Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 4. Tanda Merah Di Leher Suamiku

Part 4.

Pagi ini badanku rasanya tak enak. Kepala juga pusing. Sudah tiga kali aku bolak balik kamar mandi karena mual.

"Kok masih tiduran, Ris? Gak masak sarapan?" tanya Bang Ridwan yang baru selesai mandi. Biasanya jam segini aku sudah sibuk di dapur.

"Iya, Bang. Aku kurang enak badan," sahutku lemah.

"Kamu diet lagi?" bentaknya sambil melotot. .

"Nggak, Bang. Sejak pulang dari klinik aku sudah tak diet lagi." Dia tak tau selama ini aku sudah menhalankan program diet, tapi tak seperti waktu jtu, tak makan apa pun

"Lalu, kamu kenapa?"

"Ya, gak tau lah, Bang. Rasanya sangat tak nyaman. Mual, pusing, rasanya tak karuan." Aku kembali menyandarkan kepalaku ke bantal.

"Ya sudah, nanti kamu ke klinik itu lagi, ya. Ini uangnya." Bang Ridwan menyerahkan uang kertas berwarna merah sebanyak tiga lembar. Aku mengangguk lalu menyimpan uang itu ke dalam genggaman.

Tepat pukul 10 aku pergi ke klinik dengan menumpang taxi on line.

Setelah sampai di klinik dan melakukan pendaftaran, aku menunggu beberapa saat sampai petugas memanggil namaku. Serangkaian pemeriksaan kujalani. Hingga akhirnya aku mendapat hasil yang jelas, kenapa aku sebenarnya.

Menjelang malam, aku duduk di tepian ranjang. Jantungku berdebar tak karuam, menanti sang pujaan hati pulang dari kantor. Tak sabar rasanya ingin segera melihat wajahnya yang selalu kurindu setiap saat. Bagaimana kira-kira reaksinya nanti setelah menerima hasil pemeriksaanku.

Terdengar deru mesin mobil berhenti di garasi. Hatiku semakin berdebar-debar. Berulang kali aku merangkai kata, mencari kata yang pas untuk menyampaikan berita ini. Semoga ini merupakan awal yang baik untuk hubungan kami yang mulai terasa hambar. Ya, sejak peristiwa di pesta itu, Bang Ridwan jadi sering protes tentang penampilanku.

"Sudah pulang, Bang? Mau langsung makan atau mandi dulu?" tanyaku ketika Bang Ridwan masuk ke kamar.

"Mandi dulu lah, gerah. Oya, masih sakit?" tanyanya seraya meletakkan tas dan hape di atas nakas.

"Sudah lumayan, Bang. Ini hasilnya." Aku menyerahkan selembar kertas berisi hasil pemeriksaanku tadi siang.

"Apa ini?"

"Bacalah!" ucapku. Bang Ridwan mengambil kertas itu lalu mulai membaca dengan teliti.

"Kamu hamil, Ris?" tanyanya dengan mimik wajah terkejut.

"Iya, Bang, aku hamil," sahutku sembari tersenyum bahagia. Namun, Bang Ridwan hanya diam seraya membaca ulang hasil pemeriksaan itu.

"Kenapa, Bang? Abang tak percaya?" tanyaku seraya memperhatikan mimik wajah Bang Ridwan yang kelihatan tak gembira.

"Ah, bukan. Ya sudah, Abang mandi dulu, ya!" Bang Ridwan meraih handuk yang tersangkut di kursi lalu melangkah menuju kamar mandi.

Kenapa dengan Bang Ridwan. Kok seperti tidak bahagia mendengar kabar ini. Apa dia tak ingin segera memiliki anak dari pernikahan ini? Hatiku dirundung berbagai pertanyaan melihat sikap yang ditunjukan oleh Bang Ridwan barusan. Perasaanku jadi tak enak.

Hari berganti minggu, minggu pun berganti bulan. Kini, tiga bulan sudah usia kandunganku. Bang Ridwan mulai berubah, bahkan sangat jauh berbeda dari awal-awal menikah dulu.

Setiap hari dia selalu pulang larut malam. Beberapa kali kudapati aroma alkohol menguar dari mulutnya saat dia pulang ke rumah. Entah masalah apa yang sedang dia hadapi, hingga dia berbuat demikian.

Terkadang, Bang Ridwan bersikap perhatian padaku, menanyakan keadaanku, sehatkah, ngidamkah, mau dibelikan apa bahkan mencium perutku ketika hendak pergi ke kantor. Tak jarang pula, sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Jangankan menanyakan tentang keadaanku, mengusap perut ini saja dia enggan. Entahlah, semakin hari aku semakin tak mengenali suamiku itu. Sering aku merasa dia bagaikan orang asing bagiku.

"Abang kenapa? Kok kayaknya suntuk banget? Ada masalah apa, Bang?" tanyaku ketika mendapati Bang Ridwan bangun tengah malam dan duduk sendirian di ruang tengah dengan puntung rokok yang berserakan di sekitar kakinya.

"Gak ada! sudahlah, jangan banyak tanya, kamu gak akan ngerti apa-apa." Begitulah jawabnya setiap aku ingin membantu menyelesaikan masalahnya.

Dalam kehidupan rumah tangga, sudah sepantasnya suami-istri saling berbagi suka dan duka. Tapi ternyata, Bang Ridwan tak mau melakukan itu. Dia tak suka kalau aku terlalu ikut campur dengan urusannya.

Mungkinkah karena aku yang hanya tamatan SMA ini, makanya Bang Ridwan menganggap aku tak layak mengetahui masalahnya dan tak akan mampu memberikan solusi yang tepat, malah akan jadi runyam. Mungkin saja.

*

Hari ini, Bang Ridwan berjanji akan mengantarkan aku memeriksakan kandungan di klinik langgananku. Aku sangat bersyukur karenanya. Setelah sekian bulan aku mengandung anaknya, baru kali ini dia mau diajak ke tempat itu.

Tujuh bulan sudah usia kehamilanku. Tak terasa sebentar lagi aku akan menjadi seorang ibu. Semoga dengan lahirnya anak ini kelak, Bang Ridwan akan berubah. Aku berharap dia akan menyayangi anak ini sepenuh hati.

[Jam berapa ke dokternya?]

Bang Ridwan mengirimkan sebuah pesan tadi, sekitar pukul dua siang.

[Jam Lima sore, Bang] tulisku menjawab pesannya.

[Oke, tunggu Abang, ya! Nanti Abang yang antarkan] tulisnya lagi.

[Iya, Bang] jawabku singkat. Walau sebenarnya hati ini sedang berbunga-bunga. Akhirnya nya keinginanku tercapai, Bang Ridwan mau melihat janin di dalam perut ini.

Tak ada pesan lagi, setelahnya. Bahkan, sampai sekarang, Jarum jam yang bergerak tanpa lelah itu telah berhenti sesaat di angka sembilan. Sudah jam sembilan malam, tak ada kabar apa pun dari Bang Ridwan.

Aku mengira kalau dia lupa karena banyak pekerjaan yang harus dikerjakannya. Kucoba menelepon untuk mengingatkannya, tepat pukul enam tadi, hapenya tidak aktif.

Entahlah, mungkin sudah saatnya aku tak berharap lebih dari suami yang sangat aku cintai itu. Aku sudah lelah. Mungkin benar kata Emak waktu itu, aku terlalu gegabah menerima lamaran Bang Ridwan. Padahal aku belum kenal betul siapa dan bagaimana sikapnya. Aku terlalu menuruti hawa nafsu, terlalu senang dan bahagia karena orang yang selama ini kupuja-puja, tanpa ada angin, tanpa ada hujan menginginkan aku menjadi istrinya.

Nasi sudah menjadi bubur, aku sudah mengandung anak Bang Ridwan. Bagaimana pun, anak ini sama seperti anak-anak lainnya. Pasti membutuhkan kasih sayang dari ayahnya kelak. Sebagai Ibu, akulah tang seharusnya kuat. Aku harus tetap bertahan dengan semua sikap Bang Ridwan untuk satu tujuan, anakku harus mendapat kasih sayang yang utuh, dariku—ibunya dan juga dari ayahnya.

Aku melangkah gontai ke dalam kamar. Lelah sudah merajai hati. Sejak tadi aku menanti, Bang Ridwan, tak jua kembali.

"Sudah jam dua sebelas malam, kemana sebenarnya, Bang Ridwan?" gumamku sembari menatap layar ponsel di tanganku.

Ingin kucoba lagi menelponnya, tapi aku takut kena marah karena menganggu pekerjaannya. Seperti waktu itu, dia sangat marah karena aku bolak-balik meneleponnya. Padahal aku hanya ingin mengabarkan kalau Ibu jatuh di kamar mandi. Sebelum telepon itu beralih dari tanganku ke tangan Ibu, Bang Ridwan ngomel tak jelas padaku. Akhirnya setelah Ibu yang bicara, barulah dia pulang.

Malam semakin larut, suasana sunyi sepi , hanya detik jarum jam yang terdengar mengisi kekosongan hati. Entah mengapa, malam ini perasaanku gelisah. Padahal sudah biasa kekasih halalku itu pulang larut malam, bahkan sampai hampir subuh. Malam ini terasa beda.

Akhirnya, kuberanikan diri menelepon Bang Ridwan. Kulihat jarum jam sudah bertengger di angka satu. Kucari namanya di riwayat panggilan, lalu menekan layar bertuliskan namanya. Panggilan tersambung, namun tak diangkat.

Kuulang beberapa kali, tak juga ada sahutan.

"Ini yang terakhir," gumamku.

Alhamdulillah, diangkat. Bisik hatiku.

"Halo, Bang. Abang di mana?" tanyaku tak sabaran.

Kutunggu beberapa saat, Bang Ridwan tak juga menjawab tanyaku. Tak ada suara apa pun dari seberang. Hampir saja aku putus asa dan ingin mengakhiri panggilan itu. Namun, tiba-tiba saja indera pendengaranku menangkap sebuah suara aneh.

Kucoba menajamkan lagi pendengaran ini. Benar...ada suara di seberang sana. Tapi bukan suara Bang Ridwan yang menjawab pertanyaanku. Suara itu tak asing di telingaku. Suara desahan Bang Ridwan seperti saat kami melakukan ritual wajib layaknya sepasang suami istri.

Tak hanya suara desahan dari mulut Bang Ridwan, ada suara rintihan manja dari mulut seorang wanita.

Ya, Tuhan, benarkah firasatku ini. Bang Ridwan sedang bercumbu di sana. Dia melakukan itu dengan wanita lain.

Tubuhku seketika gemetar. Ponsel yang kupegang jatuh ke lantai. Sakit, nyeri dan perih membaur menjadi satu. Tetesan demi tetesan air mata berlomba keluar dari netraku.

Kejam! Bang Ridwan kejam! Kenapa, kenapa aku yang bernasib begini? Apa salahku? Kutatap nanar perut yang semakin membuncit ini, lalu mengusapnya pelan. Apa Bang Ridwan lupa, ada dia di sana, buah dari cinta kami.

Derasnya air mata semakin tak dapat kubendung. Ada luka di sini, yang kian menganga dan bertambah dalam. Ingin rasanya aku marah, melampiaskan kekesalan ini. Ingin rasanya aku lari dan pergi dari rumah ini. Tapi, bagaimana? Bagaimana dengan anak dalam kandungan ini? Aku tak mungkin tega melihatnya lahir tanpa didampingi oleh seorang ayah. Apa yang harus kukatakan pada anakku besok?

Ya, Tuhan berat nian ujian ini. Kuatkan aku. Beri ketabahan padaku. Aku akan berusaha bersabar dan bertahan, demi dia, demi zuriat yang ada di dalam sana. Aku ingin dia bahagia kelak.

Sampai pukul 3 Subuh, mataku tak terpejam barang sedetik pun. Aku masih terduduk lemah di sini, di tepian ranjang, berselimut duka dan air mata.

Terdengar olehku deru mesin mobil Bang Ridwan. Cepat kusapu jejak basah di pipi, lalu bangkit menuju pintu utama. Memutar handlenya dan menyambut lelaki bergelar suami yang telah menggoreskan sembilu di hatiku.

"Abang Mabuk?" tanyaku seraya mengalungkan tangannya di leherku lalu memapahnya untuk duduk di kursi. Waktu berjalan dari garasi tadi, dia sempoyongan. Aroma minuman memabukkan itu menguar dari mulutnya.

"Siapa yang mabuk? Cuma minum sedikit," ucapnya sambil tertawa.

Kondisi suamiku benar-benar acak-acakan. Bajunya sudah tak dimasukkan ke dalam celananya. Beberapa kancing baju juga tak terpasang ke lubang kancing.

Kubantu dia melepaskan sepatu dan kaus kaki dengan ikhlas. Ya, aku harus ikhlas dan banyak-banyak bersabar. Bukankah ada janji yang manis untuk orang-orang yang sabar? Semoga saja, manisnya buah sabar itu akan kudapatkan nanti.

Selesai melepas sepatu dan kaus kaki. Aku kembali memapah tubuh suamiku ke dalam kamar. Bang Ridwan langsung berbaring di atas ranjang.

Kubuka baju Bang Ridwan agar aku mudah mengepel badannya dengan kain basah. Namun, baru saja aku membuka kancing yang masih terpasang. Mataku menangkap sesuatu yang mampu memacu degup jantung menjadi tak beraturan. Ada tanda itu di sana. Tanda bekas kecupan dan meninggalkan memar kemerahan di leher Bang Ridwan. Tak hanya satu, tapi banyak.

"Astagfirullah." Tak hentinya aku melafazkan kata itu. Karena, emosi hampir saja merajai hati dan jiwa. Bang Ridwan sedang mabuk, tak mungkin aku meributkan hal itu dengan kondisinya yang tak sadar seperti ini. Bukan penjelasan yang kudapat, malah pertengkaran yang berujung kekerasan fisik.

Melintas di anganku, bagaimana Bang Ridwan tadi bercumbu mesra dengan wanita itu. Setiap jengkal dari tubuhnya telah disentuh oleh wanita lain. Satu per satu adegan menjijikkan itu muncul di kepala, membuat hati ini nyeri.

Tes.

Setetes air bening meluncur bebas, dan jatuh di dada bidang Bang Ridwan, yang sudah tertidur pulas. Kau yang meminta aku menjadi istrimu. Kau pula yang membawaku ke sini. Tapi, mengapa kau lakukan ini padaku. Apa sebenarnya maumu?

Kuusap lembut perut ini berkali-kali, semoga dia yang ada di dalam sana tak ikut menangis.

Bersambung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel