bab 4
Dua hari berlalu, aku nggak ketemu mbak Citra. Karna papa dirumah, jadi nggak akan bisa bebas ketemu dia.
Sejak keluargaku mengetahui hubungan kami, mereka semua menentangnya. Terutama Grandpa dan Omma.
Kalian tahu lah, aku adalah cucu keluarga paulan. keluarga terpandang se Indonesia, hampir 70% pekerja di negara ini bekerja di perusahaannya grandpa.
Sebenarnya tidak akan apa-apa jika Mbak Citra bukan anak dari pembantu. Tapi entahlah, alasan yang lebih tepatnya pun aku tak tau. Yang aku tau, mereka sengaja merencanakan agar mbak Citra menikah dengan mas Rami.
Mulai dari Bik Ina yang sakit dan terbelit hutang dengan keluarga mas Rami sampai akhirnya bik Ina meninggal.
Sebagai kekasihnya, tentu ingin sekali membantunya. Tapi, aku bisa apa? Aku memang bekerja membantu mama di kantor. Aku di beri gaji, tapi aku tak akan bisa menggunakan gaji itu sesukaku.
Hingga harus kuterima kenyataan terpahit ini. Harusku relakan orang yang sangat aku cintai bersanding dengan yang lain. Sakit ... sakit sekali. Mbak Citra pun merasakan sakit yang sama. Dia menangis sepanjang acara.
Sesuatu yang masih mbak Citra jaga sampai saat ini. Dia masih perawan, dia hanya akan tidur denganku. Dia tidak akan menyerahkan mahkotanya pada pria lain selain padaku. Karna akulah orang yang sangat dia cintai. Bukan suaminya yang penyakitan itu. Tapi, sampai saat ini, aku belum pernah menidurinya. Sejauh ini hanya sekedar ciuman dan menyentuh bagian atasnya saja.
Pukul 5.00 pm
Aku sudah stay didepan caffe. Nungguin tercintaku selesai kerja. Sekitar 10 menit menunggu, aku mulai melihatnya berjalan keluar dengan tas selempangnya. Dia tersenyum saat melihat mobilku sudah ada di pinggiran jalan.
"Udah lama Ran?" tanyanya saat sudah masuk ke dalam mobil. Dia langsung memasang seatbelt.
"Belum kok. Tadi ada rapat osis lagi." Aku segera jalanin mobil. "Maaf ya, beberapa hari nggak bisa jemput."
"It's ok. Maaf juga nggak bisa hadir di akad nikah nya Lira."
Aku tersenyum. "Nggak nyangka, dia yang manja itu udah bersuami."
"Kamu nggak pengen?"
"Aku pengen kawinnya aja lah." mbak Citra cubit pinggangku. "Aduuhh ... saki,t mbak."
"Ngomongnya mesum gitu."
"Ya bener kok. Kalo pengen nikah juga mau nikah sama siapa? Emang boleh kalo aku nikah?" kutatap dia sesaat.
"Nggak boleh!" dianya manyun, bikin gemes.
"Kenapa nggak boleh?"
"Nikahnya besok sama aku aja."
"Yakin mas Rami mau ceraiin kamu?"
"Demi aku dan kamu, biar jadi 'kita'. Harus selalu yakin."
"Aku seneng kamu mau berjuang untuk kita."
Lama kita berbincang. Aku berhenti di homestay milikku. Kami keluar bersama, jalan sambil rangkulan dan masuk kedalam rumah. Seperti biasa, aku langsung masuk kekamar untuk mandi, ganti baju dan keluar. Mbak Citra masih didepan kompor bikinin aku makanan.
Aku dekati dia, dia udah senyum melirikku. Aku memeluknya dari belakang. Merasakan kehangatan tubuhnya.
"Sekarang bikin apa?"
"Ini aku bikinin omellet sayur. Udah lama aku nggak masakin kamu sayuran."
"Iya sih dirumah, mama juga jarang masak sayur." Aku lepasin pelukanku dan duduk di meja makan.
"Makan dulu ya. Aku mau mandi."
Tanpa nunggu persetujuanku, mbak Citra langsung masuk ke kamarku. Karna memang aku udah sangat lapar, aku langsung aja makan.
Ddrrt ... Ddrtt ....
Ponselku bergetar, sebuah panggilan telfon masuk dari Papa.
"Hallo, Pa."
"............."
"Bentar lagi aku pulang."
".............."
"Iya, Pa." Telfon ditutup.
Kuhela nafas berkali-kali, banyak kekhawatiran yang muncul di otakku.
Aku langsung bawa piring kotor ke dapur, ku cuci sebentar. Lalu aku masuk ke kamarku. Terlihat mbak Citra yang udah duduk di tepi ranjang sambil ngikat rambutnya.
"Langsung aku antar pulang ya."
"Kenapa?" seperti tak mau cepat kembali kerumahnya.
"Tadi papa udah nanyain aku. Aku nggak mau papa tau tentang kita yang masih berhubungan."
"Hhuufftt ...." dia buang nafas kasarnya. Aku duduk disampingnya.
"Besok kita bisa ketemu lagi, sayang." Aku merapikan anak rambut yang menutupi matanya.
"Aku masih kangen, Ran." ngomongnya berbisik.
Aku tersenyum mendengar pengakuannya. Kupegang dagunya. Lalu kukecup bibirnya sekilas.
"Kok cuma bentar?" dia protes.
"Besok kita bisa main lebih lama. Papa ku sekarang dirumah. Aku nggak berani terima resiko jika papa tau semuanya." Aku meraih tubuhnya dan memeluknya.
"Aku mencintaimu, Ran." ucapnya didalam pelukanku.
"Aku lebih mencintaimu, mbak."
**
Aku mencium keningnya sebelum dia turun dari mobilku. Baru kusadari, suaminya berdiri di depan pintu memperhatikan mobilku.
"Mbak, suamimu tau."
"Tak apa. Kamu mau turun?" tawarnya.
"Aku masih sedikit waras. Aku tak mau menjadi penyebab meninggalnya suamimu."
Dia tertawa kecil. "Ya udah. Aku turun ya." Aku hanya ngangguk.
Dia pun turun dari mobil dan melangkah menuju rumahnya. Meminta tangan suaminya untuk disalami, lalu mencium punggung tangan suaminya.
Aahh tak rela sekali aku melihat ini. Mas Rami jalan mendekati mobilku. Dia mengetuk kaca mobil, menyuruhku untuk membuka kacanya. Akupun membuka kaca mobil.
"Kenapa?" tanyaku tanpa salah. Ya memang aku nggak salah, dia memang istrinya. Tapikan dia merebutnya dariku. Aku yang lebih dulu memilikinya.
"Bisa kita bicara sebentar?" pintanya dengan sangat sopan.
Aku tak menjawab. Aku keluar dari mobil dan jalan mengikuti langkahnya. Kami duduk di samping rumahnya. Tepatnya dibawah pohon mangga. Lama saling terdiam, aku juga tak memulai untuk bersuara.
"Apa kamu sangat mencintai Citra?" pertanyaan yang ditujukan padaku.
"Apa belum cukup terlihat?"
"Sangat jelas terlihat."
"Baguslah." jawabku cuek.
"Tapi aku juga mencintainya. Dia istri ku, apa tak terlihat?"
"Aku tau. Tapi dia masih kekasihku. Kami pacaran sudah 4 tahun sampai detik ini. Kami juga memiliki mimpi untuk hidup bersama."
"Mimpi??" dia memperjelas. Lalu tertawa kecil. "Iya, bermimpi tak ada salahnya. Cukup bermimpilah saja. Aku tak pernah punya niat menceraikan Citra. Aku akan membuatnya melupakanmu."
Aku mengerutkan keningku. "Dengan tubuh lemahmu ini?"
"Aku sedang berjuang untuk sembuh."
"mbak Citra sangat mencintaiku. Dia tak mungkin berpaling padamu." Aku segera beranjak dan berjalan meninggalkan lelaki penyakitan itu.
Kembali masuk kemobil dan menyalakan mesin. Sesaat aku melirik rumah itu. Mbak Citra berdiri di balik jendela memperhatikanku. Segera aku melajukan mobil meninggalkan rumah mbak Citra.
Sampai dipertigaan gang, mobilku berhenti. Sepertinya mogok atau entah ada masalah apanya. Aku keluar mengecek ban, normal semua. Ku buka mesin yang didepan, hah ada yang tak beres. Aku mengotak atik mesinnya sebentar.
"Aaaa! Tolong! Tolong!"
Saat sedang fokus dengan mesin, samar aku mendengar teriakan dari arah gang.
"Hiks ... tolong!"
Teriakan seorang wanita yang disertai isak tangis.
"Hahahh ... teriak sekencangmu. tak akan ada yang mendengarnya." Yang ini suara lelaki.
Aku segera berlari mencari arah suara itu. Sepertinya ini aksi pemerkosaan atau perampokan. Berjalan mengendap-endap, agak jauh dari posisi mobilku. Aku melihat dua orang preman yang sedang merobek baju seseorang. Seorang wanita yang sudah tak berdaya. Dia diperkosa. Dengan bringas dua preman itu merobek semua pakaian yang menempel pada tubuh wanita pingsan itu. Meremas dua gundukan didada si wanita.
Aku segera menarik bahu kedua preman itu. Kutonjok satu-satu hingga mereka tersungkur. Aku kalap, aku emosi melihat perbuatan bejat mereka. Hingga kedua preman itu tak berdaya.
"Pergi kalian!" teriakku. Mereka berdua lari terbirit-birit.
Kudekati gadis yang sudah telanjang ini. Aku meraih tubuhnya, kugendong dia menuju mobilku. Aku memakaikannya hoddie milikku, lalu kududukkan dia di kursi depan.
Kucoba kembali menyalakan mesin mobilku, akhirnya bisa nyala. Segera kubawa wanita ini ke rumah sakit terdekat. Dia langsung ditangani oleh dokter. Aku duduk sendiri didepan ugd. Cukup lama, sekitar 30 menit, dokterpun keluar.
"Anda siapanya?" tanya dokter ke aku.
"Saya nemuin dia di jalan. Dia korban pemerkosaan."
"Kamu tau keluarganya?"
"Namanya saja saya nggak tau. Apalagi keluarganya."
"Ooh ...."
"Soal biaya, saya tanggung nggak apa. Asal dia baik-baik saja."
"Dia baik-baik saja. Sepertinya juga belum sempat dijamah sama pelaku. Tapi ada luka dikepalanya. Itu terlihat sebuah hantaman. karna itu dia pingsan."
Aku mangguk-mangguk. "Kalo gitu saya urus adminitrasinya ya."
"Baik. Tolong tunggu dia sampai sadar ya. Mungkin sebentar lagi dia sadar."
"Ok."
Aku pergi ninggalin dokter itu menuju tempat adminitrasi. Selesai di administrasi, aku kembali menunggui si wanita itu. Kupandangi dia sejenak, wajahnya oval, bulu matanya sangat lentik. Bibirnya merah muda dan tipis, terlihat sangat sexy. Kulit nya pun putih mulus, tak ada bekas jerawatnya.
Cukup lama aku menungguinya. satu jam berlalu, dia membuka matanya perlahan. Memegangi kepalanya, lalu melihat sekitar. Dia menatapku.
"Udah sadar?" Sapaku.
"Aku dimana?"
"Rumah sakit."
Dia diam, kembali memejamkan matanya. Sepertinya sedang mengingat yang terjadi. Lalu kembali membuka matanya.
"makasih sudah menyelamatkan saya."
"Hhmm"
"Jilbabku dimana?"
"Hah?" Aku kaget dengan pertanyaannya.
"Apa mas membawaku kemari tanpa jilbab?"
"Lo bugil tanpa apapun. itu yang lo pake juga jaket gue."
"Apa?!!" Dia teriak kaget. "Mas yang memakaikanku jaket?"
"Iya, gue dah liat semuanya."
"Hah?? semuanya apa?!"
"Ya semuanya."
"Apa?"
"Perut elo, dada elo, bahkan dua bu---" Dia nyubit lenganku. "Aaww, sakit, njir."
"Udah jangan diterusin." Dia tutup mukanya pake kedua tangan. Wajahnya memerah karna malu.
"Nggak usah malu. Gue nggak akan ceritain ke siapapun. Cukup gue ingat dalam pikiran gue aja." Aku tertawa kecil mengingat bentuk tubuhnya tadi.
Dia melotot, dan mempoutkan bibirnya. "Apa saya sudah boleh pulang?"
"Kaya'nya udah. Ayo gue antar pulang."
Dia bangun dan memakai penutup hoddie untuk menutupi rambut panjangnya. Lalu turun dari atas brankar dan mulai berjalan.
"Lo kuat jalan kan?"
"Iya kuat kok."
Kami jalan berdampingan keluar dari rumah sakit. Gue nyuruh dia nunggu di depan rumah sakit, karna aku harus ngambil mobil dulu. Saat udah disampingnya, aku buka kaca mobil.
"Ayo masuk." ucapku. Dia pun masuk dan duduk di kursi samping kemudi.
"Dimana rumah elo?" aku segera jalanin mobil ninggalin rumah sakit.
"Jambi."
Aku natap dia. "Gue nanya serius."
"Saya juga jawab serius. Rumah saya di Jambi. Saya sekolah di Jakarta."
Aku ngangguk mengerti. "Jadi, lo tinggal dimana?"
"Pondok pesantren Darussalam."
"Tunjukin jalannya ya."
**
Kuhentikan mobil didepan gerbang tinggi bertuliskan *PONDOK PESANTREN DARUSSALAM*
wanita yang aku belum tau namanya ini memandang gerbang cukup lama. Lalu menatapku.
"Makasih ya mas, sudah menolong saya, mengantar saya dan membiayai rumah sakit tadi."
"Iya,"
"Dan jaketnya,"
"Iya lo pake aja."
"Makasih mas."
"Itu kok gerbangnya kaya' udah di kunci sih?"
"Mungkin karna ini sudah sangat malam, mas. Saya turun dulu ya." Dia membuka pintu mobil dan turun. "Mas, bisa kembali pulang."
"Gue tungguin lo disini sampai lo masuk kedalam." Nggak tau kenapa, aku takut jika dia nggak dibolehin masuk atau dia kena omel. Karna dia kembali terlalu larut dan tidak menggunakan jilbabnya.
Dia hanya diam dan jalan mendekati pintu gerbang. Membunyikan lonceng yang ada disambing gerbang. Tak lama, seorang lelaki membukakan gerbangnya.
"Zeta, kamu dari mana malam-malam begini? Kamu tau kan, ini sudah jam 11 malam. Dan kamu?? Hijabmu dimana??" Lelaki itu ngomel.
"Maaf kang, tadi saya di cegat dua orang pria saat kembali dari toko. Saya pingsan di jalan, dan saya ditolong sama seseorang. Saya baru pulang dari rumah sakit."
Aku terus memperhatikan wanita yang ternyata bernama Zeta itu. Lelaki itu menatapku, karna kaca mobil memang sengaja aku buka.
"Siapa dia?" telunjuknya mengarah padaku.
"Dia lelaki yang sudah menolongku."
"Suruh dia ikut masuk, kita menghadap Pak Kyai."
Aku segera turun dari mobil, aku berjalan mendekati Zeta dan lelaki itu.
"Kenapa mas?" tanyaku pada lelaki itu.
"Maaf mas, bisakah ikut saya kedalam? untuk menjelaskan pada pak Kyai apa yang sudah terjadi." pintanya.