama masuk ke sekolah. Bangun dari jam empat tadi, nyuci baju, masak buat sarapan, bersihin seisi rumah lanjut membersihkan diri dan dandan bersiap ke sekolah. Ah iya, nggak shalat dan ngaji seperti biasanya karna sedang haid.

Saat sudah siap semua, aku keluar kamar. Suamiku sudah duduk di meja makan. Bahkan sudah mulai makan tanpa nunggu aku.

Sesaat pandangannya fokus menatapku. Dia menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Bahkan sampai berhenti ngunyah makanan yang udah penuh di mulutnya.

Jelas aku salah tingkah ditatap manusia se tampan dia. Iya aku mengakuinya, suamiku ini lebih tampan dari gus Fata, si pemilih hatiku.

"Mas, ada yang salah sama saya?" tanyaku. Karna dia beneran nggak kedip.

Dia gelagapan, sampai tersendak. Aku segera ambilin minum dan memberikan padanya.

"Pelan-pelan, mas."

"Buruan makan. Biar kita nggak telat." perintahnya.

Aku hanya senyum dan mulai mengambil nasi, sarapan pagi bareng suami untuk pertama kalinya.

Selesai makan, aku beresi meja makan, mencuci alat makan, baru keluar rumah. Tak lupa aku mengunci pintu lebih dulu. Suamiku sudah menunggu didalam mobil. Segera aku membuka pintu dan duduk disampingnya.

Ddrrtt ... Drrtt ....

Hape milik mas Linxi getar, ada panggilan telfon. Sempat aku lihat nama si penelfon itu Mbak Citra.

"Hallo, Mbak," sapa suamiku.

"Hari ini istri kamu masuk sekolah ya?" suara si penelfon yang masih bisa aku dengar walau itu samar.

"Iya, mbak, kenapa?"

"Kamu berangkat bareng?"

"Iya, mbak, emang kenapa sih?"

"Aku nggak mau kamu dekat-dekat sama dia."

"Kita cuma berangkat bareng sayang. Wajarlah kalau duduk disebelah. Kamu cemburu ya?" Mas Linxi ketawa kecil. Ada kebahagiaan yang terlihat dari tawanya. Entah, aku merasa tidak rela.

"Ya cemburulah. Kamu kan pacarku."

"Aku seneng kalau kamu cemburu. Berarti kamu sayang sama aku."

"Aah, ngeselin! nanti jangan lupa jemput aku."

"Iya, sayang. Pasti aku jemput."

"Yaudah, aku mau ngantar Bella sekolah dulu."

"Iya, love you."

"Love you to."

Obrolan kemesraan itu pun berakhir. Eneg sekali pagiku ini, harus dengerin suami bermesraan dengan kekasihnya.

"Maaf ya, ntar gue nggak bisa temenin elo masuk ke ruang guru. Elo tau, ada hati yang harus gue jaga."

Sakit dengar kata-kata seperti itu. Bukankah yang harus dijaga itu perasaan istrinya ya?? Sebesar apa cintanya pada kekasihnya itu?? Hingga dia harus menentang hukum agama yang menduakan istri sah.

Kembali lagi ke kesepakatan kami menikah. Memang aku yang harus mengalah. Aku bukan siapa-siapa, aku lah penghalang mereka.

"Kenapa diam? Nggak mau? Lo marah?"

"Ah nggak, mas. Saya nggak papa kok. Nanti saya masuk sendiri aja." Sebisa mungkin, aku sembunyikan rasa kecewaku.

Mas Linxi mulai melajukan mobilnya. Kami hanya saling diam tanpa terlibat obrolan. Sebenarnya dari rumah tadi sudah banyak yang ingin aku tanyakan. Tapi mendengar kemesraan itu, mood ku jadi berubah.

Menempuh perjalanan kurang lebih 15 menit, mobil yang aku tumpangi memasuki gerbang tinggi sekolah yang menurutku cukup berkelas. Ini berbalik sangat jauh dengan sekolah di pesantren.

"Elo masuk sendiri ya. Jangan ngikuti gue." Dia memperingatkan lagi.

"Iya, Mas. Saya turun dulu." Aku segera melepaskan seatbealt dan turun dari dalam mobil.

Takjub. Aku takjub dengan sekolah baru ini. Sungguh mewah untuk ukuranku. Nyaliku mulai menciut. Aku masih diam berdiri disamping mobil suamiku. Cukup lama aku hanya terdiam, hingga mulai sadar ternyata mas Linxi sudah jalan sangat jauh.

Dia beneran tega ya, bahkan aku nggak tau dimana letak ruang guru nya. Ya Tuhan kenapa engkau menjodohkan aku dengan pria seperti dia. Ah tidak, aku tidak akan mengeluh.

Mulai kulangkahkan kaki, berjalan di karidor yang sepertinya ini ruang musik. Karna dari kaca jendela aku bisa melihat ada beberapa alat musik disana.

"Hey,"

Seseorang menepuk bahuku. Aku menjinkat kaget dan mundur menjauh. Dia lelaki yang ada di supermarket itu.

"Maaf bikin elo terkejut." Aksa tersenyum ramah. "Elo murid baru disini?"

"Iya, mas." Aku menundukkan kepalaku.

"Udah tau ruang gurunya?"

"Belum."

"Gue tunjukin yuk."

Cukup ngangguk dan jalan ngekorin Aksa. Melewati beberapa ruangan, baru kita sampai di ruang yang memang ber plat ruang guru.

"Nih, masuk aja." Dia ngulurin tangannya. Aku hanya menatap tangannya. "Gue Aksa. Elo siapa?"

"Maaf, mas." Aku menelakupkan kedua tangan didepan dada sambil tersenyum. Karna tak bisa menjabat tangannya.

"Saya Zeta."

"Oh," Dia mengerti. "Ok. Kalau lo perlu bantuan, lo bisa cari gue. Gue di kelas 11 IPA1."

"Iya, makasih."

**

Pukul 8.30 am

Selesai urusan data pemindahan sekolahku, Pak Lukman membawaku menuju kelas baru. Harus melewati beberapa kelas terlebih dahulu untuk sampai di kelasku.

Telingaku cukup risih mendengar sapaan beberapa cowok yang bersiul dan mencoba menggodaku. Sesuatu yang belum pernah aku alami saat di pesantren dulu.

Langkah pak Lukman terhenti di depan kelas 11 IPA1. Aku menunggu di luar kelas, dan pak Lukman sudah masuk kedalam kelas.

"Pagi semua," sapa pak Lukman pada semua siswa.

"Pagi, pak."

"Hari ini kalian mempunyai teman baru. Dia pindahan dari salah satu sekolah di Jakarta." Pak Lukman menatapku. "Ayo masuk dan perkenalkan dirimu."

Bismilahhirohmanirokhim.

Aku melangkah masuk ke kelas. Berdiri didepan kelas menatap sekitar 40 pasang mata yang menatapku. Aku melihat mas Linxi dan Aksa didalam ruangan ini.

"Assalamualaikum, teman-teman. Nama saya Arumi nasha Razeta. Saya biasa dipanggil Zeta. Semoga kita bisa berteman." Aku membungkukkan sedikit badanku.

"Waah, cantik banget."

"Beneran bidadari dari surga deh."

"Zeta udah punya cowok belum."

Suara-suara seperti itu yang aku dengar dari mulut pada lelaki didalam kelas.

"Zeta, kamu duduk di bangku kosong itu ya." perintah pak Lukman.

"Iya, pak."

Berjalan menunduk melewati beberapa teman-teman dan aku duduk di meja tengah. Tepat di samping kanan Aksa dan samping kiri mas Linxi.

"Ta, nggak nyangka satu kelas sama elo." ini mas Aska yang ngomong. Aku hanya tersenyum ke arahnya.

"Sekarang kita mulai pelajarannya. Buka Bab V ya. Zeta, kamu bisa ikutan buku Aksa atau Linxi dulu. Karna stok bukunya baru datang lagi besok senin."

"Iya, pak."

"Sini ikut buku gue aja. Sepupu elo galak, kaya' singa beranak." ucap Aksa.

Linxi yang nggak terima, melotot dan narik kursiku untuk lebih dekat dengan dia.

"Maaf ya, mas."

"Nggak papa, Ta. Ntar ke kantin bareng gue ya."

"Isyaalloh ya, mas."

"Udah nggak usah kecentilan deh. Kalo sekolah fokus belajar." Mas Linxi mulai sewot.

"Anjjir lo Lin, sama sepupu aja posesif banget." Aksa nyerocos.

"Serah!!"

Nggak aku peduliin dua lelaki yang adu mulut ini. Fokus aja ke buku dan pak Lukman yang ada didepan kelas.

**

Tet! Tet! Tet!

Setelah beberapa jam ngikuti pelajaran, bel tanda istrirahat udah bunyi.

"Hey, kenalin. Gue Sofi." Teman sekelas, dia yang duduk di meja depanku.

"Kalau gue Cici." Ini depannya Sofi.

"Kantin bareng yuk."

Aku melirik ke mas Linxi, berniat untuk minta ijin. Tapi dia melengos dan ngeloyor pergi keluar kelas.

"Ayuuk." Mereka berdua narik lenganku. Dan akhirnya ngikutin juga kekantin.

"Lo duduk aja, biar gue yang pesenin." Sofi pergi pesenin makan.

Aku dan Cici duduk di bangku yang masih kosong.

"Elo dulu sekolah dimana, Ta?" tanya Cici.

"Aku sekolah di SMA Kartini."

"Oo disana, rumah elo daerah sana ya?"

"Aku asli Jambi, aku tinggal di pesantren Darussalam."

"Hah??" Mata Cici sampai melotot saking kagetnya. "Elo anak pesantren?"

"Iya, kenapa?" Aku merasa ada yang salah sama ucapanku.

"Nggak papa sih. Nggak nyangka aja kok malah pindah ke sekolah sini?"

"Oh, kirain aku ngomongnya ada yang salah."

"Zeta, gue cariin malah udah disini." Aksa tiba-tiba duduk disebelahku. Dia menaruh semangkok bakso serta segelas es jeruk. Aku langsung menjaga jarak darinya.

"Hey, kenapa sih? gue bau ya?" Dia mendegus bajunya sendiri.

"Bukan mas, nggak gitu kok. Cuma kita kan bukan mukhrim mas. Nggak baik kalau saling berdekatan."

"Tapi lo tadi dekat banget sama Linxi."

"Udah deh Sa, nggak usah ngebacot. Gangguin orang ngobrol aja." Cici sewot.

"Emang ngobrolin apaan?"

"Elo beneran sepupuan sama si ketos Linxi?" tanya Cici lagi.

Duuhh harus bohong lagi kan. "Iya, mbak."

"Hey jangan panggil gue mbak. Gue seumuran elo. Panggil nama gue aja."

"Iya, elo juga panggil gue Aksa ya. Jangan mas. Berasa lebih tua dari elo deh."

"Iya, aku akan panggil nama kalian."

"Makanan datang ..." Sofi bawain senampan makanan buat kita bertiga.

Kami pun mulai makan. Tiba-tiba Aksa ngeluarin ponselnya dan nyerahin ke aku.

"Minta nomornya." Ucapnya.

"Aku nggak punya hape, Sa." Jawabku dengan jujur.

"Apa?" Cici dan Sofi serempak terperanjat. "Hari gini elo nggak punya hape, Ta? Elo serius??"

Aku nyengir. "Iya, aku emang nggak punya hape. Belum pernah punya."

Aksa natap aku sampai dia putar tubuhnya biar bisa ngehadap ke aku. "Elo beneran wanita idaman gue banget, Ta."

Ppllakk!

Lengan Aksa di tabok Sofi. "Gombal lo!!"

"Sakit Anjjir!" dia elus lengannya. "Nanti pulangnya gue anterin ya."

Tiba-tiba mataku bertemu dengan sepasang mata yang ternyata sedari tadi ngawasi aku. Dia mas Linxi suamiku. Ada sebersit kemarahan dari tatapan matanya.

"Nggak usah, Sa. Nanti aku bareng mas Linxi kok." tolakku dengan sopan.

"Aaiisshh, dia lagi." Aksa ngacak rambutnya.

"Eh, Ta, elo tinggal serumah sama Linxi ya?" tanya Sofi.

Aku ngangguk. "Iya kita serumah."

"Kalau dirumah dia pendiam gitu nggak?" Cici yang nanya.

"Sama aja sih."

Tet! Tet! Tet!

Bel tanda istirahat usai udah bunyi. Segera aku beranjak untuk bayar makanan. Tapi tanganku ditarik Aksa dengan tiba-tiba. Dan itu buat aku sangat terkejut.

"Astagfirlloh, Sa, tolong jangan menyentuhku tanpa ijin ya." Aku sangat terkejut. Dan itu bikin kedua teman baruku kaget.

"Ah, maaf. Maafin gue ya, gue lupa." Aksa keliatan nyesal.

"Iya lo, jangan gitu dong, sa." Ucap Cici.

"Maaf ya teman-teman. Aku nggak biasa bersentuhan dengan lawan jenis. Maafin aku ya. Mungkin kesan pertama kalian, aku ini naif baget. Tapi sungguh aku merasa aneh jika bersentuhan dengan lawan jenis." jelasku dengan sangat tulus meminta maaf.

"Iya, Ta, kita ngerti kok. Anak pesantren kan emang gitu semua. Maafin Aksa ya. Dia emang suka nlonyor gitu. Dia rese orangnya. Tapi asli, dia ketua kelas yang baik kok." Ucap Cici.

"Makasih ya udah mau ngertiin."

"Yaudah yuk, kita balik ke kelas."

**

"Pulang bareng yuk, Ta." ajak Aksa.

"Aku ...."

Belum selesai ngomong, Mas Linxi udah narik tanganku lebih dulu. Terpaksa aku mengikuti langkah kakinya.

"Wooii, Bangsad lo!!" Aksa ngumpat keras.

"Mas, sakit." Aku alus lenganku yang dia tarik sampai ke parkiran.

"Cepet masuk." Perintahnya, aku tau ada kekesalan dari tatapan matanya.

Segera aku masuk kedalam mobil. Dia pun masuk dan mobil segera melaju.

"Udah gue bilang kan, nggak usah deket-deket sama Aksa. Ngeyel banget sih!"

"Aku kan Cuma ...."

"Gue ini suami elo, hargai dong, Ta."

Gimana sih, bukannya dia kemarin ngomong nggak akan peduli sama urusanku ya? sekarang dia kenapa? Apa dia cemburu ya?

"Temenan sama temen cewek kan bisa, nggak harus cowok. Gue nggak suka lo temenan sama Aksa."

"Iya, mas, maafin aku ya."

"Besok jangan ulangi lagi."

"Iya,"

Ada sebercik senyum bahagia didalam hatiku. Sangat nggak nyangka jika mas Linxi peduli padaku. Aku berharap, ini awal yang baik.

Ddrrtt ... Ddrrt ....

Hape mas Linxi getar, sebuah panggilan masuk dari kekasihnya.

"Hallo, sayang."

Huuff ... nendadak nafasku terasa sesak. Mendengar suamiku berkata mesra dengan kekasihnya itu.

"Kamu kan pulangnya masih lama, sayang,"

"............."

Aku sangat malas untuk menguping. Aku menatap keluar jendela, hari ini agak gerimis.

"Yaudah aku kesana sekarang."

".........."

"Iya aku ajak Zeta sekalian."

Aku mulai menguping karna dia sudah menyebut namaku.

"Kamu kesini sendiri dong. Zeta kan bisa naik ojol." suara si wanita itu.

"Iya, iya, yaudah tunggu aku ya."

"Ok. love you."

"Love you to."

Aku mulai natap mas Linxi. Aku sudah tau apa yang akan dia katakan.

"Nggak perlu, mas. Turunkan aku di halte depan. Aku akan nunggu bus disana."

Linxi natap aku, ada tatapan yang entah apa itu. Tapi aku tak pedulikan itu lagi. Hatiku sudah bergemuruh.

"Maafin aku ya, Ta. Aku tungguin sampai kamu dapat angkot."

Aku mulai membuka pintu. "Nggak perlu, mas. Pergilah, ada hati yang harus kamu jaga." Sengaja, aku mengulangi kata-kata yang tadi pagi dia ucapkan. Lalu kututup pintu mobil.

Mobil mas Linxi pun pergi meninggalkan aku. Nggak pernah nyangka, aku akan ditelantarkan dipinggir jalan seperti ini. Lelaki macam apa dia??!! Lebih mementingkan wanita itu dari pada istri sahnya. Aahh, cinta, iya dia mencintainya.

Aku duduk tertunduk menahan isak tangis di halte bus. Tak akan aku biarkan tangisku pecah disini. Ini bukan apa-apa, melalui beberapa tahun hidup tanpa kedua orangtua saja aku bisa tegar. Masa' hanya begini aku cengeng sih??

"Ta, masuk yuk."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel