Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 6. Petaka Di Acara Tujuh Bulanan

Part 6.

Pagi yang cerah. Mentari sudah duduk di peraduan. Kicauan burung-burung menambah indah pagi ini. Seakan menggambarkan suasana hatiku yang dipenuhi dengan kebahagiaan.

Dengan penuh perjuangan yang cukup berarti, akhirnya acara tujuh bulanan ini berlangsung juga. Walau tak semegah acara yang diadakan para tetangga di sini, bagiku, ini sudah sangat istimewa. Aku merasa senang.

Aku tak menyangka, Bang Ridwan ternyata antusias untuk mengadakan acara ini. Dia mengundang semua teman-teman di kantornya.

"Senyum-senyum aja dari tadi, Ris," ucap Emak yang duduk di sebelahku. Emak dan Bapak sudah tiba di rumah ini sejak semalam.

"Risa senang, Mak. Sebentar lagi Risa akan jadi ibu," sahutku. Tak mungkin aku katakan pada Emak kalau kebahagiaan ini karena perhatian Bang Ridwan yang selama ini hampir pudar, hari ini aku melihatnya hadir lagi.

Satu per satu para tamu undangan berdatangan dan memenuhi kursi-kursi yang telah disediakan. Rangkaian acara pun berjalan setahap demi setahap.

"Jadi ini istrimu, Wan?" ucap salah seorang teman Bang Ridwan. Bang Ridwan diam tak menjawab, hanya senyum saja.

"Kok, gak pernah diajak acara kantor sih, Bang?" ucap teman suamiku yang lainnya. Dari wajahnya kelihatan kalau usianya lebih muda dari Bang Ridwan.

Lagi-lagi, Bang Ridwan hanya senyum-senyum saja sembari menggaruk kepalanya yang aku rasa tak gatal.

Aku memang tak pernah ikut ke acara-acara yang diadakan oleh kantor atau pun teman sekantor Bang Ridwan. Hanya sekali saja waktu itu. Bahkan aku pun tak sempat berkenalan dengan teman-teman Bang Ridwan.

Kupikir memang tak pernah ada lagi acara seperti itu, karena suamiku itu tak pernah membicarakan hal itu padaku. Dia sering pamit berkunjung ke rumah temannya, tapi, bukan menghadiri sebuah acara.

Entahlah, mungkin dia malu mengajak dengan penampilanku seperti ini. Sudah gendut tak pandai bergaya pula. Apalagi semenjak hamil, berat badanku semakin bertambah. Aku saja sering tak percaya diri saat berdiri di depan cermin.

Satu per satu teman Bang Ridwan menyalamiku sembari menyebutkan nama mereka.

"Tapi, kok beda ya, sama yang aku lihat di toko perhiasan kemarin," bisik salah seorang dari mereka kepada teman di sampingnya. Aku dapat mendengarnya.

Entah siapa yang mereka maksud. Biarlah, aku tak mau ambil pusing. Semakin aku mencari tau, semakin sakit hatiku. Semakin lemah pula semangatku untuk memenangkan hati suamiku itu.

Acara tujuh bulanan terus berlangsung.

"Abang ke depan dulu ya, Ris. Teman-teman Abang udah pada nunggu," ucap Bang Ridwan setelah dia selesai berganti baju. Kami baru saja melakukan acara siraman.

"Iya, Bang. Bentar lagi Risa nyusul," sahutku seraya mengenakan jilbab serasi dengan warna bajuku. Pink, warna kesukaanku.

Tak lama aku di dalam kamar, aku kembali bergabung dengan para tamu.

"Yang datang lumayan banyak ya, Ris," ucap Emak yang berdiri di sampingku.

"Iya, Mak. Alhamdulillah. Gak nyangka bisa ramai begini. Rezeki si Dedek," sahutku sembari mengusap perut dengan bahagia.

"Oh, iya. Emak lihat Bang Ridwan?" tanyaku pada Emak karena sejak keluar dari kamar aku tak melihatnya di antara para tamu.

"Tadi Emak lihat dia berjalan ke arah sana." Emak menunjuk ke arah samping rumah.

"Ya udah, Risa ke sana dulu ya, Mak." Aku beranjak menuju ke arah yang ditunjukkan Emak.

Kuedarkan pandanganku sembari melempar senyum pada tamu-tamu yang hadir. Seketika langkahku terhenti, ketika dari jauh kulihat Bang Ridwan sedang berbincang bersama seorang wanita. Mereka duduk berdampingan, di kursi, di samping rumah.

Aku ragu melangkahkan kakiku ke sana. Namun, aku juga tak bisa membiarkan Bang Ridwan bersama Gita berduaan di sana. Apa kata orang-orang? Bagaimana kalau Bapak atau Emak melihat keakraban mereka? Aku tak tahu harus menjawab apa, jika mereka bertanya.

Kuatur debaran di dalam dada yang kian tak menentu ini. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Cukuplah untuk membuat hati sedikit tenang. Walau sebenarnya cemburu menguasai hati.

Aku melangkah dengan tenang menuju tempat mereka duduk.

"Bang Ridwan di sini? Eh, ada Mbak Gita?" ucapku berbasa-basi. Padahal sebenarnya hati ini sudah merasa tak enak sekali.

"Eh, Risa. Apa kabar?" Gita bangkit dari tempat duduknya lalu menyalami dan memelukku, sok akrab.

"Bang, dicariin, Ibu, tuh!" ucapku pada Bang Ridwan. Karena memang tadi Ibu menyuruhku mencari suamiku.

"Ibu di mana?" tanya Bang Ridwan.

"Di dapur," jawabku singkat.

"Git, aku tinggal dulu, ya!" Bang Ridwan bangkit dari kursinya. Lalu kami berjalan berdampingan. Aku menggamit lengan Bang Ridwan.

"Bang, tunggu!" Tiba-tiba Gita menyeru. Bang Ridwan menghentikan langkahnya lalu berbalik mengerling Gita.

"Ada apa, Git?" tanya Bang Ridwan pada Gita.

"Aku ikut, ya. Kangen sama Ibu," ucapnya dengan suara dibuat semanja mungkin.

"Ya, udah, ayok!" ajak suamiku.

Aku dan Gita berjalan di samping kanan dan kiri Bang Ridwan. Persis , layaknya seorang suami yang diapit oleh dua istri. Beberapa dari teman Bang Ridwan memperhatikan kami, sembari berbisik-bisik. Semoga saja tak ada kejadian serupa waktu di pesta Bude, hari ini. Aku tak ingin Emak dan Bapak mengetahui masalah yang sedang aku hadapi.

"Halo, Tante! Apa kabar?" Gita langsung menghambur ke pelukan Ibu, dan disambut dengan hangatnya oleh perempuan yang kini menjadi mertuaku itu. Sedangkan Bang Ridwan langsung duduk di sebelah Ibu.

"Kabar baik. Kok baru datang? Tante tungguin dari tadi, kirain gak jadi dateng," kata Mama dengan semringah. Bang Ridwan hanya senyum-senyum saja sembari menggaruk kepalanya yang aku rasa tak gatal.

"Iya, maaf, Tan. Ada sedikit urusan yang harus dikerjakan tadi," sahut Gita, lalu mengambil tempat duduk di samping suamiku.

"Oya, Ris. Coba lihat makanan yang di meja. Masih cukup atau tidak. Takutnya sudah pada habis, kan kita bisa malu sama tamu-tamu yang datang," titah Ibu padaku. Waktu keluar dari kamar tadi aku sudah mengecek persediaan makanan di atas meja, dan semuanya masih banyak.

"Barusan tadi, Risa cek, Bu. Semuanya masih lengkap dan banyak," sahutku masih berdiri pada posisi semula.

"Ya, mana tau sudah habis. Cek lagi sana!" Ibu memang tak bisa dibantah

"Iya, Bu," sahutku sembari mendatangi meja prasmanan yang dimaksud oleh Ibu.

Benar saja, semua masih tersedia dan dalam jumlah yang banyak.

Setelah mengecek persediaan makanan, aku bergabung bersama para tetangga yang masih ada di sini, sembari beramah tamah. Aku sangat jarang keluar rumah, jadi tak pernah bercengkrama dengan mereka.

Setelah beberapa menit ngobrol, kulihat Ibu sedang berbincang bersama beberapa orang wanita sebayanya. Mungkin mereka teman arisan Ibu. Kalau Ibu ada di sana, kemana Bang Ridwan dan Gita? Masak Ibu meninggalkan mereka berdua saja. Apa kata orang-orang nanti. Mau di taruh di mana mukaku ini?

Dengan perasaan tak enak, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk menemui Bang Ridwan di tempat tadi mereka kutinggalkan. Setelah sampai di sana, ternyata ruangan itu sudah kosong. Hanya ada beberapa orang yang sedang mempersiapkan makanan.

Aku terus mencari keberadaan Bang Ridwan dan Gita. Perasaanku semakin cemas, karena di luar pun mereka tak ada. Aku juga tak melihat mereka keluar dari rumah ini, tadi.

Kutelusuri ruangan di rumah ini, satu per satu. Aku tak menemukan Bang Ridwan dan Gita. Kemana mereka? Hanya tinggal satu ruangan yang belum aku datangi. Kamarku. Tapi, tak mungkin mereka di sana. Tak mungkinlah Bang Ridwan mengajak Gita ke kamar kami.

Dengan langkah gontai karena sudah lelah mencari, mau tak mau aku berjalan menuju kamar kami. Walau sebenarnya hati ini menyangkal kalau Bang Ridwan dan Gita ada di sana. Tapi, hanya ruangan itu saja yang belum aku periksa.

Perlahan aku berjalan menuju kamarku dan Bang Ridwan. Kaki ini sebenarnya sudah lelah, tapi para tamu banyak yang menanyakan dimana Bang Ridwan, mereka ingin bersalaman dan pamit. Bang Ridwan pun aneh, masih banyak tamu di luar, dia main menghilang gitu aja. Membuat aku jadi berprasangka buruk padanya.

Aku sudah berdiri di depan pintu kamarku. Bermaksud membuka pintu dengan membuka handle. Pintu kamar terbuka sedikit. Baru saja kaki ini ingin melangkah ke dalam. Tiba-tiba aku mendengar jeritan manja dari dalam kamar. Sama persis dengan jeritan yang kudengar saat menelepon Bang Ridwan beberapa waktu yang lalu.

Hatiku berdebar kencang. Dada serasa naik turun dengan sangat cepat. Apa yang sedang terjadi di dalam? Apa Bang Ridwan dan Gita ada di dalam berduaan?

Kalau hanya dari ambang pintu ini, memang tak dapat melihat ke dalam ruangan kamar seluruhnya, karena terhalang tembok kamar mandi yang berada di dekat pintu masuk. Aku harus masuk ke dalam kamar, untuk melihat apa dan siapa yang baru saja menjerit di sana.

Kulangkahkan kaki perlahan masuk ke dalam ruangan kamar. Suara jeritan manja berubah menjadi seuara desahan yang saling bersahutan, bersumber dari seorang lelaki dan wanita.

Degup jantung semakin kencang. Tidak, itu pasti bukan Bang Ridwan. Pasti ada orang lain yang nyasar ke kamarku. Kucoba membuang semua prasangka di pikiranku. Aku terus masuk ke ruangan kamar.

"Bang Ridwan!" teriakku seraya menutup wajah dengan ke dua tanganku. Aku tak mau melihat mereka. Aku tak sanggup.

Tubuhku terasa begitu lemas. Rasanya, kedua kaki ini sudah tak sanggup menopang tubuhku. Aku terduduk tak berdaya di lantai.

Ternyata, kalau melihat langsung adegan Bang Ridwan bercumbu dengan wanita lain, rasanya lebih sakit dari pada waktu itu. Waktu aku mendengar desahan demi desahan melalui panggilan telepon.

Seketika butiran-butiran meluncur bebas keluar dari netraku. Aku tak sanggup lagi menahannya. Biarlah dia keluar bersama sakit yang kurasakan di hati ini. Perih, nyeri, bagaikan pedang yang terhunus langsung ke ulu hati.

Ingin rasanya aku berlari ke luar kamar. Namun, di luar sana ada Emak dan Bapak. Aku tak mau masalah keluargaku diketahui oleh mereka. Aku takut Emak akan syok mengetahui hal ini.

"Risa?" Kudengar Bang Ridwan manggil namaku. Aku masih memejamkan mata dan menutupinya dengan kedua telapak tanganku. Aku masih tergugu pilu.

Bersambung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel