Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

9. Monyet dan Unta

Guys, aku kasih tahu, ya. Kita sebagai manusia, terutama perempuan, memang harus membiasakan untuk tidak terlalu memiliki tingkat kepercayadirian yang tinggi. Karena kalau semuanya tidak sesuai ekspektasimu, itu rasanya akan sakit. Dan malu.

Seperti yang aku alami saat ini. Kalau dipikir-pikir lagi, siapa pun yang tadi melihat tatapan siap perang Athar pada Bangcat, pasti langsung menebak jika selanjutnya anak itu akan memusuhinya. First impression itu sangat berpengaruh, bukan?

Nyatanya, jauh dari dugaan. Setelah Bangcat berjongkok di depannya, lalu memperkenalkan diri dengan gaya sok akrab, eh mereka jadi akrab sungguhan. Bahkan mereka akhirnya sibuk menjajal beberapa wahana di Timezone berdua. Dan yang membuat mulutkusampai menganga, bocah cilik itu dengan seenaknya membatalkan acara nonton demi bisa main bersama 'Om' barunya. Tidak bisa dipercaya!

"Onta lama!"

Athar langsung mengejek, begitu aku kembali ke tempat main mereka, setelah pamit ke toilet sebentar. Mereka sedang main wahana Street Basketball Hide. Hanya Bangcat saja yang lempar-lempar bola, Athar cukup jadi tim hore.

"Aunty kan cewek. Harus benerin make up dulu, dong," balasku.

Athar mencebikkan bibir, mengamati wajahku dengan lekat hingga kepalanya sedikit miring. "Digambar pakai krayon-krayon gitu kan?"

Aku memutar bola mata. "Terserah deh mau sebut apa."

Athar geleng-geleng kepala. "Kok malah jadi jelek? Kayak badut!"

Mataku melotot. Badut, bocil ini bilang? Wah wah wah! "Ngawur. Aunty nggak kayak badut, ya. Tanya aja Om Tompel sama Kak Dewa."

"Orang Omtom yang bilang gitu kok. Kak Dewa malah bilangnya kayak ondel-ondel."

Suara batuk yang jelas dibuat-buat, langsung terdengar. Saat menoleh, aku memergoki Bangcat yang menutup mulut dengan kepalan tangan. Dia menahan tawa. Sialan!

"Udah ah, Aunty mau pulang aja. Mau cari keponakan yang ganteng, imut dan nggak tukang ngejek." Aku membalikkan badan, pura-pura mau pergi.

"Yee, dasar cewek. Ngambekan!"

Badanku berbalik lagi. Entah seberapa besar lebar kelopak mataku sekarang. Athar menjulurkan lidah, mengolok. Bahkan Bangcat kali ini tidak mau repot-repot menahan tawa. Sabar, Nes, sabar.

"Ayo dong, Omdev, lempar lagi. Harus berhasil biar poinnya nambah!"

Dan mereka tidak lagi memedulikanku. Kembali larut dalam keasyikan seolah aku hanya makhluk tak kasat mata. Bukannya berharap sekali untuk diperhatikan sih, tapi aku di sini harus melakukan apa, coba? Masa nonton mereka?

Dengan cemberut, aku melangkah ke arah mesin pencapit boneka tak jauh dari mereka. Sejak dulu kala jaman aku masih memakai seragam putih merah, tidak pernah sekali pun aku berhasil membawa pulang boneka. Selalu saja gagal. Tapi entah kenapa, setiap main ke game center seperti ini, pencapit boneka tidak pernah kulewatkan. Meskipun ujung-ujungnya jadi mencak-mencak dan memaksa Dio bertanggung jawab dengan membelikan saja di toko boneka. Lebih praktis.

"Please...." Aku bergumam, sambil mengarahkan pencapit ke sebuah boneka Minion. Menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkatnya dan ... "Argh!"

Ini sudah tiga kali percobaan dan gagal lagi. Gila. Susah sekali permainan ini. Siapa sih yang menciptakan? Maksudnya apa bikin game menyebalkan ini?

"Yah, cemen. Masa gitu aja nggak bisa?"

Aku menoleh. Athar sudah berdiri di sebelahku, lengkap dengan ekspresi songongnya. Dan Bangcat berdiri di sebelahnya lagi.

"Eh itu bukan Aunty yang cemen. Emang game-nya aja yang nggak jelas. Sengaja banget pengen untung gede. Curang."

"Yee, nyalahin orang. Emang Ontanya aja yang payah."

Bangcat tergelak. Aku cemberut.

"Omdev sini deh, main. Kasih liat kalau Onta yang payah, bukan salah mesinnya!"

"Harusnya kamu dong yang buktiin."

Athar mengangkat dagu. "Diwakilin Omdev dulu. Athar kan belom jadi orang gede. Tugasnya nonton sama perintah-perintah."

Aku memutar bola mata. Dasar bocah songong. Dan herannya, Pak Dokter itu mau-mau saja menurut. Dia langsung maju, memintaku untuk bergeser. Di belakangnya, aku mencibir dalam hati. Tidak mungkin dia bisa. Orang permainannya saja susah begitu, kok.

Baru saja aku akan ikut menonton bagaimana Bangcat mengambil sebuah boneka dari mesin itu, tiba-tiba ponsel di dalam tas berdering. Saat mengeceknya, ternyata ada panggilan masuk dari Tante Rahma. Sedikit menepi, aku segera mengangkatnya.

"Iya, Bos?"

"Nes, gambar desain untuk Bu Witri, belum kamu kasih Tante, kan?"

"Yang tetangga maminya Dewa di KL itu, kan? Belum. Kemarin Tante bilang kasih hari Senin aja."

"Iya, sih. Tapi udah selesai?"

"Udah seratus persen."

"Kalau gitu kamu fotoin terus kirim ke Tante bisa kan? Bisa, dong? Pasti bisa lah, ya."

"Nggak bisa, Tante." Aku berdecak. "Aku lagi di Timezone. Jadi babysitter Athar."

"Ya pulang."

"Enak aja! Ini Minggu ya, Bos ya, kalau Anda lupa. Hari merdeka."

"Please dong, Sayang. Urgent banget ini. Bu Witri minta ketemu tiga jam lagi."

"Duh Tante." Aku mengacak-acak rambut. Semakin menepi karena agar tidak menghalangi jalan orang. "Sketsanya ketinggalan di apart Bangbi. Sedangkan aku balik ke rumah Papa."

"Ya diambil. Kamu antar pulang Athar dulu, terus langsung ke apart. Jarak Timezone ke rumah orang tua kamu juga nggak jauh-jauh amat, kan?"

"Rumah Papa ke apart yang jauh, Bu Boos!"

"Nggak nyampe tiga jam, Anak Buaah!"

Aku manyun. Begini kalau Tante Rahma sudah kehabisan cara. Pasti selalu mengungkit-ungkit posisi. Membuatku tidak bisa berkutik.

"Demi bonus lho, ini."

"Iya-iya. Bos mah bebas nyuruh-nyuruh." Tante Rahma tertawa. "Udah, aku balik sekarang. Tutup dulu teleponnya. Bye."

Sambungan kuputus begitu saja. Aku mengembuskan napas kasar, sambil menyimpan kembali ponsel ke dalam tas. Saat kembali mendekati dua laki-laki beda usia itu, aku terkejut karena Athar sudah menenteng dua buah boneka seukuran genggaman tangan.

"Itu dapat dari mana, Thar?"

Athar menyengir lebar. "Omdev dapat, dong. Emang Onta? Payah!"

Aku mencebikkan bibir, melirik Bangcat sekilas. Kalau saja pria ini Bangbi, atau Bangkev, atau minimal Banggi, pasti aku sudah merengek untuk minta diajari. Tapi karena ini adalah tukang pukul yang berprofesi sebagai seorang dokter, aku tidak akan berani. Bisa langsung dilempar ke kali Ciliwung, akunya.

"Tapi Athar nggak suka bonekanya. Athar kan cowok. Jadi ini buat Omdev sama Onta aja."

Aku mendelik ke arah Athar. Bocah ini, ya Allah.

"Om kan juga cowok," kata Bangcat sambil tertawa. "Kasih ke Onta aja dua-duanya."

"No no no!" Athar menggeleng berulang-ulang. "Omdev kan orang gede. Harus ngalah sama anak kecil. Jadi ini buat Omdev. Ini buat Onta."

"Kenapa Om dikasih yang boneka unta?" Bangcat bertanya lagi, sementara aku mengamati boneka monyet yang ditaruh Athar ke genggamanku.

"Onta udah punya. Athar kasih buat kado ulang tahun."

Aku melirik kesal. Seketika teringat ejekan Athar di hari ulang tahunku, beberapa bulan lalu. Katanya, hewan itu cocok dan sesuai dengan panggilannya untukku. Padahal, panggilan itu sebenarnya plesetan dari lafal 'Onti' yang berasal dari kata 'Aunty'. Tentu saja Athar yang menciptakan. Anehnya, hanya dia yang boleh memanggil begitu. Bahkan dulu sampai pernah hampir memukul Reza, keponakannya Banggi, hanya karena anak itu ikut-ikutan memanggilku 'Onti'. Aneh memang.

"Tapi Aunty nggak suka monyet."

Athar menatapku galak. "Ontaaa, jangan kayak gitu. Ini kan pemberian Omdev. Harus dihargai, dong. Masa udah gede harus diingetin?"

Aku menganga. See, siapa ini yang bicara? Dasar bocil!

"Iya, Pak Guruuu." Aku mengacak-acak rambutnya, membuat dia berlindung di balik kaki Bangcat yang hanya tertawa-tawa saja. "Ayo sekarang kita pulang."

"Ih kok pulang?" Athar kembali maju, menatapku protes. "Nggak mao!"

"Aunty harus kerja."

"Minggu kok kerja? Bohong ya? Pasti mau pacaran sama Kak Dewa. Iya kan? Ngaku!"

"Enggak. Kak Dewa kan masih di Bali." Aku menghela napas. "Ini kerja beneran. Tadi Aunty ditelepon Bos."

"Emang iya?"

Aku mengangguk. "Aunty antar Athar pulang. Terus Aunty pulang ke apartemen. Kerjaan Aunty ketinggalan di sana."

"Ih Onta mah!" Ekspresi protes Athar sekarang sudah berubah jadi memelas. Matanya mulai berkaca-kaca.

Aku tahu, meskipun kami saling berdebat, tapi dia ini yang paling kangen padaku. Menghabiskan waktu bersama seperti ini juga tidak bisa sering-sering kuberikan. Wajar kalau dia marah.

Aku mengusap kening. Berlutut di depannya. Mengusap-usap rambutnya. "Nanti kita main lagi. Kalau Aunty udah nggak sibuk, Aunty pasti bakal pulang ke rumah. Okay?"

Meski cemberut, Athar mengangguk berat. Kedua tangannya terentang. "Gendong, tapi."

"Sini sama Om aja." Bangcat dengan sigap langsung mengangkat Athar ke gendongannya.

Athar mengalungkan kedua lengan di leher Bangcat, tapi tetap menoleh padaku. "Nanti di mobil, Athar dipangku Onta."

"Aunty kan nyetir," balasku.

"Abang aja yang nyetir."

Aku mengerjap. "Motor Abang?"

"Tadi Abang nebeng Gio ke sininya."

"Ta-tapi–"

"Kamu keberatan kalau Abang nebeng kamu pulang ke apart?" potongnya, mulai ngegas.

"Enggak!"

Sebelah alisnya terangkat. "Bentak lagi?"

"Bukan ... okay, maaf." Bahuku melemas.

"Ya udah, ayo."

Bangcat berjalan memimpin. Aku mengekor di belakangnya, sambil mengamati boneka monyet yang masih kugenggam. Lalu tatapanku beralih ke arah punggung tegap Bangcat.

"Singa lebih cocok!" gumamku.

"Apa?"

Aku tersentak karena Bangcat tiba-tiba menoleh.

"Bilang apa tadi?"

"Enggak!"

Aku langsung berjalan cepat, mendahului mereka. Kenapa dia bisa dengar, sih? Dasar monyet!

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel