bab 6
"Pa, aku siap nikahi Zeta." ucapku mengawali pagi yang lumayan cerah.
Saat ini kami bertiga sedang sarapan di rumah. iya hanya bertiga karna Lira sudah pindah kerumah suaminya.
"Kamu serius, Lin?" tanya papa yang sepertinya tak percaya.
"Serius pa. Tapi setelah nikah aku mau tinggal sama dia di homestay milikku. Aku nggak mau tinggal disini." Aku mulai menyendok nasi kemulutku.
"Alkhamdulilah, Pa," ucap syukur mama dengan senyum manisnya.
"Itu terserah kamu, Lin. Tapi kamu harus tau, tanggung jawab seorang suami itu berat, Lin." Papa mulai nasehati.
"Iya pa, aku tau. Aku juga kerja dikantornya Mama."
"Bukan hanya materi saja, Lin. Kamu harus jaga Zeta. Dia itu anak yatim piatu. Dari kecil dia sudah ditinggalkan orang tuanya. Kamu harus bisa menyayangi, mencintai dan menjaganya dengan baik. Jangan membuatnya menangis."
"Iya, Pa. Aku akan berusaha." Cukup santuy untuk menjawabnya. Yang terpenting aku bisa bebas.
"Nanti kamu ijin sekalian sama pak guru. Besok nggak usah masuk." ucap Papa.
"Iya, Pa."
**
Sepulang sekolah, aku mampir ke pesantren untuk mengatakan niatku. Terutama, aku ingin berbicara berdua dengan Zeta. Beruntung Kyai Yusuf memberiku ijin untuk bicara pada Zeta.
Kami ngobrol berdua di taman depan kolam. Tepatnya di samping rumah Kyai Yusuf.
"Gue akan nikahi elo. Tapi ini hanya sebuah ikatan saja." ucapku.
"Makasih, mas." dia berucap tanpa menatapku.
"Gue udah punya pacar, jadi elo jangan pernah larang gue berbuat apapun. Karna pernikahan kita hanya sebatas ikatan aja."
Terlihat dia hembuskan nafas panjangnya berkali-kali. "Jika begitu, saya juga punya syarat mas. Selama kita menikah, tolong jangan pernah campuri urusan pribadi saya. Dan jangan pernah menyentuh saya tanpa ijin."
Aku menyunggingkan bibir atasku. "Tentu. Karna itu nggak penting buat gue."
"Syukurlah."
"Elo nggak mau bilang makasih? Gue udah nolongin elo, udah bayarin biaya rumah sakit, dan sekarang gue juga harus nikahin elo. Elo pernah mikirin dimana letak salah gue nggak sih?"
"Maafkan saya, mas. Memang seharusnya anda tidak menolong saya." Dia mengusap kasar pipinya.
"Udah, nggak perlu nangis. Setelah kita nikah, elo masih bisa tetap nerusin sekolah. Gue akan biayain sekolah elo."
"Benarkah begitu?" Dia mulai menatapku. Bahkan dia tersenyum sangat manis. Ini pertama kali aku melihat senyumannya.
"Iya."
"Bagaimana dengan status kita?"
"Itu akan jadi rahasia kita."
"Makasih, mas."
"Elo juga harus rahasiain hubungan gue sama pacar gue."
"Baik, mas."
**
pov author
Gerbang besar pondok pesantren Darussalam terbuka sangat lebar setelah melihat dua mobil mewah milik keluarga Paulan. mobil warna putih dan silver itu melesat dan terparkir manis di depan mushola pondok. Di mushola sudah banyak para santri yang berkumpul untuk menjadi saksi ikrar ijab qobul Linxi dan Zeta.
"Mari silahkan, Tuan," Dengan sangat sopan dan ramah mereka menyambut orang terpandang se Indonesia ini.
Tak jarang ada yang mengabadikan foto juga. Karna ini pertama kali pondok pesantren kedatangan tamu yang terpandang.
Nggiinggg!!
Tes! Tes! Tes!
Suara microphone yang sedang di coba oleh salah satu santri. Microphone yang akan digunakan untuk ijab qobul Kyai Yusuf dan Linxi.
Hari ini Linxi menggunakan baju koko dan sarung maroon, rambutnya yang selalu staylist sekarang sudah tertutup songkok bewarna hitam. Sudah dari sananya tampan, menggunakan apapun, dia tetap terlihat mempesona.
Kyai Yusuf yang akan menjadi wali Zeta dan menikahkan Zeta sudah duduk bersila dihadapan Linxi. Khaisar Re duduk disebelah kanan Linxi, dan disebelah kiri ada Tuan Drak Paulan. Oppa dan para warga terdekat duduk melingkar bersama santri yang lainnya.
Sedangkan Fhika, grandma dan Omma berada di ruang utama rumah Kyai Yusuf bersama Nyai Yanti, istri Kyai yusuf. Mereka menemani Zeta disana.
"Nak Linxi sudah siap?" tanya Kyai Yusuf.
"Siap, Kyai." jawab Linxi dengan mantap.
Kyai Yusuf menjabat tangan Linxi dengan erat. Seketika rasa percaya diri Linxi runtuh. Tiba-tiba tubuhnya terasa bergetar. jantungnya pun berdetak lebih cepat dari biasanya. kata-kata yang dari tadi dia hafalkan tiba-tiba lupa. Namun dia beberapa kali menarik nafasnya untuk mengingat kembali kata-kata ijab qobul.
"Khalinxi Ran Paulan!"
Suara nyaring keluar dari pengeras suara yang ada di mushola. Menggema keseluruh pesantren. Membuat jantung Zeta bergemuruh tak karuan.
"Saya!"
"Saya nikah dan kawinkan engkau dengan putriku yang bernama Arumi Nasha Razeta binti Arman dengan maskawin cincin 10 gram dan uang senilai 1 milyar dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Arumi Nasha Razeta binti Arman dengan maskawin tersebut dibayar tunai." dengan sekali tarikan, Linxi berhasil mengucapkannya.
"SAH!"
Seruan dari para jamaah menjadikan Zeta istri sah Linxi. Seketika tangis Zeta pecah, Nyai Yanti segera memeluk anak didiknya. Dia merasakan kepedihan Zeta yang teramat. Karna dia harus menikah dengan keadaan yang seperti ini.
"Alkhamdulilahirobil'alamin." seru semua yang mendengarkannya.
"Nak Linxi," seru kyai Yusuf.
"Iya, pak Kyai."
"Sekarang saya pasrahkan sepenuhnya Zeta padamu, nak. Di sini, kami memberinya ilmu agama semaksimal yang kami bisa. Saya juga mendidiknya dengan penuh kehati-hatian. Jika kamu tak berkenan atas kekurangannya, ingatkan dia dengan cara yang baik. Tolong jangan sakiti dia.
Dia adalah seorang anak yang selalu patuh pada orangtuanya, yaitu saya dan istri saya. Jika kamu mampu menjadi imam yang baik untuknya, tentu dia juga akan mengabdi padamu.
Saya titipkan Zeta santri kesayangan kami padamu, nak. Tolong jagalah dia seperti kami menjaganya, sayangilah dia seperti kami menyayanginya dan rawatlah dia seperti kami merawatnya. Tolong jangan sakiti dia. Dari kecil hidupnya sudah sangat menderita.
Saya tau, nak Linxi masih sekolah juga. Tapi nak Linxi adalah lelaki yang bertanggung jawab. Saya percaya kamu bisa membahagiakan Zeta."
Beberapa wejangan telah Kyai berikan pada Linxi. Bahkan seluruh keluarga paulan pun mendengarkannya. Itu akan menjadi beban yang sangat berat untuk Linxi kelak.
Re berkali-kali menekan ujung mata. Dia tak memikirkan beban berat seperti yang telah dikatakan Kyai Yusuf. Re mikir santai seperti dia dulu. Tak menyangka kyai Yusuf mengucapkan semuanya. Membuat hatinya sangat trenyuh.
"Isyaalloh, Pak Kyai, saya akan menjaga, menyayangi dan merawat Zeta semampu saya. Sayaakan berusaha agar tidak menyakitinya." jawab Linxi dengan mantap. Bahkan tanpa beban. Grandpa merangkul pundak Linxi dan mengelus lengannya. Terlihat sebuah kebanggaan dari tatapan matanya.
"Alkhamdulilah jika begitu, nak. Saya sangat lega mendengarnya." Kyai Yusuf mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.