Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 3

Part 3.

Pagi-pagi sekali aku sudah selesai menyiapkan sarapan untuk kami bertiga. Kucoba melupakan kejadian semalam. Aku tak ingin mencari ribut. Ibu mertuaku baru saja keluar dari kamar dan langsung menghampiriku.

"Masak apa, Ris?" tanyanya sembari menilik ke atas meja makan.

"Nasi goreng kesukaan Bang Ridwan, Bu. Ada sambal udang juga, sesuai permintaan Ibu," ucapku semringah, mencoba bersikap biasa saja, seolah kemarin tak terjadi apa-apa.

"Ridwan belum bangun?" tanyanya lagi.

"Sudah, Bu. Lagi pakai sepatu. Tuh, dia!" Aku menunjuk ke arah Bang Ridwan. Bang Ridwan berjalan ke arah kami, sembari menenteng tas kerjanya

"Bang, bolehkan hari ini aku pergi ke salon?" tanyaku hati-hati di tengah-tengah kegiatan kami sarapan pagi ini.

"Mau ngapain ke salon, Ris?" tanya Ibu melotot.

"Mau perawatan lah, Bu. Biar cantik," jawabku jujur.

"Perawatan? Sayang duit nya, Ris. Kamu itu, mau dirawat kayak gimana pun, tetep aja begitu. Makanmu itu yang harus kamu kurangi porsinya, biar gak tambah melebar tuh badan. Untuk apa wajah dipoles, tapi badannya tetap bongsor begitu," ujar Ibu tanpa jeda dan tanpa merasa kalau kata-katanya menghujam ke ulu hati.

Aku mengerling ke arah Bang Ridwan, dia tampak santai saja, tak sedikit pun mau membelaku atau pun menyetujui keinginanku.

"Sudahlah, Abang pergi dulu. Bener tuh kata Ibu, badannya dulu yang diperbaiki." Bang Ridwan langsung ngeloyor meninggalkan ruang makan.

"Tapi, Bang!" seruku mencoba menahan langkah Bang Ridwan. Namun, dia tak menggubris sedikitpun.

Kutatap kepergian Bang Ridwan dengan nanar. Ada jejak peri yang ditinggalkannya di sini. Sejak kemarin Bang Ridwan mulai menampakkan keberatannya dengan kondisi tubuh dan penampilanku.

Aku bingung, tak tau harus bagaimana. Padahal porsi makanku tak begitu banyak. Tapi rasanya, setiap hari tubuhku semakin melar saja. Semua yang dimakan langsung diproses jadi lemak. Bahkan baru baca doa makan saja, bobotku sudah bertambah.

Gimana caranya coba. Sejak gadis aku sudah terbiasa makan apa yang ada tanpa khawatir akan jadi gemuk. Aku tak pernah mengikuti program diet, apalagi ikut senam-senam kecantikan seperti yang dilakukan gadis-gadis lain. Aku bingung, aku tak tau harus memulai dari mana.

"Beresi piring kotornya ya, Ris. Ibu mau keluar sebentar. Ada perlu ke rumah Bu Merry." Ibu segera berlalu meninggalkanku yang masih terpaku.

Setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Aku mulai mencoba berselancar di dunia maya, untuk mencari informasi tentang tata cara diet atau senam yang dapat membentuk tubuh menjadi ideal.

Satu per satu artikel tentang diet itu kubaca. Tak ada satu pun yang mengena di hati. Semua membutuhkan biaya yang tak sedikit. Sedangkan aku hanya memegang uang pas-pasan. Bang Ridwan hanya memberi uang yang cukup untuk membeli kebutuhan dapur dan kamar mandi saja.

*

"Dari kemarin masaknya kok sedikit, Ris. Uang belanjanya kurang? Kamu belikan apa? Biasanya kan cukup untuk sebulan. Atau jangan-jangan uangnya kamu irit-irit agar kamu bisa ngumpul uang, trus kamu kirim ke orang tuamu di kampung, iya?" Ibu memberondong dengan serentet pertanyaan. Dalam satu tarikan napas pula dia ngomel begitu.

"Nggak, Bu. Uangnya masih ada dan cukup untuk belanja bahan makanan setiap hari. Tapi, mulai kemarin Risa diet, Bu. Sayang kalau makanannya kebuang. Jadi, Risa masak sedikit saja. Cukuplah untuk Ibu dan Bang Ridwan."

"Yakin dietmu akan berhasil? Kalau Ibu sih gak yakin. Kamu kan gak bisa makan hanya sedikit." Ibu tertawa mengejek. Aku akan berusaha Bu. Demi Bang Ridwan dan demi keutuhan rumah tanggaku. Semangat, Risa!

Dari pagi, tak hentinya aku mengerjakan pekerjaan rumah. Belum ada sebutir nasi pun yang masuk ke lambungku. Baru saja aku selesai mengepel lantai. Jam di dinding sudah menunjuk di angka dua. Perut sudah sangat lapar. Namun, kutahan sebisanya agar tak makan apa pun. Sejak tadi aku mengisi lambungku hanya dengan air putih saja.

Aku berjalan menuju ke kamar, ingin tidur siang agar rasa lapar ini bisa hilang. Kalau tidur kan, gak lapar lagi. Pikirku. Namun, tiba-tiba kepalaku pusing. Tubuh rasanya gemetaran. Keringat mulai mengucur deras. Mataku mulai berkunang-kunang, dan akhirnya pandanganku menjadi gelap. Aku limbung.

Saat aku membuka mata, aku sudah tak berada di rumah. Ada selang infus yang terpasang di tangan sebelah kiri. Kuperhatikan sekelilingku, tak ada siapa pun di sini. Dimana ini? Apa aku masuk rumah sakit? Tanyaku dalam hati.

Tiba-tiba, pintu ruangan tempatku berbaring terbuka. Bang Ridwan dan Ibu masuk bersamaan.

"Apa-apaan sih kamu, Ris? Mau cari mati?" ucap Bang Ridwan tiba-tiba.

"Maksudnya apa, Bang?" tanyaku dengan raut wajah bingung.

"Maksudnya apa! Kamu gak makan dari kemarin, kan? Kenapa? Mau mati? Aku gak mau ya di tuduh penyebab kamu begini. Apa masih kurang uang belanja yang aku beri, sampai-sampai kamu gak makan begini?"

"Katanya dia mau diet, Wan," sambar Ibu.

"Apa? Diet!?" Bang Ridwan tertawa lebar.

"Ris, Ris. Udahlah, jangan banyak tingkah. Kalau memang dari sononya bongsor ya tetap bongsor. Mau diet sampai mati juga, gak bakalan bisa langsing. Lihat! Begini jadinya. Langsing nggak, malah di infus. Jadi banyak biaya, kan?"

Seketika sudut mataku mengeluarkan butiran bening. Nyeri, sakit rasanya mendengar kata-kata Bang Ridwan. Aku begini semata-mata untuknya. Aku ingin teihat cantik sehingga dia tak lagi malu berpergian denganku.

"Sudahlah, gak usah diet segala. Syukuri aja bentuk badanmu yang sekarang. Dari pada Ridwan harus keluar duit lagi untuk pengobatanmu. Kan sayamg. Uangnya masih bisa digunakan untuk keperluan lain." Bukannya mendinginkan hati, Ibu malah menimpali dan semakin membuatku terluka.

*

Setelah dua hari dirawat di klinik. Aku pulang ke rumah dengan perasaan kecewa. Pupus sudah harapanku memiliki tubuh ideal. Bang Ridwan dan Ibu mengancam, jika aku sampai masuk rumah akit lagi gara-gara diet, mereka tak akan mau membiayai pengobatanku.

Ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Mau tak mau aku menghentikan program dietku. Aku makan seperti biasa dengan sedikit mengurangi porsinya dan tak makan camilan. Cukup makan tiga kali sehari. Yang penting ada makanan yang masuk ke lambungku dan membuatku kenyang.

Aku hanya bisa pasrah sembari berdoa, agar Tuhan selalu menjaga keutuhan rumah tanggaku, dan tak mengahdirkan orang ketiga dalam pernikahan ini. Aku sudah habis akal. Tak tau bagaimana lagi caranya agar bisa cantik paripurna. Coba aku punya uang sendiri, pasti tak begini jadinya. Aku mengeluh sendiri, meratapi nasib diri.

Oya, aku ingat. Suci, temanku di kampung, dulu badannya juga gemuk sepertiku. Namun, beberapa waktu lalu, sebelum dia menikah dia sudah langsing. Aku tanya saja padanya, apa resep yang membuat dia bisa langsing seperti itu.

Kuraih gawai yang kuletakkan di atas meja makan, lalu mencari kontak bernama Suci. Yes, masih ada! Semoga nomornya masih aktif.

Kutekan nomor telepon Suci pada layar ponselku. Tak lama menunggu, panggilan tersambung.

"Halo, assalammualaikum," ucap Suci dari seberang telepon.

"Waalaikumsalam. Suci, kan?" sahutku.

"Iya. Ini siapa, ya?" tanyanya. Aku mang sudah mengganti nomor ponselku. Nomor yang lama hilang beserta ponselnya sewaktu aku belanja di pasar.

"Ini aku, Risa, Ci. Masih ingatkan?" jawabku lagi.

"Oh, Risa. Ya, Allah. Apa kabar? Udah lama gak kedengeran kabarmu. Sejak nikah gak pernah muncul di kampung ya," ujar Suci sembari tertawa renyah di sana.

"Iya, Ci. Aku belum bisa balik. Masih repot di sini," sahutku malu-malu.

"Iya, iya. Paham deh. Oh ya, tumben nelepon aku. Ada apa, Ris?"

Aku menceritakan mengenai rencanaku untuk melakukan diet kepada Suci. Suci menyambut baik keinginanku itu. Karena, sejak di kampung dulu pun, dia yang bersemangat untuk mengajakku diet agar mencapai body goal. Tapi, akunya saja yang malas-malasan dan cuek dengan itu semua.

Setelah mendapat keterangan dan cara-cara diet yang dilakukan oleh Suci. Kami segera mengakhiri panggilan telepon. Aku bertekad, mulai besok aku akan melakukan program diet sesuai arahan Suci. Semoga berhasil.

*

Sebulan sudah aku menjalani diet sesuai petunjuk sabahatku itu. Alhamdulillah, berat badanku sudah mulai berkurang tiga kilo. Walau belum menunjukkan perubahan yang cukup banyak, namun aku senang, dietku membuahkan hasil dan menambah semangat untuk menciptakan body goal.

"Nih, ada undangan. Teman sekantor Abang mau nikah, besok!" ucap Bang Ridwan ketika baru pulang dari kantor, malam ini.

"Abang ajak Risa?" tanyaku hati-hati.

"Iya. Kenapa? Gak mau? Ya, sudah Abang ajak yang lain saja," ujarnya ketus.

"Ya, maulah, Bang. Masak pergi sama suami sendiri gak mau. Tapi...."

"Tapi, apa?" Bang Ridwan langsung menyambar karena aku tak melanjutkan kata-kataku.

"Risa tak punya baju yang bagus, Bang," ucapku lirih.

"Belilah!" Bang Ridwan menyerahkan uang kertas berwarna merah sebanyak tiga lembar, kepadaku. Aku sampai kaget, tumben dia sebaik ini.

"Tapi, besok, Abang tak menjemputmu ke rumah. Abang tunggu di tempat pesta. Kamu naik taksi ke sana, ya," ucap Bang Ridwan lagi, lalu berjalan menuju kamar mandi.

"Iya, Bang," sahutku pelan. Ada peta di dalam kartu undangan itu. Pasti supir taxi akan tahu alamatnya sesuai petunjuk peta itu. Tak perlu khawatir, Ris. Ucapku dalam hati.

*

Aku sudah bersiap untuk pergi ke pesta teman Bang Ridwan. Aku mengenakan gamis berwarna navi dengan eksyen payet di pinggang dan dada, dilengkapi dengan jilbab polos berwarna silver, yang baru kubeli tadi pagi.

Aku juga sudah memakai make up sendiri. Karena, uang yang diberi oleh Bang Ridwan tak cukup jika untuk membayar biaya ke salon. Aku mematut diri di depan cermin cukup lama. Rasanya semua sudah sempurna. Penampilanku sudah lebih lumayan dari pada waktu ke pesta Bude waktu itu. Semoga kali ini Bang Ridwan tak malu memperkenalkanku sebagai istri di depan teman-temannya.

Setelah berada dalam taxi selama kurang lebih satu jam, karena ternyata supir taxi tak tahu dimana alamat pesta tersebut. Akhirnya aku sampai juga ke tempat pesta diadakan. Aku turun dari taxi setelah membayar ongkos dan langsung berjalan menuju lokasi pesta.

Ting!

Sebuah pesan masuk ke aplikasi berwarna hijau. Segera kugeser layar ponsel untuk membuka pesan.

[Dimana, Ris? Kok belum nyampek dari tadi. Lama amat?] tulis Bang Ridwan.

[Ini, baru sampai, Bang. Tadi muter-muter gak tau tempatnya]

Segera kukirim balasan.

[Ya udah, langsung ke pintu utama. Abang tunggu di sini] tulis Bang Ridwan lagi. Bukannya nyusul ke sini, malah aku yang di suruh ke sana.

Aku langsung berjalan menuju pintu utama yang dikatakan Bang Ridwan tadi. Banyak sudah tamu-tamu undangan yang datang. Dari jauh, aku melihat Bang Ridwan sedang berbincang dengan beberapa orang wanita cantik dengan tampilan yang anggun dan menawan, membuat kepercayaan diriku luntur seketika.

Padahal aku merasa dandananku sudah sangat istimewa hari ini. Namun, jika dibandingkan dengan mereka, wanita-wanita yang sedang ngobrol dengan suamiku itu, rasanya aku jauh dari kata istimewa. Ya, ampun. Jantungku semakin berdebar kencang saat sudah sangat dekat dengan mereka. Takut, kalau Bang Ridwan malah jadi malu dengan penampilanku ini.

"Bang!" seruku memamggil Bang Ridwan. Bang Ridwan dan para wanita yang ngobrol dengannya menoleh bersamaan ke arahku. Lalu mereka pamit dan masuk ke dalam ruangan pesta. Tinggal Bang Ridwan sendiri di situ.

"Kalau tidak tahu alamatnya, harusnya perginya lebih cepat. Jadi, Abang tak capek menunggu," sungut Bang Ridwan dengan wajah kesal.

"Ini baju yang baru dibeli? Gak ada model lain apa? Lihat tuh, teman-temanku. Cantik dan anggun. Gayanya kekinian. Kamu, kayak ibu-ibu mau pergi pengajian. Malu-maluin, aja," ucap lelaki bergelar suamiku itu. Sakit rasanya hati ini, padahal aku rasa baju ini sudah sangat bagus. Tapi, tetap aja salah di mata Bang Ridwan.

Bang Ridwan lalu berbalik dan hendak berjalan masuk ke dalam ruangan pesta. Tiba-tiba....

"Bang Ridwan!" seru seseorang di belakangku. Aku dan Bang Ridwan menoleh bersamaan ke sumber suara tersebut.

"Gita!" seru Bang Ridwan pula. "Kok ke sini?" tanyanya lagi.

"Iya, Bang. Yang cewek, temenku waktu kuliah," sahut Gita dengan wajah semringah. Mata Bang Ridwan tak berkedip menatap Gita, yang datang dengan balutan gaun cukup ketat dan sexi,sehingga membentuk jelas pola tubuhnya. Gita memang sangat cantik hari ini.

"Kalau begitu, kita bareng aja, yok!" Bang Ridwan mengulurkan tangan untuk mengajak Gita berjalan masuk ke dalam ruangan, dan tak menganggap aku ada di sini.

Kedua insan yang pernah saling jatuh cinta, atau mungkin cintanya masih berlanjut sampai sekarang itu, berjalan bersisian masuki ruangan pesta. Aku ditinggal sendirian di luar. Kalau tau begini, lebih baik aku tak datang saja tadi.

Dengan langkah gontai aku berjalan memasuki ruangan pesta sendirian. Sampai di dalam ruangan, aku merasa sangat bingung tak tau harus bagaimana. Akhirnya aku berdiri mematung di dekat pintu masuk sembari memperhatikan orang-orang yang lalu lalang.

"Cari siapa, Mbak?" Tiba-tiba seseorang menyapaku dari belakang. Aku menoleh ke arahnya.

"Eh, Bang Firman, kan? Kok ada di sini?" ucapku penuh tanda tanya. Tadi pagi aku bertemu lelaki ini di toko baju, dia juga sedang berbelanja di sana.

"Iya, yang nikah teman Abang," sahutnya sembari menggaruk dahinya.

"Sendirian aja?" tanyanya lagi.

"Eh...anu, sama Bang Ridwan, Bang. Suami Risa," jawabku tergagap.

"Ridwan? Jadi kamu istrinya Ridwan? Baru tau. Dimana dia?"

"Lagi ambil makanan, Bang," sahutku sekenanya. Karena, aku sendiri tak tau di mana Bang Ridwan sekarang.

"Disini kamu rupanya, Ris! Malah asyik ngobrol sama pria lain. Eh, Bang Firman. Udah lama, Bang?" ujar Gita yang tiba-tiba saja sudah berada di belakang Bang Firman. sembari tersenyum manja kepada lelaki itu. Ternyata, Gita juga kenal dengan lelaki ini.

"Dimana, Bang Ridwan, Git?" tanyaku pada Gita.

"Di sana, di dekat pelaminan. Ke sana, gih!" kata Gita seolah ingin agar aku cepat-cepat pergi dari sini.

"Aku juga mau pamit, kok. Masih ada urusan lain. Aku pulang duluan ya, Ris," ucap Bang Firman lalu berbalik dan ingin melangkah keluar ruangan pesta.

"Kok buru-buru, Bang. Gita baru aja sampai. Temenin Gita dulu, dong." Gita menarik tangan Bang Firman, ingin mencegahnya pergi dari sini. Namun, ditepis dengan lembut oleh lelaki berwajah tampan itu.

Bang Firman berlalu tanpa menghiraukan rengekan Gita. Kulihat raut kesal dan kecewa di wajah Gita. Ternyata Gita itu bersikap manja tak hanya kepada Bang Ridwan saja. Mungkin sama semua laki-laki, dia begitu, ya.

Tapi, kenapa Bang Firman bersikap begitu kepada Gita. Dia seperti tak suka bertemu wanita sok manja itu. Apa yang terjadi diantara mereka?

Baru saja aku beranjak ingin menemui Bang Ridwan, dia malah sudah berdiri di depanku.

"Kita pulang sekarang! Abang mau istirahat." Bang Ridwan memasang raut wajah jutek.

"Tapi, Bang...aku belum makan atau minum apa pun," sahutku kesal.

"Kalau kamu ingin tetap di sini, silakan. Abang pulang. Abang capek!" Bang Ridwan berlalu meninggalkan ruangan pesta. Mau tak mau, aku mengikutinya dari belakang. Namun, seketika Gita mencekal lenganku.

"Makanya, mimpinya jangan ketinggian. Kamu tuh, gak sepadan sama Bang Ridwan. Bagaikan bumi dan langit." Aku tak menjawab apa pun atas perkataannya itu. Hanya mengerlingnya dengan tajam. Lalu melangkah menyusul Bang Ridwan.

Bersambung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel