3. Susahnya Desainer
"Kan udah sering gue bilangin, Nes, ubah kebiasaan lo yang suka menyingkat panggilan orang seenaknya."
Itu adalah komentar Rasti setelah puas tertawa bersama Kiara, atas ceritaku. Siang ini kami sedang berada di toko roti yang dikelola pacar Dio ini, untuk makan siang bersama.
"Banggi buat Bang Gio. Bangpan buat Bang Panji. Untung Bang Kevin lo panggil Bangkev. Kalau Bangke? Alamat diomelin Tante Intan, lo!" Aku dan Kia tertawa kecil. "Dan sekarang lo kena batunya karena seenaknya panggil Bang Dave dengan sebutan Bangcat!"
"Salahnya di mana, coba? Kan biar praktis. Dua suku kata lebih gampang diucap daripada empat suku kata. Ini namanya penghematan." Aku mengambil sebutir kue klepon dari piring dan memasukkannya ke mulut. "Bangcat aja yang kelewatan galaknya kayak tiger pregnant."
"Apaan tiger pregnant?" timpal Kia.
"Macan bunting!"
Rasti mendengus keras-keras. Kia terkikik. Kuulurkan tangan ke arah bayi lima belas bulan yang duduk di pangkuan istri Bangpan ini.
"Bimbim Sayang, sini sama Aunty."
Dan anak manis itu dengan cepat berpindah ke pangkuanku. Sekeping biskuit susu di tangannya sudah berpindah ke perut, dan aku segera mengambilkan yang baru. Balita kesayanganku ini memang sedang aktif-aktifnya. Dia sudah bisa berjalan meskipun sedikit-sedikit. Dia juga mulai bisa memanggil Bangpan dengan sebutan 'Baba' dan Kia dengan sebutan 'Bubu'. Itu adalah bahasa cadelnya Bapak dan Ibu. Sepupuku itu lebih memilih panggilan itu daripada panggilan-panggilan modern lainnya.
Tangan Bima pun ikut bergerak aktif dengan selalu mencoret-coret, sehingga Kia selalu membawa buku gambar kosong dan krayon setiap pergi ke manapun. Ah, dan jangan lupakan hobinya yang sangat mirip denganku. Apa itu? Yup, makan! Makanya tidak heran kalau tubuh anak ini cukup gendut, sama sepertiku dulu. Bahkan karena tidak bisa mengubah hobi itu, tubuhku tetap berisi bahkan hampir sampai lulus kuliah.
Untungnya, tiga tahun lalu Mama pelan-pelan membimbingku untuk melakukan pola hidup sehat. Bukan yang diet sampai membatasi asupan makanan, sih. Tidak sampai se-menyiksa itu. Aku hanya disuruh rutin olahraga, dulu setiap hari tapi sekarang cukup weekend saja. Sarapan pun sekarang aku hanya mengkonsumsi aneka kombinasi buah-buahan, entah dibuat salad, dimakan begitu saja, atau jus. Lalu sebisa mungkin menghindari makan berat lebih dari pukul tujuh malam. Hanya itu, dan alhamdulilah berat badanku kini mendekati ideal. Aku juga merasa lebih sehat.
"Oke, penghematan kata." Aku mendesah. Rasti ternyata masih mau membahas ini. "Tapi kan lo bisa panggil nama depannya aja. Lagian bukannya nggak ada yang manggil dia Catra? Jadi 'Bangdev', aja. Kayak yang lain lebih milih 'Dave'."
"Ogah. Berasa manggil mantan!" Aku bergidik, saat wajah menyebalkan si kampret berkelebat di kepala.
"Dave sama Bang Dave beda, Agnesia!" Saking gemasnya, Rasti merebut biskuit dari tangan Bima dan memasukkan ke mulutnya sendiri. Membuat balita itu berteriak protes dan aku segera menggantinya. Calon tunangan Dio itu tiba-tiba mencondongkan wajah ke arahku. "Atau lo berharap punya kisah kayak Kia sama Bang Panji, makanya kasih panggilan spesial buat Bang Dave?"
"Gila lo!"
"Agnes!" Kia menatapku protes, sambil menutup kedua telinga Bima dengan telapak tangan. "Language, dong."
"Sorry, Bubu." Aku menyengir. Lalu menoleh kesal pada Rasti. "Gue masih waras, ya. Gue cuma nggak mau kalau panggil dia 'Dave', bakal jadi emosi. Karena inget si kampret dan nggak ada yang bisa jamin kalau nanti gue nggak bakal mutilasi dia. Kan berabe kalau salah sasaran. Belum lagi, kalian kan tahu kalau gue selalu jadi kelinci pengecut tiap berhadapan sama Bangcat. Bisa bayangin, kan? Gue punya niat membunuh, tapi nggak bisa direalisasikan karena takut. Repot hati, lama-lama. Karena jelas gue bencinya sama tukang selingkuh kampret, bukan tukang pukul itu."
"Emang Kak Dave beneran tukang pukul? Setahu Kia, Kak Dave orang baik kok. Mukanya emang muka galak sih. Matanya emang tajam, suaranya juga tegas, walaupun nggak niat galak. Udah dari sananya."
"Karena lo belum pernah lihat gimana nyereminnya dia kalau lagi mukulin orang. Kayak orang kesurupan. Gue masih ingat yang kemarin malam di gang. Sembilan tahun lalu, juga. Terus, tiga belas tahun lalu. Gue masih nyimpen itu semua di sini." Aku menyentuh pelipis, dengan menggebu-gebu. "Dia kayak punya dark side, gitu."
Rasti dan Kia tertawa. "Dark side apaan? Ngaco lo!"
"Bodo amat kalau kalian nggak percaya." Aku meraih ponsel, membaca pesan masuk dari Tomi. "Lo dijemput Bangpan, Ki? Gue dijemput Tompel nih bentar lagi."
Kia menggeleng. "Kak Akbar lembur hari ini. Kia dijemput Daren."
"Oh." Sebisa mungkin aku menyembunyikan perubahan ekspresi, sambil memasukkan ponsel ke tas. Lalu mengembalikan Bima ke pangkuan Kia. "Udah mau sampai?"
Sambil menyamankan duduk si balita, Kia mengecek ponsel. "Oh, baru sampai depan."
Mataku mengerjap. "Kalau gitu gue ke toilet dulu."
"Nes?" Ekspresi Kia berubah tak enak.
Aku tersenyum tipis. "Santai, Ki. Gue cuma butuh waktu. Nggak lama kok. Gue kan cewek cantik, manis, imut, ngegemesin. Bakal–"
"Udah." Rasti berdecak sebal. "Sono kalau mau menghindar. Keburu Daren masuk, tahu."
Aku terkekeh kecil. Memeluk Kia singkat, lalu beralih mencium pipi Bima berulang-ulang. "Bye, kesayangan Aunty."
Setelah itu aku bergegas menuju toilet di toko ini. Di dalam, aku hanya mencuci tangan dengan sabun. Lalu memandangi pantulan wajah di cermin, pada gadis berambut sebahu dengan poni tipis itu. Senyumnya tersungging tipis. Sedang berusaha untuk diperlebar.
"Ingat ya Agnesia Sinta, satu-satunya cucu tercantik Kakek Danu Wijaya, lo nggak boleh galau. Senyum, okay? Cowok satu itu nggak pantes lo tangisin. Sip. You're the best!"
***
"Thank you, My Tompel!"
"You're welcome, My Grandong!"
Kami tertawa kecil, saling menepuk bahu masing-masing dengan gerakan ringan. Kuulurkan helm yang baru lepas dari kepala, teman sekaligus tetanggaku sejak kecil ini.
"Kapan lo balik ke rumah, Ndong? Betah banget di apart Bang Bian."
"Bukannya gue betah ya, Pel. Tapi mau gimana lagi? Sekarang tuh musim nikah. Banyak gaun yang harus gue rancang. Tiap hari gue lembur. Jelas gue milih apart Bangbi yang jaraknya lebih dekat, dong."
"Iye-iye. Gue nanyanya dikit, lo jawabnya nyerocos. Kebiasaan."
Aku cemberut. "Udah ah, sana lo balik."
"Giliran udah nggak dibutuhin, diusir." Tomi menggerutu. "Lupa kali ya siapa yang tadi jemput di tokonya Rasti, terus sore ini jemput di butik, terus traktir makan, terus anter sampai sini dengan selamat tanpa kekurangan."
"Uluh uluh Tompel ngambek, nih." Aku menguyel-uyel pipinya yang tirus. "Nggak baik lho ngungkit-ungkit kebaikan yang udah dilakuin. Nggak dapat pahala baru tahu rasa."
"Nggak bakal berlaku kalau orang yang ditolong itu sejenis elo!" Tomi menyingkirkan tanganku. "Udah sana masuk."
"Oke. Jangan kangen sama Agnes cantik, im–"
"Bacot!" Tomi mengibaskan tangan. "Hush hush!"
Cemberut, aku berbalik dan masuk ke gedung apartemen. Heran, tidak Rasti, tidak Tomi, tidak para abang, mereka suka sekali menyangkal kalau seorang Agnes memang cantik, imut, manis dan menggemaskan. Kapan ya ada yang mau tabah mengakuinya? Dering ponsel menjadi jawaban. Ah, bukan. Maksudku, menjadi pengganggu lamunanku. Tante Rahma yang menelepon. Ck ck ck ini pasti soal pekerjaan!
"Halo, Tante Bos." Senyumku mengembang menyapa resepsionis apartemen.
"Halo, Nes. Kamu udah sampai rumah?"
Aku memutar bola mata. Beberapa langkah lagi akan sampai pintu lift. "Please ya, Bos, nggak usah basa-basi. Pasti mau tanya kerjaan, kan?"
Tante Rahma tertawa di seberang sana. "Su'udzon deh kamu. Orang Tante perhatian gini kok."
Bibirku tercebik. "Iya, udah sampai apart dengan selamat tanpa kekurangan. Ini lagi mau sampai lift. Jadi, mau tanya desain yang mana?"
Tawa di seberang sana makin keras. Disahuti tawa dari sang suami. "Itu lho yang kemarin gaun punya Renata Salim. Kamu ingat?"
"Ingat banget. Udah aku kasih hasilnya, kan? Ada yang salah?"
"Bukan salah, desain kamu sempurna kok. Barusan tapi dia telepon Tante, minta ganti desain di beberapa titik."
"Itu udah berapa kali ganti model, Booos. Ya Allah, rewel banget sih tuh cewek. Tante kan tahu aku sampai skip tiap jam makan siang cuma buat ngerjain gaun dia. Seminggu, bukan cuma sehari dua hari. Anak pejabat sih anak pejabat, tapi nggak gitu juga kali!" Aku mendesah kesal. "Udah, reject aja kalau masih seenaknya."
"Nggak enak, lah. Keluarganya pelanggan setia kita dari jaman Oma Jeni, lho."
"Ya udah, ganti yang lain aja. Ririn atau Fani, kek. Aku nggak mau lagi. Lemburan aku banyak lho ini, Bos."
"Yah, jangan gitu dong, Sayang. Dari awal dia udah klik sama kamu, lho."
"Aku yang nggak klik!"
"Tolong sekali lagi ini aja. Cuma ubah di beberapa titik, kok, bukan keseluruhan. Kalau habis ini dia malah komplain, Tante baru lempar ke Fani. Oke, Agnesia?"
Aku mendesah sebal. "Iya, Bos, iya. Bawahan mah bisa apa selain nurut."
Tante Rahma tertawa lagi. "Thank you, Sayang. Tante kirim detailnya sekarang, ya. Jangan lupa istirahat, sahabatnya Kia."
Kutatap layar ponsel dengan kesal. Istirahat apanya kalau lemburan saja ditambah-tambah begini? Begini susahnya jadi seorang desainer, kalau lagi musim nikah. Banyak sekali orderan. Belum lagi klien rewel banyak mau seperti Renata Salim itu. Rasanya mau cuti saja, terus mengungsi di pantai. Kalau perlu, Bali sekalian!
***