4. Kecelakaan
"Baru pulang?"
"Kampret bang–" Aku menoleh cepat, bersiap memaki orang yang iseng membuatku terkejut sampai nyaris membanting ponsel ke lantai. Tapi suaraku langsung mencicit begitu tahu sang pelaku. "–sat."
Kedua alisnya bertaut, menunjukkan ekspresi tidak senang. "Mengumpat?"
"E-enggak, Bang, enggak. Cuma kaget, kok. I-iya, kaget." Welcome Agnes si kelinci penakut!
"Itu mukanya kenapa nahan kesal?"
"Enggak, kok. Biasa aja."
"Yuk, masuk."
Aku mengikutinya masuk ke dalam lift. Ini kenapa di dalam hanya ada kami berdua? Masa penghuni yang lain tidak ada yang mau naik? Sepi!
besok bisa jadi kan? *emot puppy eyes
Menempel di dinding dan mengambil jarak terjauh dari orang di depanku, aku menganga membaca pesan Tante Rahma.
yg bnr aja bos??
plis plis plis
yg desain lain gak usah dikerjain dulu gpp
tante traktir tenderloin besok
okay?
gak ada penolakan ya
tante sayang kamu ??
bisanya main kekuasaan!
males ?
Kumatikan layar ponsel lalu memasukkannya ke dalam tas, dengan kesal.
"Betein!"
"Apa?"
Aku gelagapan. Bangcat sudah berbalik, dan menatapku galak. Kedua lengannya terlipat di depan dada. Di salah satunya, tersampir jas putih yang kukenali dengan nama sneli. Rambut ikalna kali ini dibiarkan terurai sampai bahu. Serius ... Bangcat bisa setampan ini?
"Siapa yang bikin bete? Abang?"
Pertanyaannya membuatku kembali tergeragap. "Enggak kok, Bang. C-cuma kerjaan. Iya, itu."
Tadi itu lo ngapain muji si tukang pukul ini, Agnes? Gila lo!
Aku mendesah kasar. Kenapa sih kalau di depan dia, aku jadi bodoh?
"Kamu banyak lemburan?"
"Iya." Duh, kenapa pula lift ini rasanya seperti kura-kura? Jalannya lama!
"Semalam itu ... kamu, kan?"
"Semalam?" Keningku berkerut. "Ah, yang di apart Bangbi? Iya, aku. Tapi serius, Bang, aku nggak maki Abang kok. Aku emang kebiasaan nyingkat panggilan or–"
"Bukan di apart." Dia memotong dengan tidak sabar. Aku melongo bingung. "Yang sebelumnya. Di gang."
Aku mengangguk-angguk paham. "Oh, yang di ga–hah?!"
Mataku melotot. What the hell! Dia tahu kalau itu aku? Aduh. Gawat. Bagaimana kalau dia marah? Bagaimana kalau dia merasa dikuntit olehku? Bagaimana kalau nanti ganti aku yang dipukuli? Bagaimana kalau— eh kenapa dia jalan mendekat?!
"B-bangcat...." Aku semakin mendorong punggungku menempel di dinding lift. Benar-benar menempel, bahkan aku berharap tubuhku bisa menyatu sehingga orang ini tidak bisa menjangkau.
"Itu kamu kan?" Dia berhenti dua langkah di depanku. Tatapannya makin mengintimidasi. Aku menunduk.
"I-ya." Mengaku saja, toh tidak ada gunanya mengelak. Dia pasti mudah tahu kalau aku bohong.
"Terus kenapa lari?" Bangcat ini kalau bicara memang nadanya biasa saja, tidak membentak. Tapi tetap saja aku tidak bisa untuk tidak menciut. Aura galaknya sudah jadi ciri khas dia, di mataku.
Soalnya aku takut dipukul juga sama Abang! "Nggak mau ganggu."
"Jangan nunduk. Emang di lantai ada muka gebetan kamu?" Aku praktis menegakkan kepala. Dia tertawa mengejek. Sial! "Kenapa nggak mau ganggu? Emang kamu tahu apa yang Abang lakukan?"
"Be-berantem ... kan?" Akhir suaraku hanya berupa cicitan.
Lalu tawanya menggelegar. Kepalanya mendongak sambil tergeleng-geleng. Rambutnya bahkan sampai bergoyang ke kanan kiri. Tapi aku sama sekali tidak menikmatinya. Karena di telingaku, itu terdengar mengerikan. Apalagi, sekarang kakinya maju lagi, hingga sepatu kami bersentuhan.
"Diceritain ke abang-abangmu?" tanyanya, menunduk karena kepalaku hanya sebatas pundaknya.
"Enggak."
"Serius?" Aku mengangguk yakin. Dia tersenyum miring. "Padahal kalau cerita ya nggak masalah, jadi seru."
"Hah?" Maksudnya?!
Dia lagi-lagi tertawa. "Serius larinya karena nggak mau ganggu? Bukan karena ... takut?"
"Hah? Eng–enggak."
"Enggak apanya?"
"Nggak takut."
"Kamu nggak takut sama Abang?" ulangnya, sama sekali tak percaya pada jawabanku.
Aku menggeleng. Padahal jantungku mulai berdisko. Semoga dia tidak mendengarnya, ya Allah. "Bangcat kan d-dokter. Bukan penjahat atau ... atau preman. J-jadi ngapain aku takut?"
Tapi dia tukang pukul, Nes!
Bodo!
Lagi dan lagi, responnya hanya tertawa. Kalau saja dia ini Tomi atau Dewa, sudah pasti aku tidak akan ragu untuk memukuli dengan apa saja. Enak saja menertawaiku begitu. Memangnya aku badut? Sayangnya kan tidak bisa. Kalau aku pukul dia, tidak ada yang menjamin kalau dia tidak membalas dengan memutilasi tubuhku yang penuh pesona ini. Aku tidak mau itu terjadi. Aku belum nikah, please. Belum punya anak se-imut dan se-menggemaskan Abimanyu dan Atharva juga.
"Bang."
Iya, dia memang tidak memukulku. Tapi dia menipiskan jarak denganku. Wajahnya makin mendekat. Aku tidak bisa bergerak, bahkan untuk menundukkan kepala sekali pun. Kupejamkan mata rapat-rapat. Aroma musk memenuhi indera penciumanku. Kurasakan sapuan samar di kelopak bawah mata.
"Abang."
Kudengar dia terkekeh. Lalu tanganku ditarik, dan kedua jarinya diletakkan di telapak tangan. Saat kuberanikan diri membuka mata, yang kulihat hanya punggungnya yang menjauh, keluar dari lift. Bersama tawa yang mengiringi. Kubuka telapak tangan yang terkepal dan menemukan sesuatu, yang ternyata ...
... bulu mata.
"What?!"
Untuk apa dia bersikap sok mengintimidasi, seolah-olah akan melakukan sebuah kejahatan padaku, jika pada akhirnya hanya mengambil bulu mata? Padahal jantungku sudah mau copot.
"Bangcat sialan!"
***
J&P Collection adalah nama butik sekaligus brand tempatku bekerja. Sejak lulus tiga tahun lalu, aku langsung diterima di sini tanpa kesulitan. Didirikan oleh Oma Jeni, ibu dari Om Angkasa dan Om Bisma. Kedua bersaudara itu jadi keluargaku setelah menikahi Tante Bintang dan Tante Viny. Saat aku masih kuliah dulu, butik ini dipegang oleh Tante Bintang. Tante Viny dan Om Bisma meninggal di saat usia Bangpan menginjak angka lima, lalu Oma Jeni menyusul dua tahun kemudian. Karena tak ingin butik ini tutup begitu saja, akhirnya Tante Bintang turun tangan mengelola. Apalagi, adik bungsu Papa itu juga merupakan fashion designer.
Kedua cucu Oma Jeni semuanya laki-laki. Begitu Om Angkasa meminta Tante Bintang berhenti bekerja karena alasan kesehatan, butik ini beralih ke tangan Tante Rahma. Tantenya Kia itu memang sudah bekerja di butik ini selama bertahun-tahun dan menjadi orang kepercayaan. Karena itulah, aku yang sejak kecil tertarik dengan dunia fashion, begitu mudah diterima bekerja. Sedikit nepotisme sih, tapi bisa dijamin aku bekerja sungguh-sungguh dan bertanggung jawab. Bahkan tak jarang, Tante Rahma dengan tegas memarahi jika aku melakukan kesalahan.
Lebih dari tiga puluh tahun bersaing dengan butik-butik lain, J&P Collection tetap terkenal dan pelanggannya bahkan meningkat. Segala halnya diperbaharui sesuai perkembangan zaman. Dan sekarang, bukan hanya gaun-gaun formal saja yang disediakan, tetapi juga pakaian-pakaian kasual yang sering digunakan sehari-hari. Pelanggannya pun sudah beragam mulai dari kalangan atas sampai menengah ke bawah, dan berbagai macam usia.
"Nah, yang kali ini saya suka banget. Cocok!"
Jadi, tidak heran bukan kalau anak pejabat sekelas Renata Salim berlangganan di sini?
"Terima kasih." Aku tersenyum kalem.
"Mbak Agnes sabar banget sama permintaan saya yang gonta-ganti." Renata tertawa malu. "Maaf ya, Mbak? Namanya juga cewek, kan? Apa-apa harus sempurna, walaupun kudu rela ribet sedikit. Tapi itu bukan masalah, kan?"
"Nggak apa-apa, Mbak." Aku memperbaiki duduk di sofa, masih mempertahankan senyum. Ya iyalah tidak masalah, orang bukan dia yang mengerjakan desainnya. Dia tinggal tunjuk, ganti, sebut, ganti, beres, ganti lagi. Berasa jadi tuan putrinya Pangeran Harry kali, ya?
"Sekali lagi makasih ya Mbak. Maaf juga karena saya agak rewel. Tapi hasilnya jadi perfect banget, kan? Saya suka!"
"Santai kok, Mbak. Sudah tugas saya menyenangkan costumer." Wadah, mana, wadah? Mau muntah! Dia tidak tahu saja sebanyak apa umpatan yang keluar dari mulutku saat mengerjakan desain pesanannya.
Aku melirik malas ke arah Tante Rahma yang meringis, tahu benar bahwa aku ingin sesegera mungkin mengakhiri obrolan basa-basi ini. Selama mengerjakan desain pesanan pelanggan, aku memang lebih suka tampil di balik layar. Setelah pakaian itu sudah jadi dan diserahkan, biar saja mereka berterima kasih cukup pada Tante Rahma saja. Tapi tetap ada saja yang berlebihan seolah duniaku akan hancur kalau tidak mendapatkan ucapan terima kasih mereka. Contohnya ya Renata ini.
"Mbak Agnes baik banget, sih. Saya jadi malu."
Aku hanya tertawa singkat. Melirik jam di dinding, menghitung berapa menit lagi waktu makan siang tiba. Aku sangat-sangat lapar!
Mataku beralih saat benda persegi empat yang tergeletak di atas meja berdering. Sebuah panggilan masuk. Aku mengernyit, sedikit tertarik dengan wajah yang terpampang di layar menyala terang itu.
"Halo, David? Tunggu! Bentar, aku jelasin semuanya. Bentar aku ke tempat kamu. Ini aku lagi di butik ngecek gaun buat acara Papi bes– please sabar. Kita ngomong nanti, ya? Wait!"
Aku dan Tante Rahma saling bertatapan. Kalau nada bicara Renata ini biasa saja, mungkin kami tidak heran. Masalahnya, dia seperti panik. Seolah takut dengan si lawan bicara. Dan masalahnya lagi, aku merasa kalau nama David yang dia maksud itu adalah orang yang wajahnya muncul di layar ponsel tadi.
"Bu Rahma, Mbak Agnes, saya pamit dulu ya. Ini gaunnya saya bawa. Pembayaran sudah selesai, kan? Kalau begitu saya pergi. Permisi."
Aku dan Tante Rahma kembali bertatapan, lalu tawa kami tidak bisa ditahan lagi, tepat beberapa detik setelah Renata pergi.
"Nes, yang buat fashion week–"
Ucapan Tante Rahma terhenti saat lampu ponsel di genggamannya berkedip-kedip. Ekspresinya tiba-tiba berubah terkejut setelah membaca pesan entah dari siapa itu.
"Kenapa, Tan?" Aku tiba-tiba ikut merasa khawatir.
"Dewa kecelakaan."
***