Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 7. Pergi Dari Rumah

Part 7

"Risa?" Kudengar Bang Ridwan memanggil namaku. Aku masih memejamkan mata dan menutupinya dengan kedua telapak tanganku. Aku tergugu, pilu.

"Abang kejam. Kenapa berbuat begini padaku? Apa salahku, Bang?" ujarku sembari tergugu.

"Kamu gak salah. Abang yang salah, Risa. Abang minta maaf," ucap Bang Ridwan lirih.

Kuturunkan perlahan kedua tangan ini lalu membuka mata. Bang Ridwan sudah berdiri di depanku, tanpa memakai baju, hanya celana panjang saja. Sementara wanita itu, Gita, dia sedang mengenakan pakaiannya di samping tempat tidur.

Sungguh sakit rasanya hati menyaksikan kejadian ini. Andaikan aku punya kekuatan itu. Kekuatan untuk mengacak-acak wajah Gita. Perempuan durjana yang telah masuk dan merusak kenyamananku sebagai istri. Ingin rasanya aku menarik rambutnya, lalu menyeretnya dengan kasar sampai ke luar rumah. Agar orang-orang tahu, ada penjahat di sini yang telah tega masuk ke dalam kamarku dan merampas kekasih hatiku dengan cara yang sangat memalukan.

Namun, aku tak bisa melakukan itu. Suasana akan jadi ricuh. Tak hanya mereka yang akan dipermalukan, tapi aku, Emak dan Bapak akan menerima imbasnya.

Kutarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Kucoba menata hati agar tak emosi.

"Kenapa Abang berbuat begini? Apa maksud Abang sebenarnya?" tanyaku dengan tatapan sendu. Bang Ridwan meraup wajahnya dengan kasar.

"Baiklah, Abang akan jujur. Kamu telah melihat semuanya. Jadi, tak perlu lagi ada yang disembunyikan," ucap Bang Ridwan sembari memegang bahuku dan membantuku berdiri.

"Tak perlu membantuku," ucapku seraya menepis tangan Bang Ridwan. Perlahan aku mencoba berdiri. Bagaimana pun, aku harus kuat. Aku tak boleh terlihat lemah di depan wanita jal*ng itu.

"Apa mau Abang, sekarang?" tanyaku dengan tatapan tajam tepat ke manik mata lelaki yang sebentar lagi akan menjadi ayah dari anak yang kukandung ini.

"Abang akan menikahi Gita," jawabnya singkat dan jelas.

"Lalu, bagaimana denganku dan calon anak kita, Bang?"

"Aku ingin menjadi istri Bang Ridwan satu-satunya, Ris." Gita yang sedari tadi diam langsung ikut bicara.

"Benar begitu, Bang?"

Aku mengerling tajam ke arah Bang Ridwan, menunggu jawaban keluar dari mulutnya. Bang Ridwan diam, lalu mengangguk lemah.

"Maafkan Abang, Ris," ucapnya lirih.

"Bagaimana dengan anak ini, Bang? Apa Abang tega menyia-nyiakannya demi wanita itu? Ini anak Abang, darah daging Abang!"

"Maafkan Abang, Ris. Tapi, Abang sangat mencintai Gita."

"Abang tak mencintaiku?"

Lama tak ada jawaban keluar dari mulut Bang Ridwan.

"Jawab, Bang. Apa selama ini aku hanyalah pelarian bagi Abang?"

"Maafkan Abang, Ris. Abang sudah berusaha untuk mencintaimu. Tapi, kau tetaplah Risa, bukan Gita. Posisinya tak tergantikan di hati Abang. Dia sangat tau bagaimana membuat Abang senang dan selalu tergila-gila padanya. Sedangkan kau, kau tak pandai merawat diri. Kau biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa di mata Abang."

Tes.

Seketika butiran bening menetes di sudut mata ini. Bang Ridwan membanding-bandingkan aku dengan Gita, yang sudah pasti menang banyak dariku. Tentu saja dia bisa menyenangkan hati Bang Ridwan. Karena setiap gajian, Bang Ridwan selalu mengirimkan uang kepada Gita. Mungkin untuk perawatan tubuhnya. Aku selalu mendapatkan bukti transfer itu di saku celana Bang Ridwan.

Sedangkan aku, meminta uang untuk beli lipstik saja, Bang Ridwan sudah marah-marah. Aku juga pasti bisa tampil cantik dan memukau, kalau suamiku memberikan modal kepadaku. Cantik itu butuh uang. Kalau tidak ada , bagaimana caranya aku bisa secantik Gita?

"Sebuah alasan yang nyata dibuat-buat untuk membela diri Abang. Kalau memang tak menginginkan kehadiranku, kenapa memintaku menjadi istrimu, Bang? Abang yang menawarkan mahligai rumah tangga ini padaku. Abang yang membawaku ke sini. Abang memanfaatkan ketulusanku. Kini, setelah dia, mantan kekasih Abang tak jadi menikah dengan pria lain, dengan gampangnya Abang beralasan demikian agar bisa menendang aku dari kehidupan Abang dan kembali merajut kasih dengannya. Abang jahat!"

"Bukan begitu, Ris!"

"Sudahlah, Bang. Aku sudah lama mencium gelagat perselingkuhan Abang dengannya. Hari ini, Tuhan menunjukannya langsung kepadaku. Aku yakin, Tuhan Maha baik, dia tak ingin membiarkanku lebih lama disakiti. Terimakasih, Bang. Akhirnya kata-kata itu keluar dari mulut Abang. Sudah lama aku merasakan kalau Bang Ridwan tak cinta padaku. Ternyata, benar. Hati nuraniku tak pernah berbohong. Aku telah mencintai lelaki yang salah. Kukira dengan semua cinta dan pengorbananku, Abang akan membuka hati untukku. Tidak, Abang sama sekali tak pernah memandang itu. Aku hanyalah sampah yang tak patut untuk dicintai. Terima kasih untuk semua kebohongan dan kepura-puraan, Abang. Aku sadar siapa diriku. Suatu saat Abang akan menyesal telah melakukan ini padaku.

Aku berjalan menuju lemari, lalu mengemas baju-bajuku. Bang Ridwan dan wanita murahan itu hanya berdiri memperhatikanku. Setelah baju-baju terkemas tak beraturan di dalam tas. Aku segera menentengnya dan beranjak menuju ke luar kamar. Sebelum keluar, aku menghentikan langkahku sejenak, lalu menoleh pada Bang Ridwan dan Gita.

"Aku pamit, Bang. Semoga kau bahagia dengan wanita yang kau cintai!"

"Ris...Risa, tunggu!" seru Bang Ridwan, namun tak kuhiraukan. Aku terus berjalan menuju halaman depan. Aku harus segera mengajak Emak dan Bapak pergi dari sini. Tak ada lagi yang bisa kuharapkan di rumah ini.

"Kok bawa tas besar, Ris? Mau kemana?" Aku berpapasan dengan Ibu mertuaku di ruang tengah. Ibu yang melihatku keluar membawa sebuah tas kelihatan heran.

"Risa mau pulang kampung, Bu. Risa pamit ya!" ucapku lirih.

"Loh, kenapa? Kok tiba-tiba? Acara kan belum selesai," tanyanya lagi.

"Tanyakan saja pada anak Ibu." Aku berlalu meninggalkan Ibu mertuaku yang masih memasang raut wajah bingung.

"Mak, Pak, kita pulang sekarang ya!" ajakku pada Emak dan Bapak yang sedang duduk berdampingan di teras depan.

"Kenapa Ris? Kok mendadak? Apa yang terjadi?" tanya Emak panik.

"Nanti Risa ceritakan kalau sudah sampai di rumah. Sekarang juga kita harus segera meninggalkan rumah ini," ujarku tegas. Emak dan Bapak saling bersitatap.

"Kenapa, Nak? Ridwan mana?" tanya Emak lagi, masih dengan raut wajah bingung.

"Katakan pada Bapak, jika ada yang menyakitimu. Tidak akan Bapak kasih ampun!" Bapak berdiri dari tempat duduknya sambil emosi.

"Sudahlah, Pak, Mak. Nanti saja Risa ceritakan. Sekarang, Emak dan Bapak berkemas saja. Kita langsung berangkat pulang, ya."

Tanpa berkata-kata lagi, Emak dan Bapak langsung menuju kamar dan berkemas.

Setelah taxi yang kupesan datang. Kami segera naik dan beranjak meninggalkan rumah ini. Bang Ridwan sejak tadi tak keluar dari dalam, begitu juga Ibu. Mungkin Ibu sedang bertanya ini dan itu punada Bang Ridwan.

Perlahan, mobil taxi yang kami tumpangi bergerak menuju terminal Bus. Perjalanan dari rumah Bang Ridwan ke rumahku memang cukup jauh, harus naik Bus. Karena tak ada transportasi lain selain Bus.

Kutarik napas dalam-dalam, lalu kuhela perlahan. Masih saja sakit di sini, di dada ini. Tak pernah kubayangkan akan mengalami hal seperti ini. Biduk rumah tangga yang susah payah kujalani harus kandas dalam waktu singkat.

Aku tak menyangka, lelaki yang dengan tulus kucinta dan kupuja, sampai hati melakukan hal ini padaku. Bahkan, dia sama sekali tak memikirkan nasib bayi dalam kandunganku ini. Egois!

Sedikit demi sedikit kuceritakan pada Emak kejadian yang baru saja kualami. Emak sangat sedih mendengar penuturanku dan ikut meneteskan air mata.

"Sabar ya, Sayang. Emak tau kamu wanita yang kuat. Pasti kamu akan bisa melewati cobaan ini." Emak mengusap lembut kepalaku lalu memeluk bahuku. Tak dapat kubendung lagi, air mata saling berlomba keluar dari mata ini.

"Risa telah salah memilih suami, Mak. Maafkan Risa, tak mendengar kata-kata Emak dulu." Aku terisak dalam pelukan Emak.

"Sudah...sudah! Jangan menyalahkan dirimu. Semua ini sudah takdir. Tak ada yang tau akan seperti ini. Yakinlah, akan ada hikmah di balik semua cobaan ini, Risa."

"Tapi, Mak. Sebentar lagi Risa akan melahirkan. Dia tidak akan melihat wajah ayahnya saat lahir nanti. Risa sendirian, Mak."

"Ada Emak Risa! Ada Bapak! Kamu gak sendirian. Kami akan selalu ada untukmu. Lupakan Ridwan. Tak guna kau harapkan lagi kehadirannya. Dia tak pantas untuk ditangisi. Kamu harus kuat. Kamu harus bangkit, demi anakmu. Emak yakin, dia juga anak yang kuat seperti ibunya. Kalian pasti akan bahagia walau tanpa Ridwan."

"Iya, Mak. Risa akan berusaha demi anak ini." Aku mengusap perutku sembari terisak. Kita harus bahagia ya, nak. Bisikku dalam hati.

Setelah menempuh berjam-jam perjalanan dengan bus, akhirnya kami tiba di rumah. Rumah yang penuh dengan kenangan masa lajangku. Di sini aku akan memulai perjalanan hidupku, tanpa Bang Ridwan.

Bersambung.

.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel