Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Bangcat

Keluar dari lift, aku berjalan santai menuju unit Bangbi yang berada di ujung lorong lantai ini. Cukup sepi, mengingat sekarang sudah jam sebelas. Waktu terlarut untukku berada di luar sendirian. Kalau saja Bangpan saat ini sedang tidak sibuk dengan jagoan kecilnya, mungkin dia adalah orang pertama yang akan mengomeliku.

"Kenapa malem-malem baru pulang?"

Baru saja membuka pintu, aku sudah dihadang dua orang pria dewasa yang selalu berada di belakang Bangpan kalau sedang mencerewetiku. Mereka melipat kedua lengan di depan dada, menatapku dengan tatapan galak yang sama sekali tidak cocok, apalagi untuk yang bersandar di dinding. Dia tidak cocok pasang muka seperti itu.

"Abis belanja, Bang."

Pria yang memakai kemeja putih lengan pendek, berdecak. "Bian telepon kamu udah dari jam sembilan. Sekarang udah jam sebelas. Beli barang sebanyak itu nggak mungkin sampai butuh waktu dua jam, kan?"

"Bangkev bawain!" Aku menyerahkan belanjaan pada pria yang bersandar di dinding. Yang diterima dengan tidak ikhlas. Lalu pandanganku jatuh pada sahabat Bangbi yang selalu menganggapku seperti Nara. "Banggi, tadi tuh aku ketemu Dewa di depan minimarket. Namanya udah seminggu nggak ketemu, ya kita ngobrol dulu lah. Kangen-kangenan."

"Kangen-kangenan apa?" Sosok pria lain keluar dari kamar kecil. Nada bicaranya lebih bersahabat dibanding Bangkev dan Banggi. "Udah Abang bilang, kamu nggak cocok sama berondong, Dek."

Aku cemberut, menabrak badan Banggi begitu saja dan memilih duduk di sofa panjang. "Emang kangen-kangenan harus sama pacar? Lagian aku nggak suka Dewa. Nggak tahu kalau Dewa. Secara, Agnesia Sinta kan susah banget ditolak pesonanya. Satu-satunya princess di keluarga Wijaya, yang bahkan sahabat-sahabat abangnya aja segitu care sama dia sampai protektifnya minta ampun. Duh, gini ya kalau jadi cewek can–"

"Tidur sana!" Banggi dengan semena-mena memotong ucapanku sambil duduk di lantai. Tangannya sibuk menambah volume televisi yang menayangkan pertandingan sepakbola. "Kamu kecapekan, kayaknya."

Aku mendelik pada Bangkev yang saat ini sukarela menata belanjaanku di kulkas. Putra tunggal Om Romi itu terbahak menertawakan ejekan Banggi. Kusandarkan kepala di pundak Bangbi yang duduk di sebelahku.

"Gitu tuh kalau gengsi. Nggak bakal ngaku kalau sayang dan care banget sama cewek cantik." Kupejamkan mata saat Bangbi mengusap-usap kepalaku. "Awas aja kalau tiba-tiba Banggi ngaku cinta. Ogah aku sama cowok tua nggak laku-laku kayak Abang."

Iya, di antara semua sahabat Bangbi, hanya Banggi yang memang betah jadi jomlo. Tentu saja yang lepas masa lajang lebih dulu adalah Bangpan, yang menikahi Kiara empat tahun lalu. Sedangkan Bangkev dan Bangbi sama-sama menemukan pasangan tahun lalu.

"Halu kamu udah kritis kayaknya ya, Dek." Banggi menyindir sambil terkekeh.

"Bahagia itu emang bermula dari halu, Abang. Masa gitu aja nggak tahu." Aku tertawa, karena pada akhirnya mereka bertiga juga tertawa. "Tapi sehalu-halunya aku, nggak bakal ngimpi disukain sama orang tua. Kasihan nanti Abang dituduh jadi pedofil."

Aku merasakan ada yang mengacak-acak rambut, dan ternyata itu Bangkev. Pria itu ikut bergabung bersama Banggi. "Abang doain kamu jatuh cinta sama cowok seumuran kita-kita, kalau bisa lebih deh. Aamiin."

Aku memukul pundaknya dengan keras. "Amit amit!"

Mereka bertiga tertawa. Aku makin manyun, dan memilih untuk menyamankan posisi dan kembali memejamkan mata. Lagipula aneh-aneh saja. Aku tidak mungkin berpacaran dengan laki-laki seumuran mereka kan? Walaupun cuma beda lima tahun, itu cukup tua. Aku maunya yang beda dua atau tiga tahun. Biar tidak terlalu jauh jaraknya.

Setelah itu, tidak ada obrolan lagi di antara kami. Para pria ini mungkin fokus dengan layar televisi. Sedangkan aku malah sudah hampir tidur. Kalau saja bel di depan tidak berbunyi tiba-tiba.

"Biar gue," kata Banggi.

Aku tidak terlalu peduli. Tidak juga berniat membuka mata. Paling yang datang cuma Dio.

"Datang juga lo." Banggi berkata ramah. "Kirain masih sibuk di rumah sakit."

"Ada urusan bentar tadi. Hei, Bi, Kev."

Kelopak mataku bergerak-gerak. Itu bukan suara Dio. Suara yang familiar, dan membuatku tiba-tiba saja mulai berfirasat buruk. Oh, tolong!

"Urusan yang lo maksud ada hubungannya sama kondisi muka lo?"

Pertanyaan Bangkev membuat ingatanku melayang pada kejadian di gang tadi. Aku semakin mengeratkan pelukan di lengan Bangbi. Aku ketakutan dan gelisah sekarang. Mau apa sih dia datang ke sini?

"Bisa jadi." Orang itu terkekeh. Dan aku bergidik. Suara kekehannya yang harusnya biasa saja, di telingaku terdengar penuh ancaman. "Lo ganti cewek, Bi? Yang kemarin lo kenalin bukan ini, kan?"

"Masa lo nggak ingat?" Banggi terkekeh. "Ini Agnes."

Ada jeda diam selama sepersekian detik. Jangan bilang orang itu sedang mengamatiku? Jadi takut!

"Yang dulu tembem itu?"

"Iya, yang tembem, gendut dan suka makan itu. Tapi sekarang ngakunya jadi cewek cantik, imut, ngegemesin!"

Ketiga pria selain orang itu tertawa. Aku tidak tahan untuk tidak membuka mata, sumpah. Sialan Bangkev!

"Dia denger lho, Kev." Duh, Bangbi kenapa pakai mencubit-cubit pipiku segala, sih? Dia pasti tahu aku memilih pura-pura tidur. "Nggak mau buka mata, Dek? Salam dulu sama Dave."

Aku merutuk. Harusnya Bangbi biarkan saja aku pura-pura tidur. Aku tidak memberi salam pada orang itu juga tidak jadi masalah, kan? Saat kubuka mata dengan terpaksa, tatapanku langsung bertabrakan dengan wajah orang yang belum ingin kusebut namanya. Mata agak sipit. Rambut gondrong yang dikuncir. Hidung mancung. Bibir tersinggung senyum tipis. Wajah dengan garis rahang tegas yang dihiasi lebam di bawah mata. Melihat luka bekas pukulan itu, detak jantungku melonjak.

"B-bangcat."

Senyum itu lenyap. Tatapan datarnya berubah tajam. "Kamu maki Abang?!"

Bangkev dan Banggi langsung terbahak-bahak tanpa lihat situasi dan kondisi. Aku gelagapan. Sialan. Kalau tahu begini, lebih baik tadi aku pulang saja ke rumah Papa!

"Kamu maki Dave, Dek?" Bangkev bertanya dengan senyum geli. Awas saja dia!

"Eng-enggak!" Aku melirik laki-laki yang kini hanya menatap galak sambil bersidekap tangan itu. "Nggak maki, kok."

"Lha terus tadi itu apa? Bilang bangsat-bangsat?"

"Kan namanya emang Bangcat!"

"Dari mananya?"

Aku memanyunkan bibir. Kali ini berani, karena laki-laki tadi sudah berjalan ke dapur dan membuka kulkas.

"Nama keduanya siapa?"

"Catra," jawab Bangkev.

"Berarti bener dong, aku manggilnya gitu?"

"Tapi jadi kayak maki, Dek," balas Bangbi.

"Tapi kan niatnya nggak gitu."

"Serius?" Bangcat yang kembali dari dapur, kini duduk di sebelah Bangkev.

Aku mengangguk. "Ng-nggak niat gitu kok. Sumpah."

Bangcat hanya berdecak kesal. Sedangkan tiga laki-laki lainnya sudah kembali terbahak. Aku mengerucutkan bibir. Lagipula, ngapain sih Bangcat kembali muncul lagi? Kan aku jadi tidak tenang.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel