bab 5
"Maaf mas, bisakah ikut saya kedalam? untuk menjelaskan pada pak Kyai apa yang sudah terjadi." pintanya.
Zeta hanya menunduk sedari tadi sambil menggigit bibir bawahnya. Aku sendiri tak tau apa yang akan terjadi setelah ini.
"ok."
"Zeta, berpakaianlah yang rapi dan nyusul ke mushala." perintahnya pada Zeta.
"Baik, kang." Zeta berjalan meninggalkanku dan lelaki ini.
"Mari, mas, ikut saya."
Aku mengekorinya hingga kami sampai di sebuah mushola kecil. Baru kali ini aku masuk kepondok pesantren. Suasananya adem, sejuk karna banyak tanaman yang sanggat terawat.
Ddrrtt ... Ddrrtt ....
ponselku kembali bergetar, sebuah pamggilan masuk dari papa.
"Saya mau angkat telfon sebentar, mas."
"Silahkan, mas. Pak Kyai juga belum datang kok."
Aku pergi keluar mushola. "Hallo, Pa."
"............"
"Kaya'nya aku dalam masalah, Pa."
"............."
"Aku dipondok pesntren Darussalam, Pa. Tolong kemari."
".............."
"Kemari dulu, Pa. Nanti akan aku jelaskan."
".........."
Telfon aku akhiri. Sengaja menyuruh papa datang. Karna aku yakin, hal buruk akan terjadi padaku.
Aku kembali masuk kedalam mushola. Disana sudah ada pak kyai. Aku menyalaminya dan duduk bersila. Sangat malu, saat ini aku hanya memakai kaos lengan pendek dan celana pendek dibawah lutut saja. Tiga orang lelaki disampingku, mereka memakai baju koko dan sarung. ya jelas harus begitu. mereka ini kan santri.
Tak begitu lama, Zeta datang bersama dua wanita yang sepertinya adalah seniornya. Dia duduk di ruangan yang berbeda.
"Jadi ini ada apa, Lim?" pak Kyai bertanya pada lelaki yang tadi bembuka gerbang. Namanya Salim.
"Begini pak Kyai, Zeta baru saja pulang tepat jam 11 malam tadi. Dia pulang tanpa memakai hijabnya. Dan diantar oleh lelaki ini." jelas Salim.
Pak Kyai menatapku. "Mas, namanya siapa?"
"Saya Linxi."
"Nak Linxi, benarkah yang dikatakan Salim?" tanya pak Kyai kemudian.
"Saya akan menjelaskan nanti, sebentar lagi papa saya datang." jawabku.
"Oh, baiklah."
Kami semua sama-sama terdiam menunggu kedatangan papa. Seorang lelaki yang duduk disamping Salim berkali-kali menatapku. Tatapan yang jelas tak menyukaiku. Tapi, biarlah. Aku tak ada urusan dengannya.
"Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikum salam," serempak semua menjawab.
Aku melihat papa datang sama grandpa. Pak Kyai dan yang lainnya langsung berdiri dan menjabat tangan grandpa dan papa.
Hingga semua kembali duduk bersila. Grandpa duduk tepat disampingku.
"Ini ada apa, pak Kyai?" grandpa yang tanya.
"Maaf tuan Paul, jika saya boleh tau, apa hubungan tuan dan nak Linxi ini?" tanya pak Kyai.
"Linxi ini cucu lelaki saya satu-satunya."
Jawaban dari grandpa mampu membuat seisi ruangan membulatkan matanya. Bahkan pak Kyai pun sampai membuka sedikit mulutnya.
"Apa cucu saya membuat masalah disini?" lanjut grandpa.
"Ah, tidak tuan."
"Linxi nggak ada masalah grandpa. Linxi cuma nolongin gadis dipinggir jalan yang hampir diperkosa. Gadis itu pingsan. Dan linxi bawa ke rumah sakit. karna linxi nggak tau dia tinggal dimana. Linxi bawa pulang saat gadis itu udah sadar. Cuma gitu." jelasku.
"Tapi Zeta pulang tanpa menggunakan hijabnya pak Kyai." ini Salim yang ngomong.
"pas aku temuin dia, dia bukan hanya nggak pakai hijab mas. Dia malah udah nggak pakai baju dan hampir nggak pakai rok juga. Untungnya aku datang tepat waktu. Jadi dia belum dijamah sama dua preman itu." aku tau, si Salim ini curiganya sama aku. "Makanya dia pulang pakai jaketku. Karna bajunya udah sobek."
"Lin, kamu yang pakaikan baju ke Zeta?" tanya papa.
"Iya, Pa. Ya dia kan pingsan, Pa. Masa' aku harus bawa dia sampai rumah sakit dulu, baru nyuruh orang pakaikan jaket. Sama aja aku selama perjalanan liat tubuhnya terus. Salahku dimana sih?"
"Kamu nggak salah, Lin." Grandpa memegang bahuku.
"Saya tau, pak Kyai minta Linxi untuk tanggung jawab kan?"
"Permintaan seperti itu terlalu berlebihan jika meminta pada tuan Paulan. Tapi seperti yang Tuan dengar. Memang seharusnya begitu Tuan."
"Tanggung jawab gimana sih Grandpa? Linxi kan cuma nyentuh tangan dan bahunya. Linxi emang liat badannya. Tapi Linxi nggak ngapa-ngapain." ini aku semakin curiga, sepertinya mereka akan menyudutkanku.
"Gimana, Re? Apa kamu siap jika Linxi menikah malam ini juga?" Grandpa ngomong sama papa.
"Apa?" Aku teriak saking terkejutnya. "Menikah?"
"Iya Lin, kamu harus menikahinya."
"Nggak mau pa!! Linxi kan cuma nolongin. kenapa harus nikahin?" aku melai nge gas. Emosi banget rasanya. Dadaku mulai bergemuruh. Aku cuma mau nikah sama mbak Citra. Nggak mau sama yang lainnya.
"Linxi, dengerin papa. Disini hanya kamu yang ada di TKP."
"Tau gitu, tadi nggak usah ditolongin aja. Biarin gadis itu diperkosa!!!" tanpa rasa canggung lagi, aku beranjak dan keluar dari mushola itu.
"Linxi!" Teriak grandpa.
Tak kuhiraukan lagi teriakan itu. Aku terus berjalan menuju mobilku. Langsung gas pulang kerumah. Ngedumel dalam hati selama perjalanan. Baru kali ini aku merasa sangat menyesal menolong seseorang.
"harusnya emang gue nggak usah tolongin dia. Shiit!! Menolong membawa bencana!! Sial!!" berkali-kali aku mengumpat. Sangat kesal.
**
Untuk pertama kalinya aku bolos sekolah. Siang ini aku pergi ke caffe untuk bertemu mbak Citra. Pas di jam makan siang, mbak Citra langsung keluar dan masuk ke mobilku.
Aku langsung memeluknya. Menceritakan tentang semua yang kualami padanya. Kami mencari solusi bersama.
"Aku nggak mau nikah sama dia mbak. Aku cuma cinta sama kamu. Aku maunya nikah sama kamu." ucapku beberapa kali.
"Ran, coba kamu pikir ya. Setelah kamu menikah, kita akan lebih bebas."
"Bebas gimana sih, mbak?" aku mengeryitkan keningku.
"Keluargamu nggak akan curiga lagi sama hubungan kita. kamu ajak dia tinggal di homestay. Jangan tinggal dirumah mama Fhika. Jadi aku bisa kapanpun berkunjung. Buatlah perjanjian dengan dia."
Aku mulai berfikir. "Perjanjian apa mbak?"
"Katakan tentang kita Ran. Katakan semua padanya. Agar dia tau jika kamu menikahinya karna dorongan keluarga dan pak Kyai."
"Apa dia mau, mbak?"
"Aku yakin dia bersedia, Ran." mbak Citra menyentuh pipiku.
"Baiklah, aku akan melakukannya."
Mbak Citra tersenyum senang. "Sekarang makan dulu ya." Dia mulai membuka lunch box yang dia bawa dari caffe tadi.
"Suapin ya, mbak." ucapku manja.
"Iiisshh, manjanya." Diapun mulai menyuapiku.
Seneng banget bisa mesraan gini sama mbak Citra. Entah kapan kita bisa mewujudkan mimpi untuk hidup bersama. Tinggal dalam satu atap, saling berbagi setiap waktu dan memiliki anak dengannya. Itulah mimpi kami berdua. Aku sangat mencintainya.