Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 2

Part 2.

Aku segera menyudahi makan, lalu gegas melangkah meninggalkan mereka. Bang Ridwan dari tadi tak memperdulikan aku. Dia asyik ngobrol dengan mantan kekasihnya itu. Untuk apa aku lama-lama di situ, kalau hanya jadi kambing congek.

Aku terus berjalan menuju mobil yang terparkir di lapangan tak jauh dari lokasi pesta. Bang Ridwan memanggilku, aku tak perduli. Aku terus berlalu menjauhi mereka.

Air mata yang sejak tadi kutahan, akhirnya meluncur bebas membasahi pipi ini. Sakit rasanya hati ini. Lelaki yang selama ini kucinta dan kupuja, ternyata malu mengakui aku sebagai istrinya.

Bang Ridwan selama ini tak pernah mempermasalahkan penampilanku. Mau aku gendut atau kurus. Mau aku pakai make up atau tidak, dia selalu diam dan terkesan membiarkan. Apa mungkin selama ini Bang Ridwan hanya pura-pura mencintaiku? Padahal sebenarnya tidak. Aku hanya dijadikan sebagai pelarian karena Gita, pacar Bang Ridwan yang dijodohkan dengan orang lain.

Ya Tuhan, kenapa harus begini? Kenapa aku dihadapkan dengan persoalan serumit ini? Aku terduduk lemas di tanah. Aku menangis, tergugu dalam diam.

"Ngapain berdiri di situ, Ris?" ucap Mas Ridwan, tiba-tiba sudah berada di belakangku. Aku buru-buru menyapu jejak basah di pipi.

"Kamu nangis?" tanya Ibu mertuaku. Mungkin Ibu masih melihat mataku yang memerah akibat menangis tadi. "Gitu aja nangis, cengeng kamu tuh, Ris," tambahnya lagi. Siapa yang tak menangis kalau diperlakukan seperti tadi? Ibu juga pasti akan meraung-raung.

"Apa maksud Ibu mengatakan kalau aku hanya orang lain? Ibu malu mengakui aku sebagai menantu ibu?" tanyaku seraya menatap tajam pada Ibu mertuaku itu.

"Ya iyalah, masak penampilan kamu kayak gitu. Beda jauh sama si Gita, mantan pacar Ridwan tadi. Makanya, besok-besok kalau diajak pergi sama suami, dandannya yang bener. Masak putus dari Gita yang cantik menawan, dapatnya model kayak kamu," ujar wanita yang telah melahirkan suamiku itu. membuat hatiku tambah sakit.

Tega beliau berkata begitu. Biasanya juga begini, dan Bang Ridwan gak pernah protes.

"Apa Abang juga sependapat dengan Ibu?" Kualihkan tatapanku kepada Bang Ridwan.

"Maksud kamu apa? Kamu mau ngajak ribut di sini?" sahut Bang Ridwan agak kesal.

"Bukan ngajak ribut, Risa hanya bertanya. Buktinya Abang diam saja waktu Ibu mengenalkan aku sebagai orang lain. Dari tadi, Abang juga tak perduli padaku, malah asyik ngobrol sama perempuan itu. Apa Abang mau balikan sama dia?" ujarku sembari terisak.

"Sudahlah, Risa! Abang malas ribut. Kalau kau mau ikut pulang, segeralah naik. Atau mau tetap tinggal di sini? Terserah!" Bang Ridwan langsung naik ke mobil diikuti oleh ibu mertuaku.

Dengan perasaan berkecamuk, aku juga ikut naik ke mobil itu. Mungkin hari ini aku belum menemukan jawaban atas semua pertanyaanku. Tapi, aku akan terus mencari tau tentang hal itu.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan yang padat oleh kendaraan sore itu. Aku duduk tepat di belakang Bang Ridwan, menatap jauh ke luar jendela mobil.

Kejadian di pesta tadi masih terlintas di benakku. Segudang tanya, masih merajai hati. Apakah Bang Ridwan masih mencintai mantan kekasihnya itu? Apakah dia menikahiku hanya sebagai pelarian saja, karena kekasih hatinya dijodohkan dengan lelaki lain.

Kalau dibandingkan dengan wanita tadi, rasanya tak mungkin Bang Ridwan benar-benar mencintaiku. Gita, merupakan sosok yang begitu sempurna. Cantik, anggun, berpendidikan pula. Lelaki mana pun tak akan mungkin dengan mudah bisa move on, jika sudah menjalin kasih dengan wanita sesempurna itu. Begitu pun dengan Bang Ridwan.

Dengan penampilanku yang begini, wajah pas-pasan, tak pernah tersentuh skin care sedikit pun tubuh tak semampai, dengan tinggi badan 160 centimeter dan bobot tujuh puluh lima kilogram, membuat penampilanku seperti badut, besar di bokong, menonjol di perut. Pantaslah kalau Bude tadi mengira aku sudah ibu-ibu.

Sejak gadis, aku mamang sangat jarang memperhatikan penampilan. Boro-boro ke salon. Cuci muka pakai sabun muka saja aku tak pernah. Aku selalu tampil apa adanya.

"Biarlah begini, alami jadi akan terlihat istimewa tanpa polesan ini itu. Emak suka kamu apa adanya, lihat mereka kok malah kayak topeng monyet, wajahnya penuh lukisan." Begitulah kata-kata Emak kepadaku, lalu aku menurut saja.

Ternyata aku salah. Tak semua lelaki suka dengan penampilan yang apa adanya. Hanya satu diantara seratus, seperti Bang Ardi, lelaki kampung nan culun yang menaruh hati padaku namun tak pernah aku tanggapi. Walaupun Bang Ardi terkenal karena kepintarannya, dan memiliki pekerjaan yang mapan. Namun, tetap saja aku tak suka. Karena aku lebih memilih Bang Ridwan, pria dunia maya yang telah lama aku kagumi.

Waktu itu, aku hanyalah pengagum rahasia yang bersembunyi di balik akun bernama 'Risa01'. Perpaduan antara nama dan bulan lahirku. Aku selalu mengirimkan emot bergambar jempol tangan bahkan sering juga yang gambar hati pada postingan-postingan yang dibagikan oleh Bang Ridwan di aplikasi berwarna biru itu. Termasuk waktu dia membagikan foto liburan bersama Gita, kekasihnya waktu itu.

Aku sering berkhayal, andai aku jadi Gita. Pasti akan sangat bahagia sekali. Berdampingan dengan pria setampan Bang Ridwan.

Tak hanya itu, aku juga sering berkomentar pada status-statusnya. Aku begitu memujanya dalam diam. Memimpikannya di setiap tidur malamku. Berharap akan dapat bertemu dan menjalin hubungan nyata bukan di dunia maya.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Entah kesambet atau bagaimana, Bang Ridwan yang sedang patah hati itu. mengirimkan sebuah pesan melalui masenger. Aku tau dia patah hati dari status yang ditulisnya sebulan terakhir.

[Lagi apa? Boleh kenalan?] tulisnya waktu itu.

Pesan itu kubaca berulang kali sembari mencubit pipi dengan keras. Takut kalau-kalau itu hanyalah mimpi.

Dengan tangan gemetaran dan suhu tubuh yang mendadak jadi panas dingin, aku membalas pesan itu.

[Lagi baca pesan dari Bang Ridwan] tulisku langsung sok akrab.

[Tinggal di mana, Dek] tanyanya lagi, dan berhasil membuat jantung dag dig dug karena panggilan 'Adek' itu. Rasanya dunia ini dipenuhi dengan bunga-bunga yang indah. Senyum terus mengembang di bibirku yang tak begitu tipis, tapi sexi.

Kubalas setiap pesan dari Bang Ridwan sampai aku lupa waktu. Debaran-debaran di dada serasa tak menentu membaca setiap pesan yang masuk ke hapeku. Hampir setiap malam kami habiskan dengan berkirim pesan sampai tukar-tukaran nomor WA.

Hubungan kami terus berlanjut, sampai hari itu, hari yang tak dapat aku lupakan seumur hidupku. Bang Ridwan melamarku dan ingin segera menikahiku.

Bagaikan ketiban bulan, aku meloncat kegirangan sampai terjatuh dari atas tempat tidur dan membuat kakiku terkilir. Sungguh tak disangka, lelaki yang selama ini aku kagumi akhirnya duduk bersanding denganku di pelaminan.

Sungguh waktu itu aku tak menaruh curiga sedikit pun. Aku yang dimabuk cinta tak pernah menanyakan kenapa dia, lelaki tampan dengan pekerjaan yang cukup mapan, mau memperistrikan aku, seorang gadis kampung, tak begitu cantik, tapi manis, menurut Emak. Bukan juga berasal dari keluarga kaya, namun tak juga fakir, cukup memadailah kalau hanya untuk ketersediaan makanan di rumah. Makanya aku tumbuh subur begini.

Pernikahan kamipun berlangsung ala pesta di kampungku. Tak begitu mewah namun sangat istimewa. Tanpa pesta pernikahan sekalipun, aku akan sangat merasa bahagia karena dapat menikah dengan Bang Ridwan.

"Mau di dalam mobil aja, Ris?" teguran Ibu mambuatku tersadar. Sepanjang jalan melamun, jadi tidak tahu kalau ternyata sudah sampai di rumah. Bang Ridwan sudah tidak ada di depan stir mobil.

Aku turun dari mobil lalu masuk ke dalam rumah, langsung menuju kamar. Rasanya baju ini membuatku susah bernapas, karena aku memakai korset agar perutku tak terlalu kelihatan buncit.

"Besok-besok kalau beli baju, pilih yang kekinian ya, Ris. Jangan yang jadul begitu. Pakai make up yang bagus, masak pergi kondangan kayak mau ke sawah, gak ada warnanya wajahmu itu. Datar, polos, gak ada yang wah." Tiba-tiba Bang Ridwan mulai memgomentari penampilanku. Apa dia mulai membandimg-bandingkan diriku dengan Gita, wanita yang pernah mengisi relung hatinya?

"Iya, Bang," sahutku singkat.

"Abang mau mandi, gerah," ucapnya lagi sembari beringsut dari tempat tidur lalu menuju kamar mandi.

"Bang!"

"Apa lagi?"

"Handuknya." Aku mengulurkan handuk padanya. Kebiasaan, kalau ke kamar mandi selalu lupa bawa handuk. Giliran di dalam nanti tetiak-teriak.

Bang Ridwan mengambil handuk itu lalu menghilang di balik pintu kamar mandi.

Aku duduk di depan cermin seraya mematut wajahku di sana. Sebenarnya aku tak jelek-jelek amat. Kalau didandani seperti Gita tafi, wajahku juga tak kalah jauh dengannya. Hanya tubuhku saja yang tak selangsing Gita. Mungkin aku harus diet agar memiliki tubuh ideal seperti Gita.

Ting!

Sebuah notifikasi pesan berbunyi di hape Bang Ridwan, membuyarkan lamunanku. Hape itu tergeletak di atas ranjang. Tak hanya sekali, namun berkali-kali, membuat rasa penasaranku semakin tinggi.

Kuraih perlahan hape itu dan langsung membuka pesan yang baru masuk. Kebetulan hape Bang Ridwan memang tak pernah di kunci. Jadi aku leluasa membukanya.

[Udah sampai rumah, Bang?] tulis sebuah nomor yang diberi nama Gita. Idih, perhatian amat, ya.

[Jadi yang tadi itu istri Abang? Bude yang cerita setelah Abang pulang, tadi. Aku gak menyangka, bisa-bisanya Abang menikahi perempuan model begitu. Wajahnya kucel, body bak tong kosong. Jelas bukan tipe Abang, kan?]

Eh...asem. Dia main fisik.

[Abang sih, terlalu cepat mengambil langkah. Padahal aku masih berjuang agar kita bisa bersama. Abang gak sabaran. Ya, mau gimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Abang udah nikah]

[Tapi, kalau Abang masih ada rasa pada Gita. Gita mau kok balikan sama Abang]

Deg!

Deretan pesan yang baru saja dikirim oleh Gita, membuat jantungku berdesir, dan lututku seperti lemas tak berdaya. Cobaan apa ini? Gita masih mencintai Bang Ridwan. Bagaimana kalau Bang Ridwan juga sama dan mereka balikan? Ya Tuhan, tak dapat kubayangkan jika itu terjadi. Semoga Bang Ridwan tak menyambut kembali cintanya si Gita itu.

Apa yang harus aku lakukan? Aku tak mau pernikahanku hanya seumur jagung. Aku akan berjuang untuk keutuhan rumah tangga ini.

Aku harus bisa seperti Gita. Aku harus tampil modis seperti dia, agar Bang Ridwan tak berpaling lagi padanya. Aku pasti bisa.

Kuhapus pesan-pesan yang baru saja kubaca, agar Bang Ridwan tak tahu, kalau aku sudah membaca pesan-pesan itu.

Bersambung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel