bab 7
Seusai ijab qobul, Zeta mengurung dirinya dikamar. Dia belum beminat untuk membuka kamar. Kebetulan teman yang sekamar dengannya sedang pulang kampung, jadi dia hanya sendirian.
Menangis sejadi-jadinya duduk dilantai bersandar tepi ranjang. Dia tidak menyesal, tapi hatinya terasa sakit saat harus merelakan cintanya kandas begitu saja.
Sudah lama dia menyimpan perasaan pada Muhammad Fataid Fauzan. Anak sulung Kyai Yusuf yang biasa dipanggil gus Fata. Saat ini gus Fata baru menempuh pendidikan S1 nya di universitas swasta Jakarta. Rencananya, setelah selesai S1, mereka berdua akan taaruf untuk lebih mendekatkan diri lagi. Tapi apalah daya. Manusia hanya bisa merencanakannya. Dan kini memang semua hanya rencana saja.
Dengan hati yang terasa sangat perih, dia harus melepaskan mimpinya untuk bersanding dengan gus Fata, orang yang sudah berumah dihatinya. Menangis sekencang-kencangnya pun tak akan membalikkan keadaan.
Nyai Yanti masuk ke kamar Zeta, dia meraih tubuh Zeta dan mengajaknya duduk ditepi ranjang. Mengelus kepala Zeta dengan lembut.
"Nduk, sudah jangan ditangisi. Sekarang nak Linxi sudah resmi menjadi suamimu. Kamu harus mengabdi padanya, dia imammu sekarang.
Apa kamu masih menangisi kisahmu dengan Fata?"
Zeta hanya mengangguk dengan masih terisak. "Maafkan saya ummi. Maafkan saya sudah mengecewakan Ummi."
Nyai Yanti melepaskan pelukannya. Mengusap pipi Zeta yang basah. "Kamu nggak salah nduk. Alloh sudah menggariskan semuanya begini. Jika kamu dan Fata memang berjodoh, pasti akan ada jalan untuk mempertemukan kalian nantinya. Ikhlaskan semuanya ya. Belajarlah mencintai suamimu seperti kamu mencintai Fata, insyaalloh hidupmu akan bahagia, sayang."
Ummi, seandainya engkau tau, dia hanya memanfaatkanku saja. Batin Zeta dengan tangisnya.
"Iya ummi saya akan berusaha."
"Keluarlah sebentar. Fata ingin bicara padamu."
"Tapi Ummi,"
"Temuilah dia, nduk, sebelum kamu pergi dari sini." Nyai Yanti mengelus punggung Zeta.
Akhirnya zeta hanya bisa mengangguk pasrah. Dia mengusap mata yang masih basah. Lalu membenarkan jilbabnya yang berantakan. Baru dia keluar dari kamarnya. Dia pergi menuju rumah utama kyai Yusuf.
Fata sudah duduk di samping rumah, didepan kolam. Seorang lelaki yang kalem tapi tegas, wajahnya yang menawan ada sedikit kumisnya. Lelaki yang selama ini mengisi hati Zeta.
"Assalamu'alaikum," sapa Zeta.
Fata menatap kearah datangnya suara. "Wa'alaikumssalam." jawabnya kemudian.
"Ada apa, gus?"
Mereka terdiam cukup lama. Metatap ikan-ikan yang berenang didalam air. Sama-sama diam dengan hatinya yang sakit.
"Zeta," Fata menatap Zeta. "Aku tak menyangka kisah kita akan berakhir seperti ini. Aku tak bisa lagi mengharapkanmu. Karna haram jika aku merindukan wanita yang sudah menjadi milik lelaki lain.
Hatiku saat ini memang sangat sakit, Ta, tapi diirisan hatiku, ini masih tetap namamu. Aku akan berusaha untuk mengikhlaskanmu. Aku akan menyebutmu di dalam doa terakhirku.”
Zeta menangis sesenggukan mendengar penuturan Fata. Diapun merasakan kesedihan yang sama.
"Zeta, jangan lagi menangisi kisah kita, karna mulai saat ini ada hati yang harus kamu jaga. Semoga kamu bahagia. Assalamualaikum." Gus Fata pergi meninggalkan Zeta yang masih tertunduk dengan tangisnya.
Ya Tuhan, yang maha nengetahui segalanya, yang mampu membolak-balikkan hati. Tolong hilangkan perasaan cinta dan sayang ini. Ini terlalu sakit. Sangat sakit. hiks hiks hiks
Entah berapa lama Zeta duduk menangis disana. Linxi hanya berdiri dibelakangnya, bukan menikmati pemandangan. Tapi dia merasa kasihan pada kisah Zeta.
"Astagfirlloh 'alazim," Zeta menjingkat kaget saat melihat suaminya berdiri di belakangnya. "Sejak kapan mas Linxi berdiri disini?"
"Ayo pulang." Ajaknya, lalu ngeloyor lebih dulu. Seperti tak peduli, cuek atau apalah.
Zeta mengekorinya, mereka berjalan menuju kamar santri wati. Linxi berhenti tepat di depan gerbang kamar.
"Ambil barang elo. Taxi nya udah didepan."
"Iya, mas." Zeta segera masuk ke kamarnya. Berpamitan pada teman-teman dan keluar kamar.
"Sini gue bawain." Linxi meraih koper silver milik Zeta. "Kita pamit sama Kyai Yusuf dulu."
Setelah berpamitan pada Kyai Yusuf dan Nyai Yanti mereka segera meninggalkan pesantren. Tapi sudah tak terlihat gus Fata disana. Mungkin dia sengaja menghindari Zeta. Tapi itu lebih baik.
**
Awal yang baru bagi Zeta, taxi berhenti tepat di homestay milik Linxi. Sederhana, itu kesan pertamanya. karna memang homestay ini bukan bangunan bertingkat. Hanya bangunan yang terlihat alami tapi cukup berkelas. Tidak terlalu besar, tapi ruangannya lengkap.
Di dalamnya ada dua kamar tidur, dua kamar mandi, dapur, ruang tamu, ruang tv, ruang makan dan ruang kerja. Hanya itu. Simple lah, karna Linxi memang orang yang tak terlalu rumit. Hanya kisah cinta nya saja yang rumit.
"Itu kamar lo, dan yang itu kamar gue. Selebihnya lo liat-liat sendiri. Gue harus kelarin kerjaan bentar." Linxi ngeloyor pergi memasuki ruang kerjanya.
Zeta pun masuk ke kamarnya. Sebuah ruangan yang tentunya lebih besar dari kamarnya yang ada dipesantren. Kasurnya empuk, lemarinya gede, ada meja riasnya dan kamar mandi dalam. Selesai menata pakaiannya, dia keluar dan mulai menyusuri setiap ruangan di rumah barunya.
Dia membuka kulkas dan mulai memasak. Dia memasak seperti menu yang biasa dia sajikan di pesantren. Ya karna memang dari umur 10 tahun, dia sudah tinggal di pesantren. Menjadi salah satu santri wati disana, lebih tepatnya anak angkat kyai Yusuf dan Nyai Yanti.
Zeta ini anaknya adiknya adik dari suami Nyai Yanti. Kedua orang tuanya meninggal karna kecelakaan. Pesawat yang mereka tumpangi hilang kendali dan jatuh. Dan pada saat itu, Zeta mulai tinggal di pesantren. Beruntung karna disana mempunyai banyak teman dan banyak orang yang menyayanginya.
Setelah makanannya sudah siap, dia pergi memanggil suaminya untuk makan.
Tok! Tok! Tok!
Zeta mengetuk pintu ruang kerja Linxi.
"Mas, saya udah masak. Mau makan sekarang atau nanti?" Zeta berbicara diluar pintu.
Diam. Tak ada sahutan dari dalam. Tapi terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. Pintu ruangan terbuka, terlihat Linxi yang masih menggunakan kaca mata beningnya. Dia memang selalu memakai kaca mata saat bergelayut dengan laptop.
"Ayo makan dulu. Lo pasti juga udah lapar, kan?" Linxi menutup pintunya dan melepas kaca mata.
Zeta sempat terkagum dengan ciptaan Tuhan yang terlihat begitu sempurna ini. Dia segera mengikuti langkah suaminya menuju meja makan. Mengambilkan makanan untuk suaminya.
Linxi menatap makanan di piringnya dengan heran. "Ini makanan apa?"
"Ini namanya nasi uduk, mas. Ini ayam nya saya masak pakai bumbu ingkung. Saya tau pasti mas belum pernah makan menu seperti ini. Tapi ini enak lho, coba dikit ya." Zeta duduk di sebelah suaminya. Memperhatikan suaminya yang hendak memasukkan sesendok makanan kedalam mulut.
Pelan Linxi mengunyah makanannya. "Ini enak, Ta. Besok bikin gini lagi nggak papa. Gue suka." Linxi tersenyum manis. "Elo kok nggak makan?"
"Ini baru mau makan kok."
"Elo udah lama ya pacaran sama lelaki itu?" tanya Linxi di sela makannya.
"Maksudnya, gus Fata?"
"Nggak tau namanya. Yang tadi ngomong sama elo itu."
"Dia anaknya kyai Yusuf, mas. Kita tidak pacaran. Rencana memang kita akan ta’aruf setelah saya lulus sekolah. Tapi itu rencana. Karna akhirnya saya sudah bersuami di usia dini." Zeta menghembuskan nafas panjangnya beberapa kali. Terlihat sangat sesak untuk bernafas.
"Gue nggak akan minta maaf. Gue disini korban. Karna emang gue nggak salah. Elo gue bebasin. walau kita udah nikah, lo bebas berhubungan sama dia. Karna gue juga gitu." ucap Linxi dengan sangat santuy.
Zeta menatap Linxi dengan tajam. "Terima kasih, mas. Tapi saya tidak seperti itu. Sekarang saya adalah wanita yang sudah bersuami. Saya akan menjaga ikatan kita sesuai dalam agama yang saya tau."
"Serah elo deh. Tapi jangan pernah ikut campur urusan gue. Gue juga nggak mau tau urusan elo." Linxi kembali habisin makanannya.
Setelah mereka selesai makan malam, Linxi duduk santai di sofa ruang tv. Zeta kembali ke kamar setelah selesai memberesi dapur. Baru keluar setelah selesai membersihkan diri. Dia mendekati suaminya.
"Mas, saya mau keluar sebentar."
Linxi mendongakkan kepalanya, dia menatap Zeta dengan heran. Ada tatapan kagum disana. Malam ini Zeta sangat cantik, dia memakai gamis warna abu-abu dan jilbab polos berwarna putih tulang. Ada tas yang tersampir di bahunya.
"Boleh, mas?" pertanyaan yang membangunkan Linxi dari ke-terbengongannya.
"Elo mau pergi kemana?"
"Mau ke toko, mas. Mau membeli sesuatu yang sangat penting."
"Ayo gue anter."
**
"Mas Linxi tunggu dimobil aja nggak papa kok. Saya bisa masuk sendiri."
Saat ini mereka sudah sampai di depan sepermarket paling dekat dengan homestay tempat tinggal mereka.
"Nih." Linxi menyerahkan kartu debit pada Zeta. Zeta masih diam melihat kartu itu. "Ini buat kebutuhan elo. Pegang aja."
"Makasih, mas. Tapi apa nggak sebaiknya mas kasih saya uang secukupnya aja."
"Gue percaya sama elo. Nih bawa aja. pinnya 222223"
Zeta menerima kartu debit itu. "Makasih, mas. Saya akan menjaganya dan menggunakannya jika memang perlu."
Linxi tersenyum mendengarkan penuturan Zeta. Biarinlah dipegang dia, buat apa gue pegang. Gue juga nggak akan bisa gunain duitnya. batinnya.
Zeta pun keluar dari mobil dan masuk kedalam supermarket itu. Dia membeli beberapa bahan makanan dan camilan. Tak lupa tujuan terpentingnya, yaitu pembalut.
Selesai dipembayaran, dia kewalahan membawa barang belanjaannya. Hingga ada seorang lelaki yang menghampirinya pas didepan pintu keluar.
"Saya bantu bawa." Tawar lelaki itu dengan sopan. Lelaki yang seumuran dengannya.
"Nggak usah, mas. Makasih." tolak Zeta.
"Tapi kamu keliatan kewalahan gitu."
"Mana biar gue yang bawa." Linxi menyerobot sekantong kresek gede ditangan kanan Zeta. Zeta pun terkejut melihat Linxi yang tiba-tiba ada di sampingnya.
"Lin, elo kenal dia?" tanya si lelaki tadi.
"Iya, dia sepupu gue." Jawab Linxi enteng. "Ayo balik."
"Saya permisi ya mas." Zeta membungkukkan sedikit badannya pada si lelaki dan berlalu pergi.
"Gue cabut dulu ya." Pamit Linxi pada si lelaki itu.
**
"Jangan terlalu dekat sama orang baru." Nasehat Linxi saat mereka sudah sampai dirumah.
Zeta sibuk memasukkan bahan-bahan didalam kulkas.
"Maksud mas, lelaki yang tadi?"
"Iya, dia Aksa teman sekelas gue. Besok juga elo akan gue masukin satu kelas sama gue. Jangan terlalu dekat sama dia. Dia bukan cowok baik-baik."
"Terus, saya harus dekat dengan siapa, mas?" Zeta jalan dekati Linxi.
"Ya siapa aja, asal jangan dia."
"Oh, baiklah. Saya mau tidur dulu ya mas. Selamat malam. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Zeta beranjak dan masuk ke kamarnya. Linxi menatap punggung wanita yang sudah sah menjadi istrinya itu hingga pintu kamar tertutup rapat. Berdekatan dengannya ada rasa yang aneh. Tapi, entahlah apa itu.