Pustaka
Bahasa Indonesia

Aww-dorable You

80.0K · Tamat
Septi Nofia Sari
59
Bab
4.0K
View
8.0
Rating

Ringkasan

Di dunia ini, Agnes paling takut kalau Papa dan Raihan mulai galak. Biasanya, itu terjadi kalau ia melakukan kesalahan yang benar-benar sudah keterlaluan. Ia yakin hanya dua orang itu yang bisa benar-benar membuat nyalinya lebur tak berbekas. Fabian terlalu lembut kalau disuruh tegas, sedangkan Panji, ia sudah sangat amat terbiasa dengan sikap dingin pria itu.Tapi ... nyatanya, ada nama yang ia lupakan. Seseorang yang ia sebut sebagai tukang pukul, di masa remaja. Seseorang yang membuat Agnes menciut, hanya dengan bertatap muka. Dulu ia bisa bernapas lega karena pria itu tiba-tiba tidak lagi muncul di sekitarnya.Namun hari itu ... Agnes kembali bertemu dengannya. Lagi-lagi, dengan situasi yang sama seperti pertemuan pertama. Lalu bagaimana jika di hari-hari berikutnya, pertemuan mereka semakin intens? Masa Agnes yang pemberani harus berubah jadi kelinci penakut? Ah Mama, Agnes mau lambaikan tangan ke kamera saja!

Cinta Pada Pandangan PertamaDokterWanita CantikDesainerRomansaSweetKeluargaMemanjakan

1. Tukang Pukul di Gang

Gila!

Ini benar-benar gila! Rasanya seperti de javu. Sayangnya, yang ini tidak mengenakkan. Kalau disuruh memilih, tentu saja aku mau mengalami hal yang sama itu dalam konteks yang menyenangkan. Ketemu Adipati Dolken, misalnya? Bukannya malah ketemu orang itu!

"Kalem dong, minumnya. Gue nggak bakal rebut, ini."

Aku berdecak, kembali menandaskan isi dari botol berukuran sedang yang hanya tinggal seperempat. Seseorang di depanku menopang dagu, tersenyum-senyum mengamatiku.

"Gue emang cantik, imut, manis dan ngegemesin. Tapi nggak usah gitu juga ngeliatinnya. Kalau lo jatuh cinta, gue males ngurusin hati berondong. Ribet!"

Mendengar ucapanku yang penuh percaya diri, namun merupakan sebuah kebenaran hakiki, dia mengumpat kecil. Aku malah semakin memasang pose tercantik yang kupunya. Dia mengernyit jijik. Lumayanlah menggoda anak ini, rasa takut dan gemetarku cukup terlupakan.

"Ngapain sih tadi lo lari-larian gitu? Keluar dari gang sepi, lagi. Mojok sama Mas Gende, jangan-jangan?"

"Mas Gende siapa?" Perasaan, aku tidak punya teman atau kenalan dengan nama itu

"Masa nggak kenal? Jahat banget lo!"

"Emang nggak tahu!"

"Itu lho, Mas Gende–" Dia menyengir, menaikturunkan alis. "–ruwo!"

"Sialan!" Aku spontan melempar pipet bekas minuman ke wajahnya, yang membuat dia mengernyit jijik.

"Jorok lo!"

"Abisnya lo kalau ngomong suka sembarangan." Bibirku tercebik. "Kalau ketemu Mas Gende, gue nggak bakal kabur kayak tadi. Malah gue ajak kongkow bareng!"

Dia tertawa. "Iya juga ya? Lo kan sejenis sama dia."

"Terserah!"

Tawanya makin keras. Aku mengusap wajah, menengok ke kanan kiri yang untungnya cukup sepi. Hanya pegawai minimarket dua puluh empat jam ini yang melongok keluar, mungkin mencari tahu siapa yang membuat keributan di jam setengah sebelas malam ini. Ini anak benar-benar bikin malu saja!

"Bisa nggak suara lo dikecilin dikit?" Aku menatapnya sinis. "Didatengin Mas Gende beneran, tahu rasa lo!"

Peringatanku membuatnya sedikit menurunkan volume suara. Walaupun tetap ada saja bantahan dari mulutnya yang susah diam itu. "Mas Gende nggak akan datengin orang terkenal abad dua puluh satu macam gue."

"Karena dia tahu lo penakut?"

"Karena dia takut silau sama kegantengan gue."

Aku memutar bola mata. "Narsistik!"

Dia tertawa lagi. Lalu menumpukan kedua siku di atas meja, dan sedikit mencondongkan tubuh ke arahku. "Gue serius. Tadi ngapain lo lari dari gang itu? Dikejar preman?"

Menghela napas, aku mengangguk samar. "Semacam itu sih. Bukan dikejar, tapi ngelihat doang."

"Lo ada utang sama preman?"

Mendelik, aku menggeplak kepalanya. "Emang muka gue ada tampang-tampang dililit utang? Sorry to say, uang bokap gue nggak bakal habis kalau cuma buat nampung sepuluh Agnesia Sinta, apalagi cuma seorang YouTuber nggak laku bernama Mahardika Dewa itu."

"Subscribers satu koma lima juta lo bilang nggak laku? Lo nggak lihat banyaknya fans Mahardhika Dewa itu mulai dari bocah yang pakai celana aja belum bener sampai emak-emak yang kalau naik motor mau belok nggak nyalain lampu sein tapi nggak sudi disalahin?" Dewa berdecak sombong. "Kalau mereka dengar, bisa abis lo."

"Bodo amat ya, Dek."

"Jangan panggil gue 'Dek'!" Dia menyentil kening, membuatku melotot. "Terus kenapa lo lari?"

"Ya karena ... gitu, deh."

Kubenamkan wajah di atas lipatan tangan. Hampir saja aku keceplosan mengatakan yang sebenarnya. Bisa ditertawakan kalau anak ini tahu. Ini gara-gara si Miko yang ngambek tidak tahu waktu, dan terpaksa harus di-IGD-kan terhitung sejak tadi pagi.

Ingatanku melayang pada kejadian sekitar satu jam lalu. Waktu aku di perjalanan pulang dari butik, Bangbi tiba-tiba telepon dan memintaku membeli bahan untuk sarapan besok. Karena sudah di atas boncengan Ririn, aku memilih untuk membeli di minimarket dekat apartemen. Jaraknya cuma setengah jam, jadi kalau dipakai untuk jalan kaki, lumayanlah untuk olahraga malam. Setelah selesai membayar barang belanjaan, aku berjalan santai meninggalkan minimarket. Ada jalan pintas dari minimarket menuju gedung apartemen Bangbi. Aku sering lewat sana tiap kali pulang joging. Tapi ini pertama kalinya aku melewati di malam hari. Aku tidak takut, karena pencahayaannya juga lumayan terang di sana. Biasanya juga tidak ada penjahat atau semacam preman, seperti yang digambarkan di novel-novel tiap kali menceritakan tentang sebuah gang. Jadi menurutku aman-aman saja.

Aku berjalan santai. Dengan telinga disumpal earphone yang disambungkan dengan playlist lagu di ponsel. Cuma sebelah kanan, agar tetap bisa mendengar suara lain di sekitar.

Bugh!

Langkahku terhenti saat itu juga. Kumatikan lagu. Aku menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Mengedikkan bahu, kuseret kakiku kembali melangkah.

Bugh!

Suara itu terdengar lagi. Sedikit samar, mungkin beberapa meter di depan. Bodohnya aku yang tadinya malem memeriksa ke belakang.

Bugh!

Kamu tahu kalau rasa penasaran itu bisa membunuh? Aku tidak tahu itu benar atau tidak. Tapi karena rasa itu sangat kuat, dan aku termasuk orang yang selalu memanjakan diri sendiri, makanya kupilih melanjutkan langkah. Dengan pelan-pelan, sedikit mengendap. Sumpah, aku ingin tahu ada apa di depan sana. Dan entah di langkah ke berapa, barulah aku bisa melihat apa yang terjadi. Kakiku seolah tertancap di tanah. Tubuhku menegang. Tas kertas berisi belanjaan kupeluk erat di depan dada. Mau balik arah, aku seperti kehilangan kekuatan. Aku menyesal telah menuruti rasa penasaran daripada logika.

Sementara di depan sana, dua orang itu sibuk dengan pergulatan tanpa saling bicara. Bukan pergulatan sebenarnya, karena yang kulihat satu orang berbadan tegap itu terus saja memukuli orang yang perutnya diduduki. Wajah menjadi sasaran utama. Suara hantaman dari kepalan tangan itu terdengar mengerikan, membuatku merinding ngeri. Orang dengan jaket hitam dan jeans biru pudar yang memunggungiku itu, seolah tidak mengenal kata ampun. Padahal si lawan sudah kelihatan tak berdaya dan pasrah.

Aku memiringkan kepala, mengintip sedikit orang yang masih dipukuli itu. Wajah babak belur itu kelihatan cukup tampan (atau imut?). Ada kacamata yang tergeletak tak jauh dari tempatnya terkapar. Dugaanku, itu miliknya. Bibirku meringis. Wajah pria itu jelas tidak cocok jika dia ditempatkan sebagai orang yang bersalah. Justru, menurutku dia akan sangat cocok jika direkrut jadi model untuk fashion week nanti.

Aku mendesis, memukul kepala dengan pelan. Bisa-bisanya di saat seperti ini aku memikirkan hal lain?

Lo harus cepet-cepet pergi sebelum ikut kesangkut masalah, bego!

Aku mengangguk. Lalu setelah menarik napas dalam-dalam, kugerakkan kaki untuk putar balik. Tapi sepertinya malam ini memang merupakan sebuah kesialan. Saat sudah bersiap akan lari, kepalaku dengan seenaknya menoleh. Lalu mataku terbelalak. Muka si pemukul itu, aku kenal. Karena itu tanpa ba-bi-bu aku segera lari. Aku mengayunkan kaki secepat yang kubisa, hingga di ujung gang, Dewa menemukanku.

Dan di sinilah kami sekarang. Di meja kecil depan minimarket tempatku belanja tadi.

"Udah malem, woy. Jangan molor di sini!"

Tarikan di ujung rambut, membuatku mendesis. Aku mengangkat kepala, mengerutkan kening menatap Dewa yang sudah berdiri. Aku baru akan bicara saat ponsel di saku kardigan berdering. Nama 'bangbi' terpampang di layar.

"Halo, Bangbi?"

"Kamu di mana? Kok belum sampai apart?"

"Masih di minimarket, Abang."

"Ngapain? Harusnya kamu sampai dari tadi, lho."

"Iya, ini mau pulang kok."

"Abang jemput."

"Nggak usah. Aku dianter Dewa."

Mendengar ucapanku, Dewa mendelik. Aku mengedip-ngedipkan mata, memasang ekspresi semelas mungkin. Dia berdecak, tapi tetap mengangguk juga.

"Ya udah. Abang tunggu."

Sambungan terputus. Aku menyengir pada anak kecil di depanku ini. "Sebagai cowok, lo kan harus bersikap gentle. Apalagi sama cewek cantik, imut, manis, menggemaskan, dan bikin semua kaum Adam klepek-klepek ini. Lo nggak kasihan kalau gue kenapa-napa? Lo nanti bakal kehilangan, lho. Dijamin–"

"Bad attitude control of tongue!" potongnya dengan nada jengkel. "Buruan!"

"Belanjaan gue bawain!" rengekku sambil bangkit berdiri.

"Ngelunjak!"

Walaupun begitu, dia tetap membawa tas belanjaanku dan berjalan cepat menuju motor miliknya. Aku menyusul langkahnya sambil tertawa kecil.

***