Pustaka
Bahasa Indonesia

BAHAGIA SETELAH DIBUANG

91.0K · Tamat
Su Yenni
59
Bab
12.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Sinopsis Risa (22), seorang wanita dari keluarga sangat sederhana, dan tinggal di sebuah kampung. Dia mengidolakan Ridwan, lelaki kaya dan tinggal di kota. Mereka menjalin kasih melalui akun media sosial, lalu akhirnya menikah. Namun, karena penampilannya yang sangat sederhana bahkan terkesan seperti ibu-ibu, padahal belum jadi ibu, membuat Risa disia-siakan oleh suaminya. Risa juga mendapat perlakuan kurang baik dari ibu mertuanya. Ibu mertua Risa, menjadikan Risa sebagai pembantu di rumah dan malu mengakui Risa sebagai menantunya. Apakah Risa akan bertahan dalam peliknya kehidupan rumah tangganya itu? Kebahagiaan apa yang akan Risa dapatkan sebagai hadiah dari kesabarannya? Ikuti terus kisahnya. ** Jangan lupa kasih rate bintang lima, ya!

PerceraianMenantuWanita CantikMetropolitanKeluargaIstriMenyedihkanPerselingkuhanBaper

Part 1

Part 1. Gara-Gara Pesta

"Sudah siap, Ris?" seru Bang Ridwan dari luar kamar.

"Sebentar lagi, Bang!" sahutku sembari sibuk memilih baju yang akan kupakai ke pesta keluarga suamiku.

Dari tadi tidak ada yang pas, semua jadi sempit. Apa tubuhku semakin gemuk ya? Sepertinya masih segitu-segitu aja. Tapi kenapa tak ada yang muat?

"Lama amat sih, Ris! Capek nunggunya. Jangan-jangan, pestanya sudah selesai begitu kita sampai di sana." Ibu yang sejak tadi sudah tak sabar, masuk ke dalam kamarku sambil ngomel-ngomel.

"Iya, Bu, bentar lagi ya. Risa masih pilih baju yang pas di badan Risa. Sabar ya, Bu?" ucapku sembari cengengesan agar Ibu mertuaku itu tak marah.

"Makanya, punya badan jangan dibiarkan tambah bengkak begitu. Mau pakai apa juga gak bakalan pas. Ya sudah, cepat sedikit. Kalau tidak kami tinggal," ucap Ibu lagi dengan nada kesal. Lalu keluar dari kamarku.

Hari ini ada acara pesta khitanan di rumah budenya Bang Ridwan. Ini juga merupakan kali pertama aku bertemu dengan keluarga besarnya.

Setelah menikah aku memang langsung diboyong ke rumah Bang Ridwan. Namun, karena Bang Ridwan cutinya hanya sebentar, jadi kami tidak sempat berkunjung ke rumah sanak saudara suamiku itu.

"Nanti-nanti sajalah, kalau ada waktu, kita kunjungi rumah saudara Abang satu per satu, ya!" ujar Bang Ridwan kala itu. Aku menurut saja.

Aku yang orang baru di daerah ini, tentu belum tahu seluk beluk jalanan di sini. Seandainya tahu, mungkin aku sudah berinisiatif untuk berkunjung ke rumah mereka sendirian, sekaligus beramah tamah.

"Sudah, Bang! Ayo kita berangkat!" Aku berdiri di depan pintu kamar dengan wajah memelas. Takut Bang Ridwan marah karena aku terlalu lama dandannya.

Akhirnya aku memakai baju sekenanya saja, yang penting muat dan nyaman. Tapi, terpaksa juga aku harus pakai korset, karena bajunya sempit di bagian perut.

"Owalah, kirain kamu berubah kayak puteri kerajaan, ternyata masih gitu-gitu aja. Ibu sampai ngantuk nunggunya." Ibu berucap kesal sembari mencebikkan bibirnya. Aku hanya nyengir kuda menanggapinya.

Ibu mertuaku itu kalau ngomong, memang suka bikin nyesek, tak pernah merasa kalau kata-katanya itu menggores hati orang yang dikatai. Tapi, aku tak pernah ambil pusing, selama Bang Ridwan tak pernah mempermasalahkan penampilanku, aku sih cuek-cuek saja.

Namaku Risa. Anak tunggal dari keluarga sederhana dan tinggal di kampung nun jauh di mata, tapi dekat di hati. Kemanapun aku pergi, kampung halamanku tetaplah jadi ingatan.

Aku berkenalan dengan Bang Ridwan melalui aplikasi berwarna biru di hapeku. Hanya lima bulan kami menjalin hubungan jarak jauh, lalu tiba-tiba saja Bang Ridwan mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Ya, langsung menikah, tanpa tunangan seperti orang-orang. Padahal kami belum pernah bertatap muka di dunia nyata. Seringnya hanya melalui video call saja.

Pernikahan kami pun tak dihadiri keluarga besar Bang Ridwan. Dengan alasan jarak yang cukup jauh, menyebabkan dia datang hanya bersama Ibu dan Kakak perempuannya saja.

*

Setelah berkendara selama dua puluh menit, akhirnya kami sampai di tempat pesta. Tenda nan megah terpampang nyata di depan mata. Maklumlah, kata Bang Ridwan, budenya ini cukup kaya. Suaminya memiliki usaha peternakan ayam di beberapa tempat.

Kami berjalan di atas karpet merah yang dipasang di tengah-tengah jajaran kursi yang disusun dengan rapi mengitari meja berbalut kain berwarna kuning keemasan. Sudah banyak tamu yang datang dan kelihatan sedang asyik menikmati makanan mereka.

Aku terus berjalan mengikuti Bang Ridwan dan Ibu yang berjalan bergandengan di depanku. Sampai akhirnya mereka duduk di salah satu meja yang masih kosong tepat di depan pelaminan. Aku pun mengambil kursi kosong di samping Bang Ridwan.

"Baru sampai, Mbak?" Seorang wanita berkebaya biru muda menghampiri kami.

Penampilannya sungguh menawan, dengan polesan make up ala perias ahli membuatnya masih terlihat cantik di usia yang tak lagi muda.Dia menyalami Ibu mertua, Bang Ridwan, lalu....

"Ini siapa, Mbak? Temen Mbak Mayang?" tanyanya pada Ibu mertua sembari memperhatikanku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sampai dia lupa menyalamiku.

"Oh, itu...anu...."

"Saya istrinya Bang Ridwan, Bu," sahutku cepat memotong kata-kata Ibu yang sepertinya ragu-ragu mengenalkan diriku sebagai menantunya.

"Istrinya Ridwan!?" ucapnya kaget, lalu menunduk ke dekat telinga Bang Ridwan.

"Gak salah pilih istri, Wan? Masak mode begitu, seleramu?" bisiknya, namun masih dapat kudengar.

"Kamu kerja di mana?" tanyanya lagi padaku.

"Gak kerja, Bu," jawabku singkat.

"Bude, saya budenya Ridwan," sambarnya lekas.

"Iya, Bude. Saya di rumah aja, gak kerja." Aku berkata sembari tersenyum.

"Walah, gak kerja? Sini, Bude bilangin ya! Kalau kita cuma ngarep gaji suami, sebagai perempuan harus pinter-pinter merawat diri. Lihat Bude, sudah tua begini, bobot tubuh masih ideal, wajah harus glowing, penampilan harus selalu paripurna di mana pun dan kapan pun. Jangan sampai, suami kita melirik cewek lain yang tampilannya lebih memukau. Hampir saja tadi Bude manggil kamu, Ibu, karena kamu kayak ibu-ibu. Maaf loh, ya."

Bude Bang Ridwan tertawa cekikikan. Aku tertunduk diam sembari tersenyum getir. Sudah sering aku menerima kata-kata hinaan seperti itu dari ibu dan ibu-ibu di warung Bu Susi, dekat rumah kami. Namun, tak pernah aku hiraukan. Beda kali ini, rasanya kok sampai ke ulu hati. Nyeri.

Mimik wajah Bang Ridwan berubah. Dia menarik napas dalam lalu mengeluarkannya dengan kasar seraya mengerling dengan kesal ke arahku. Apa dia setuju dengan pendapat budenya barusan, ya?

"Sudah ya, Bude tinggal dulu, banyak tamu yang belum disalami. Oh, ya, kalau mau makan, ambil sendiri, ya! Dijaga makannya, jangan sampai tambah lemaknya," ucapnya sedikit pelan di telingaku. Lalu beliau pergi untuk menemui tamu-tamu lainnya.

"Ayo, cepat makan! Setelah itu kita pulang." Bang Ridwan bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan menuju meja prasmanan, tanpa memperdulikanku.

"Ayo, Ris, ambil makananmu!" seru Ibu membuatku kaget karena aku masih menatap nanar Bang Ridwan, karena sikapnya yang sedikit berubah.

Aku bangkit lalu mengikuti Ibu untuk mengambil makanan. Bang Ridwan sudah selesai mengambil makannya lalu kembali duduk di tempatnya semula.

Setelah mengambil sepiring nasi beserta lauk dan teman-temannya, aku kembali ke tempat dudukku tadi. Namun, langkahku terhenti ketika kulihat Bang Ridwan tengah berbincang dengan seorang wanita cantik, langsing dan, ya...memukau.

Aku seperti pernah melihat wanita itu. Tapi, di mana, ya? Oh, iya, aku baru ingat. Sebelum menikah denganku Bang Ridwan sering memosting foto berdua dengan dia.

"Mantan pacar Bang Ridwan," gumamku.

Mengingat ucapan Bude tadi, aku jadi enggan melangkahkan kakiku ke sana. Takut mendapatkan perlakuan yang sama dari wanita itu. Aku jadi minder.

Bang Ridwan tampak akrab sekali dengannya. Senyum mengembang tak lepas dari bibir mereka saat berbicara.

"Ayo, Ris! Nunggu apa lagi? Kok malah jadi patung di sini?" teguran Ibu membuyarkan lamunanku.

"Iy—iya, Bu." Aku berjalan membuntuti Ibu dari belakang.

"Eh...ada Nak Gita. Apa kabar?" Ibu menegur wanita yang duduk di tempat aku duduk tadi, di sebelah Bang Ridwan.

"Baik, Tante. Tante apa kabar? Makin cantik aja, nih, Tante Mayang." Dia menyalami Ibu seraya bercipika cipiki ria.

"Duduk, Ris. Dari tadi kok jadi patung terus." titah Ibu membuatku gugup dan salah tingkah. Aku duduk di sebelah Ibu.

"Oh, iya, Ris. Ini Gita, pacarnya Ridwan," ucap Ibu mertua mengenalkan wanita itu padaku.

Aku jadi salah tingkah menghadapi wanita ini. Kenapa pula Ibu mengatakan kalau dia pacar Bang Ridwan. Maksudnya apa, coba?

"Mantan Tante. Jangan salah ngomong, dong. Takutnya istri Bang Ridwan dengar, kan jadi berabe urusannya." Gita tersenyum malu-malu. Nah benar, mantan pacar Bang Ridwan. Waduh, gawat. Aku jadi speechless di sini.

"Suamimu mana, Git? Gak ikut?" tanya Ibu lagi sembari menyendok nasi ke mulutnya. Tak adakah niat Ibu atau Bang Ridwan untuk mengatakan kalau aku ini istri Bang Ridwan?

"Suami? Gak ada, Tante. Aku batal kawin," sahut perempuan berkulit putih, dan berwajah oval itu.

"Loh, kenapa?" tanya Bang Ridwan sepertinya sangat penasaran.

"Waktu itu, Papa ngasih pilihan ke aku. Aku boleh menolak pernodohan itu kalau aku mau melanjutkan pendidikan S2 ku. Ya, aku pilih lanjut S2 lah, sambil berharap dapat melanjutkan hubungan dengan Abang. Tapi...ternyata Abang menikah dengan wanita lain. Pupus deh harapanku untuk menikah dengan Abang."

"Uhuk! Uhuk!" Aku tersedak saat meneguk air minum. Kata-kata perempuan itu seperti menusuk-nusuk hatiku. Sabar...sabar, Ris!

"Minum aja sampai batuk, Ris...Ris," gerutu Ibu sembari mengerling tajam ke arahku.

"Oh, ya! Ini siapa, Tan?" tanya Gita, seraya tersenyum padaku.

"Oh, ini Risa. Tetangga Tante, sering bantu-bantu di rumah!"

Deg!

Dadaku bergemuruh hebat. Seketika netraku memanas. Hampir saja bulir bening itu menetes di sudut mata. Cepat kutahan karena aku tak ingin menangis di depan mantan pacar suamiku. Bisa bwsar kepala dia nanti.

Apa sebenarnya maksud ibu mertuaku? Mengapa dia mengenalkanku sebagai orang lain? Dan mengapa Bang Ridwan diam saja, sama sekali tak membelaku? Apa dia juga malu mengenalkanku sebagai istri kepada mantan pacarnya itu? Baiklah, akan kucari tau apa tujuan mereka. Kalau mereka ingin bermain-main denganku, akan kuikuti permainan mereka.

Bersambung ya...