Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 5. Wanita Idaman Suamiku

Part 5.

Aku terkesiap ketika suara Azan mengalun dengan merdunya dari Masjid, tak jauh dari rumah ini. Mengapa suara itu mirip sekali dengan suaranya? Ah, mungkin hanya mirip saja. Tak mungkin lelaki itu ada di sini juga. Lelaki itu, Bang Ardi, seseorang yang pernah aku lukai hatinya karena sebuah penolakan. Dia sering mengumandangkan Azan di Masjid kampung.

Teringat kala itu, dia sering membantu Bapak mengarit rumput untuk makan kambing-kambing yang dipelihara Bapak di belakang rumah. Dia juga sering membantu membenahi atap rumah kami yang bocor. Dan masih banyak lagi bantuan-bantuan lain yang tak bisa kusebutkan satu per satu.

Awalnya, aku senang-senang saja melihatnya membantu keluargaku. Aku menghormatinya karena lebih tua dariku dan sikap baiknya kepada kami. Namun, sejak saat itu. Saat di mana dia menyatakan cintanya padaku, aku menjadi kurang respect bahkan sedikit membencinya. Aku menganggap semua bantuan yang diberikan pada kami, ada maksudnya.

"Ris, Abang ingin mengatakan sesuatu padamu," ucapnya kala sedang membantuku memberi makan kambing-kambing di kandang. Setiap hari minggu, dia selalu datang ke rumahku.

"Mau ngomong apa, Bang?" tanyaku tanpa menoleh sedikit pun padanya.

"Hemmm...Abang...Abang jatuh hati padamu dan berniat ingin melamarmu!"

Deg!

Degup jantungku jadi tak beraturan. Kutatap lekat-lekat wajahnya. Jadi selama ini dia baik pada kami karena ada maunya. Pikirku dalam hati.

Tapi, tak mungkin juga aku marah padanya. Aku tak mungkin melarang seseorang untuk jatuh cinta. Aku bingung harus menjawab apa.

"Ris...Risa!" Bang Ardi melambaikan tangannya di depan wajahku dan membuyarkan lamunanku.

"Iy—iya, Bang," ucapku cepat-cepat.

"Kau menerimanya?" Bang Ardi menatapku dengan senyum mengembang dan brsiap untuk sebuah gerakan celebration.

"Bu—bukan begitu maksudku, Bang. Abang salah paham." Seketika Bang Ardi menghentikan gerakannya.

"Lalu?"

"Aku mohon maaf, Bang. Tapi aku sudah lebih dulu menerima lamaran dari lelaki lain," ucapku hati-hati, seraya menatap manik matanya.

Aku bingung. Aku memang tak suka padanya, tapi, aku juga tak tega menyakiti hatinya. Semoga dengan jawabanku tadi, Bang Ardi paham dan menerimanya dengan ikhlas.

Bang Ardi menarik napas sangat dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Netranya tampak berkaca-kaca.

"Oh, begitu. Sayang...Abang terlambat. Semoga Risa bahagia bersama dia, ya. Boleh Abang tau, siapa lelaki beruntung itu, Ris?" tanyanya lagi dengan raut wajah penuh harap.

"Dia orang jauh, Bang. Bukan orang sini," jawabku lirih.

"Ya, sudah. Maafkan kelancangan Abang tadi. Abang tak bermaksud menganggumu. Abang permisi, ya."

Bang Ardi pergi meninggalkan aku sendiri yang masih berdiri memegang rumput. Sejak saat itu, dia tak pernah lagi datang ke rumah. Sampai saat aku menikah dengan Bang Ridwan pun, dia tak datang.

"Git, Gita!"

Panggilan Bang Ridwan mengagetkanku. Kenapa pula aku memikirkan Bang Ardi. Mana mungkin dia yang azan tadi.

Nama itu. Bang Ridwan menyebut nama itu. Tak adakah namaku di hatimu, Bang? Bahkan di dalam mimpi pun hanya mantan kekasihmu itu yang ada di pikiranmu.

Rasa lelah kian menyergap. Lelah jiwa dan raga. Sampai kapan semua ini akan begini? Sampai kapan aku mampu bertahan dengan semua penghianatan ini? Apakah aku harus memenangkan egoku, dan meminta cerai dari lelaki ini? Lalu, bagaimana aku menjelaskan pada anakku nanti, kenapa Ayah dan ibunya tak hidup bersama?

Bimbang dan ragu bertahta di hati.

Kutatap lekat-lekat sosok yang kini terbaring lelap di hadapanku. Aku begitu mencintainya. Sebenarnya hatiku masih bertanya-tanya, apa tujuannya menikahiku. Apakah dia benar-benar mencintaiku? Setelah melihat kejadian demi kejadian yang terjadi belakangan ini, rasanya tanyaku itu akan menemukan jawaban.

Aku yakin, Bang Ridwan hanya memanfaatkan aku dalam kondisinya yang patah hati. Dia hanya menjadikan aku sebagai pelarian saja. Sekarang, setelah dia tau bahwa wanita yang selama ini mengisi relung hatinya ternyata belum jadi menikah. Bang Ridwan pasti masih menginginkan Gita kembali padanya.

Lalu, apa yang harus aku laukan? Bagaimana membuang rasa yang begitu dalam ini? Aku juga sudah hamil anak Bang Ridwan. Aku tak ingin anak ini lahir tanpa hadirnya seorang ayah.

Ya, Allah, kuatkan hati ini untuk menerima kenyataan terpahit, bahwa Bang Ridwan menginginkan wanita lain, bukan aku. Aku yakin, suatu hari nanti, Dia, lelaki yang teramat kucintai, akan menyematkan namaku dalam hatinya. Hanya butuh sabar. Semoga!

Aku beringsut dari atas petiduran lalu menuju kamar mandi untuk melaksanakan kewajibanku seperti biasa.

Kutarik napas dalam-dalam sebelum aku memulai salat. Sedapat mungkin aku melupakan kejadian yang baru saja kualami. Namun, air mata itu tak dapat kubendung. Ia mengalir deras membasahi pipi dan jatuh di atas mukena putih ini.

Dengan bibir bergetar kubaca setiap bacaan dalam salat disertai deraian air mata. Dada ini kian terasa sesak, nyeri dan perih.

Hingga akhirnya, kulangitkan doa-doa kepada-Nya. Kupasrahkan hidup dan matiku kepada-Nya. Dia Maha tau, apa yang terbaik untukku dan bayi dalam kandunganku.

Bang Ridwan masih tertidur pulas, sampai aku selesai melaksanakan salat Subuh. Biarlah, aku tak ingin mengganggunya. Sebaiknya aku ke dapur dan mengerjakan pekerjaanku seperti biasa.

Baru saja aku melangkahkan kaki, ponselku berbunyi. Kuraih benda pipih itu dari atas nakas lalu menggeser tombol berbentuk gagang telepon berwarna hijau, kemudian menempelkannya ke telinga.

"Halo, assalammualaikum," ucap Emak membuka percakapan.

"Waalaikumsalam, ya, Mak?" sahutku gembira. Sejak menikah dengan Bang Ridwan aku belum pernah pulang ke rumah.

"Lagi sibuk, Ris?" tanya Emak seperti biasa kalau dia meneleponku, karena, dia tak mau mengganggu kalau aku sedang ada yang dikerjakan, katanya.

"Nggak, Mak. Baru selesai salat, kok. Ada apa, Mak?" tanyaku. Ada perasaan tak enak di hati, kenapa Emak meneleponku sepagi ini.

"Emak mau tanya, Ris. Kandunganmu kan sudah tujuh bulan. Apa gak ngadain acara tujuh bulanan? Kok Emak belum dikabari?" Aduh! Emak tanya soal itu. Aku harus jawab apa? Bang Ridwan atau pun Ibu mertuaku sama sekali tak pernah menyinggung soal itu. Ibu mertuaku bahkan tak pernah bertanya, sudah berapa bulan usia kandunganku ini.

"Halo...Ris! Masih di situ, kan? Kok gak jawab pertanyaan Emak?" Emak menegaskan pertanyaannya karena aku diam saja.

"Iy—iya, Mak. Nanti Risa tanya dulu sama Bang Rudwan dan Ibu mertua Risa. Kalau sudah dapat harinya, nanti Risa kabarin Emak. Apa Emak akan datang ke sini?" tanyaku balik.

"Ya iyalah, Ris. Emak kangen sama kamu. Lagian, itukan calon cucu pertama Emak dan Bapak. Pokoknya kalau kamu ngomong, Emak dan Bapak akan datang. Emak tunggu kabarmu, ya!" Emak langsung menutup telepon setelah mengucapkan salam.

Waduh! Bagaimana ini? Aku harus gimana? Tanya pada Bang Ridwan, dengan kondisinya yang seperti itu. Apa mungkin dia mau mengadakan acara itu? Lalu, Ibu? Pasti dia bilang acara itu hanya akan menghabiskan uang Bang Ridwan saja. Entahlah, aku jadi pusing memikirkannya.

Sembari mengupas bawang, aku terus memikirkan kata-kata Emak. Emak pasti kecewa jika calon cucu pertamanya tidak dibuatkan acara tujuh bulanan. Sebaiknya, aku mengutarakan hal ini pada suami dan mertuaku.

"Ridwan belum bangun, Ris?" tanya Ibu begitu dia sampai di ruang makan.

"Belum, Bu," jawabku singkat.

"Kenapa tidak dibangunkan? Apa dia tidak masuk kerja?" tanya Ibu lagi seraya menyendok nasi goreng ke piringnya.

"Risa tidak tau, Bu. Bang Ridwan sangat pulas tidurnya. Dia baru pulang jam tiga subuh tadi. Risa tak berani membangunkannya,"

"Kamu ini, masak dibiarkan. Kalau dia kena pecat gara-gara gak masuk kerja, gimana? Mau makan apa kita? Ya, sudah...biar Ibu yang bangunkan." Ibu beranjak dari kursinya menuju kamarku.

Tak lama, Ibu balik lagi dengan wajah cemberut dan ngomel-ngomel tidak jelas.

"Lain kali, kamu itu harus tanggap. Kalau bukan hari libur, bangunkan dia. Masak gitu aja gak tau," kata Ibu seraya mencebikkan bibirnya. Ibu melanjutkan sarapannya.

Aku jadi tak enak hati hendak menyampaikan masalah acara tujuh bulanan itu. Barusan saja Ibu ngomel-ngomel. Tapi, tak ada salahnya aku mencoba menyampaikannya.

"Bu, Risa mau ngomong," ucapku memulainya.

"Ngomong apa? Tinggal ngomong aja susah. Langsung saja, ada apa? Uang belanja kurang? Atau kamu mau ke salon lagi? Gak usah banyak gaya, syukuri aja apa yang ada," ucap Ibu panjang lebar. Belum juga aku ngomong apa-apa, Ibu udah kemana-mana.

"Bukan, Bu. Bukan itu. Risa...."

"Lalu apa? Ngomong yang jelas, jangan mencla-mencle," sambar Ibu tak sabaran.

"Begini, Bu. Usia kandungan Risa, kan, sudah tujuh bulan. Apa kita tidak perlu membuat acara tujuh bulanan?" tanya ku hati-hati, semoga Ibu tak marah.

"Aduh, Risa! Acara tujuh bulanan itu akan memghabiskan biaya yang cukup banyak. Sementara pengeluaran untuk bayimu itu saja sudah menguras kantong. Belum beli baju, popok dan segala keperluan bayi lainnya. Ibu rasa tak perlu lah. Tanpa acara itu, kalau memang bayimu itu sehat ya, lahirnya pasti akan selamat," kata Ibu sekenanya, langsung membuatku patah semangat.

"Tapi, Bu!"

"Tapi apa lagi, Risa?" Ibu berkata dengan suara tinggi sembari melotot padaku.

"Ada apa sih, Bu? Pagi-pagi sudah ngotot-ngotot begitu?" Bang Ridwan muncul di ambang pintu.

"Ini, si Risa. Ada-ada saja permintaannya. Minta dibuatkan acara tujuh bulanan," terang Ibu pada Bang Ridwan.

"Oh, aku pikir ada sesuatu yang penting," ucap Bang Ridwan seraya membetulkan letak dasinya.

"Apa anak ini tak penting bagimu, Bang?" tanyaku lantang.

Bang Ridwan mengerling ke arahku.

"Ya, sudah. Kalau kamu mau buat acara tujuh bulanan, buatlah! Terserah kamu saja! Aku pergi dulu, sudah telat," ucap Bang Ridwan lalu pergi meninggalkan kami.

"Gak sarapan dulu, Wan?" seru Ibu tak disahuti oleh Bang Ridwan.

"Ingat ya, Risa. Acaranya yang sederhana saja. Melahirkan itu butuh biaya yang banyak," ucap Ibu lalu beranjak dari tempat duduknya.

Bersambunag.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel