Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5. You ... Don't Like Me?

"Sudah ya, Bu. Ini ATM dan struknya."

"Terima kasih."

Aku segera menerima ATM dan kertas bukti pembayaran yang diulurkan petugas administrasi itu. Meskipun sebenarnya agak keki juga karena dipanggil 'Ibu'. Please ya, Agnesia Sinta baru dua puluh lima. Belum ibu-ibu! Tapi ya sudahlah. Itu tidak penting. Karena yang terpenting adalah sekarang aku harus mengantar si bocah pulang.

Tadi setelah mendapat kabar bahwa keponakan suaminya kecelakaan, Tante Rahma langsung bergegas untuk pergi ke rumah sakit. Aku yang khawatir, langsung mengajukan diri untuk mengantar. Untung tiga hari lalu si Miko sudah sembuh dan bisa membebaskanku dari bepergian dengan ojol. Tapi saat sudah bersiap berangkat, bosku itu tiba-tiba kembali mendapat panggilan telepon. Kali ini dari guru PAUD Daisy yang mengabari kalau anak berumur empat tahun itu jatuh dari ayunan.

Dan kalian pasti bisa menebak akhirnya, kan? Yup. Tante Rahma menemui anaknya di sekolah. Dan aku yang dimintai tolong mengurus keperluan Dewa.

"Gimana? Gue udah boleh pulang, kan?"

Memasukkan ponsel ke saku rok, aku beralih memandang si bocah yang masih terduduk di brangkar IGD itu. Di dagunya terdapat lebam biru-biru. Di kening dan siku kanan, tertempel perban berukuran sedang. Pergelangan kaki kanan dililit kain elastis—aku tidak tahu namanya—untuk membantu meringankan nyeri dan tidak bergerak bebas.

"Ayo pulang." Aku menjawab singkat, sambil meraih ransel kuliah milik bocah itu dan menyandangnya di punggung.

"Bantuin."

Mendesah pendek, aku mengulurkan tangan yang langsung diterimanya. Setelah bisa berdiri, dia merangkul bahuku sebagai penopang, lalu kami berjalan beriringan. Jalannya tersendat-sendat dan pincang, membuatku iba. Tapi terlalu malas untuk bicara.

"Argh ... sakit!"

"Sial banget sih gue hari ini."

"Shit!"

"Pelan-pelan jalannya!"

"Sialan. Sakit banget ini kaki gue!"

Aku tidak menggubris gerutuan bocah itu untuk ke sekian kalinya, selama kami menyusuri koridor rumah sakit.

"Nes, ngomong kek! Sariawan ya lo?"

Berdecak, aku menoleh sedikit dan bersiap menumpahkan semua kekesalanku. Tapi spontan urung saat tiba-tiba ekor mataku menangkap sosok yang sangat kukenal, berdiri beberapa meter dari kami.

"Adaw!" Dewa mengaduh saat aku berhenti tiba-tiba. "Kalau mau berhenti ngobrol dulu, kek. Sakit kaki gue kesenggol ini!"

Aku tidak menghiraukan protesan Dewa. Mataku fokus pada dua orang yang terlibat pembicaraan serius, dilihat dari ekspresi wajah mereka. Sang perempuan yang berbicara cepat sedikit panik. Sedangkan sang pria memasang ekspresi datar, sambil menepis lawan bicara yang beberapa kali berusaha memegang tangannya.

"Gitu tuh kalau aura galak udah nempel," gumamku.

"Lo kenal mereka?"

Aku melirik Dewa yang bertanya, sambil kembali bertopang pada bahuku. "Bukan urusan lo!"

Dewa cemberut. "Kenapa lo jadi ketus gitu? Harusnya kan yang sensi itu gue, berhubung gue yang sakit."

"Bodo amat, ya!" Aku melepas rangkulannya, dan belok kiri meninggalkan Dewa di belakang.

"Nes!"

"Heh, Nes, tungguin kek!"

"Woy Mbak, kaki gue sakit ini!"

"Lo kok tega sama gue?!"

"Agnes...."

"Woy Agnesia Sinta!"

Memejamkan mata jengkel, aku membalikkan badan. Saat membuka mata, kulihat Dewa yang masih berdiri di tempat tadi, memasang wajah sok memelas. Masalahnya lagi, dua orang yang berada di belokan yang berlawanan denganku, juga menatap kami. Sang perempuan menatapku terkejut dan penasaran. Sedangkan sang pria malah langsung melangkah lebar-lebar mendekat, dengan muka galak yang sontak membuatku menahan napas. Bahkan saking cepat jalannya, dia sampai mendahului Dewa yang kini terpincang-pincang menyeret langkah.

"Agnes?"

Aku menunduk sebentar, lalu kembali menegakkan kepala. Kulirik Dewa yang berhenti melangkah, sedangkan perempuan tadi terlihat segera menyusul pria di depanku ini.

"Ngapain di sini?"

"Mau nonton sambil main game di Timezone, lah. Ngapain lagi menurut Bangcat?"

Kalau saja aku bisa langsung menyuarakan jawaban itu dengan mulut, pasti dunia akan gonjang-ganjing. Ayam melahirkan bebek. Singa jadi vegetarian. Dan burung bisa beranak. Realitanya, aku hanya bisa menjawab dengan pelan,

"Jemput teman, Bang."

Bangcat menoleh sedikit ke arah Dewa. Aku meringis, memilih untuk mendekati bocah yang kini cemberut itu.

"I-ini Dewa, Bang. Wa, ini Bangcat– maksudnya Bang Catra, temennya Bangbi."

Bangcat melirikku dan Dewa bergantian, lalu mengulurkan tangan pada Dewa. "David."

"Dewa, Om."

Melihat wajah Bangcat yang mulai keruh, aku langsung mencubit pinggang Dewa. "Kok 'Om', sih?"

"Ya teroos? Lo lupa gue manggil apa ke abang-abang lo?" balas Dewa cuek.

Aku berdecak pelan, menatap takut-takut pada Bangcat yang kini memasukkan satu tangan ke saku snelinya. Sial. Kenapa aku tidak bisa untuk biasa saja sih di depan tukang pukul ini?

"Mbak Agnes ... kenal David?"

Oh, aku melupakan satu orang lagi di sini. Renata Salim. Yang kini berdiri merapat pada Bangcat.

"Bangcat–ra ini temannya abang saya, Mbak." Aku tersenyum formal, melirik telapak tangan Renata yang sudah menempel di lengan Bangcat. Mereka ada hubungan apa? Pacar?

"Oh, begitu." Renata tersenyum lebar. "Kenapa nggak bilang kalau mau ke rumah sakit? Kan tadi kita bisa barengan, Mbak."

Ya mana gue tahu kalau lo mau ke rumah sakit! "Oh, tadi itu mendadak kok, Mbak. Teman saya ada sedikit kecelakaan."

Renata membulatkan mulut. Saat beralih menatap Dewa yang sok cool, dia tiba-tiba memekik. "Lho, kamu ... kamu Mahardika Dewa, kan?"

Anggukan Dewa diselingi senyum tipis. Aku menahan diri untuk tidak memukul kepala bocah ini. Sok-sokan kalem, padahal saat bersamaku, songong dan petakilan minta ampun.

"Oh ya ampun! Kamu YouTubers itu, kan? Yang suka mengcover lagu? Adik saya ngefans banget sama kamu, loh. Tiap hari nggak ketinggalan nonton video kamu. Semua sosmed kamu difollow. Bahkan foto-foto kamu dicetak gede-gede terus ditempel di tembok kamarnya!"

Aku meringis. Kuamati Dewa yang tertawa kecil sambil menggaruk pangkal hidung. Serius, bocah ini ada yang mengidolakan? Apa istimewanya, coba? Anak songong dan manja begini. Belum lagi, dulu bucin banget dengan Kiara.

"Ngapain lihat-lihat? Baru percaya kalau gue emang banyak fansnya?"

Suombongnya! "Bodo!"

Renata tertawa kecil. "Kamu kecelakaan? Terus gimana keadaannya? Duh, itu dagu sama tangannya sampai diperban gitu. Kakinya keseleo atau gimana?"

"Cuma kecelakaan kecil, kok."

Cih. Kecil, dia bilang? Lupa kali ya kalau tadi dia teriak-teriak karena sakit? Dasar pencitraan!

"Ayo balik." Aku menoleh ke arah Bangcat dan Renata bergantian. "B-bang, Mbak, kami harus pulang. Permisi."

Dewa langsung dengan sigap merangkul bahuku. Aku tersenyum pada dua orang dewasa itu, lalu bersiap pergi.

"Dek."

Aku urung melangkah. Bangcat sudah berpindah menghalangi jalanku, dengan wajah kaku. Heran saja, kapan dia berekspresi santai sih? Atau sekalian saja yang datar dingin seperti Bangpan. Bukan malah muka emosi begini.

"Abang ikut kamu."

"Hah?" Aku melongo.

"Kenapa? Nggak boleh Abang bareng kamu? Motor Abang di bengkel." Kan mulai ngegas!

"Dave, ngapain bareng Mbak Agnes, sih? Aku bisa antar kamu, lho."

"Nggak usah. Aku dan Agnes bertetangga." Bangcat menjawab, masih dengan menatapku.

Sedangkan aku ... mengangakan mulut. "Te-tangga?"

Bangcat mengerutkan kening. "Kamu nggak tahu?"

"Emang Abang tetangga aku? Sejak kapan?"

"Sejak tiga hari sebelum kita ketemu lagi. Abang pindah ke sebelah apart Bian." Bangcat berdecak tak sabar. "Makanya jangan sibuk sama dunia sendiri, sampai nggak sadar ada tetangga baru."

Jleb.

Aku menelan ludah. Menunduk, merasa dimarahi. Kalau saja bukan dia yang menyindirku, aku tidak akan takut untuk memberinya pelajaran. Sialan. Siapa dia berani mengomentariku?

"Jangan melamun. Ayo balik!"

Bangcat sudah berjalan lebih dulu. Bahkan tanpa berpamitan pada Renata. Aku menghela napas, menoleh pada perempuan yang menatap Bangcat bergantian dengan ... aku? Kenapa denganku?

"Saya permisi dulu, Mbak."

Setelahnya, aku dan Dewa menyusul Bangcat. Kali ini, si bocah sama sekali tidak bersuara. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Tapi baguslah. Karena aku memang sudah terlalu lelah untuk meladeninya.

Saat sampai di tempat si Miko berada, Bangcat sudah berdiri di sebelahnya. Oh ya, Miko itu adalah nama Mini Cooper kesayanganku yang berwarna merah muda. Aku mendapatkannya dari Papa dan Bangrai, sebagai hadiah wisuda. Dan kenapa Bangcat bisa tahu kalau mobilku adalah yang itu? Karena dia sendiri yang dimintai tolong Bangbi untuk mengambilkannya di IGD alias bengkel.

"Kunci."

Aku memberikan kunci Miko padanya. Setelah itu, aku membantu Dewa duduk di bangku belakang. Saat aku akan menyusul duduk di samping si bocah, Bangcat lebih dulu memberi perintah.

"Duduk depan. Abang bukan sopir."

Dewa menatapku protes. Tapi aku hanya mengangkat bahu, dan menuruti pria berusia tiga puluh itu.

"Agnes!"

Aku menoleh ke belakang, "Diem deh, Dek!"

Panggilanku membuat Dewa cemberut. Dia memalingkan wajah ke arah jalan. "Lo tuh kenapa sih hari ini sama gue? Ketus banget!"

Aku tidak menjawab. Lebih memilih memasang sabuk pengaman. Mobil bergerak meninggalkan rumah sakit. Langit sudah gelap. Aku mulai membayangkan bergelung di ranjang, tanpa perlu mandi dulu. Biar saja dibilang jorok. Rasa lelahku lebih penting untuk diusir.

"Nes!"

"Hm?" Kulirik Bangcat yang dari tadi diam saja. Dia seperti tidak terganggu dengan suara Dewa.

"Agnees!"

"Apaan?" Aku memejamkan mata, mengurut kening.

"Lo kenapa? Marah? Gue ada salah apa sampai lo cuek gini?"

"Kenapa? Keganggu karena biasanya lo yang nyuekin gue?" candaku.

Dewa berdecak kesal. "Lo marah karena Tante Rahma minta lo jemput gue di sini? Atau lo marah karena bayarin biaya berobat gue?"

Dasar Dewa sinting! Mana mau aku menjawab pertanyaan ngawurnya? Ponselku di saku rok bergetar. Ada notifikasi pesan SMS dari nomor tak dikenal. Kupikir, itu hanya berisi tawaran pinjaman online atau kartu kredit, namun ternyata ada namaku yang tertulis di baris pertama.

agnes apa kabar?

ini rendra

kpn km ada waktu? aku sm istriku mau ketemu

Kugenggam ponsel kuat-kuat, hingga buku-buku jariku memutih. Tukang PHP sialan!

"Elah, Nes, gue ganti besok. Kan udah gue jelasin kalau dompet gue ketinggalan di tempat Riki. Lo segitunya amat sih sama–"

"Mahardika Dewa!" Aku memekik keras. Kutolehkan kepala ke belakang, pada bocah sialan yang kini terkejut itu. "Lo mau tahu gue kenapa? Serius mau tahu?!"

"Nes...."

"Gue kesel karena lo bego!" Bocah ini melongo tak mengerti, tapi aku tak berniat memberinya kesempatan untuk bicara. "Gue tanya sekarang, berapa ratus kali gue bilang buat jangan berantem? Jangan berantem. Jangan berantem. Jangan berantem! Tapi lo terlalu bego buat ngertiin omongan gue!"

"Nes–"

"Lo nyuruh gue ngomong kan? Sekarang gue ngomong, lo diem!" Tanganku mengacak kasar poni yang menempel di dahi karena keringat. Aku sudah menahan ini dari sore tadi. Dan saatnya untuk menumpahkannya pada bocah ini. "Apa gue harus diem aja waktu tahu kalau keadaan lo yang kayak gini bukan karena kecelakaan, tapi karena berantem di kampus? Gue harus biasa aja, gitu? Jangan tanya gue tahu dari mana, karena lo pasti bisa nebak sendiri."

Dewa mengumpat pelan. Pasti dia mulai tahu bahwa Riki, asistennya itu, yang memberitahuku. Bukan memberitahu, tapi karena tadi aku yang memang memaksa. Mungkin kami dikenalkan hanya lewat Kia dan Tante Rahma, empat tahun lalu. Mungkin pertemananku dengannya tidak selama dengan Tomi yang sudah kutahu luar dalam, sejak aku lahir. Tapi sejak kami dekat dan sering bertemu untuk mengobrol yang isinya kebanyakan hal tak berfaedah, aku sudah menganggapnya penting. Seperti halnya Kia dan Rasti.

"Wa, gue peduli sama lo." Aku menghadap lagi ke depan. Menolak untuk tetap bertatapan dengan bocah itu. Dan memilih memejamkan mata sambil menyandarkan kepala di kaca jendela. "Gue nggak mau kejadian pas lo SMA, keulang lagi. Gue benci orang-orang di dekat gue terlibat dengan kekerasan. Gue benci setengah mati sama tukang berantem dan ... tukang pukul."

Setelah itu hanya hening yang menyelimuti kami. Dewa tak lagi bersuara. Lebih baik aku pura-pura tidur. Bicara penuh melankolis seperti ini, apalagi di depan Bangcat, sangat menguras tenagaku. Mungkin dia mulai berpikir yang tidak-tidak karena ungkapanku. Tapi biar saja. Toh, penilaiannya padaku sama sekali tidak penting.

Bahkan sampai di rumah Om Ari, aku hanya membantu Dewa berjalan tanpa berkata apa-apa. Bocah itu juga diam. Tapi aku tahu dia berkali-kali curi pandang ke arahku. Aku tidak akan luluh secepat ini. Biar dia bisa berpikir! Tidak ada dua menit aku berbasa-basi dengan Tante Rahma juga, lalu pamit. Bangcat mengendarai Miko dengan kecepatan sedang. Dia tidak berbicara apa-apa, bahkan melirikku pun tidak.

Semakin dekat kami menuju gedung apartemen, perlahan kesadaranku mulai muncul ke permukaan. Aku baru sadar bahwa rentetan omelanku pada Dewa tadi, mungkin saja bisa menyindir Bangcat. Astaghfirullah, bahkan aku terang-terangan bilang membenci tukang pukul!

Mampus lo, Nes!

Mobil berhenti di basement. Tubuhku makin kaku. Apalagi saat menyadari kalau pria di sebelahku belum juga membuka kunci pintu. Aku malu sekali. Tapi rasa maluku kalah jauh dengan rasa takut yang kini mulai mencengkeramku. Bagaimana ini? Bagaimana kalau Bangcat tersinggung dan akan menghabisiku malam ini juga? Di mobil? Disaksikan oleh Miko?

"Jadi,"

Suara rendah Bangcat membuatku tersentak. Aku menoleh takut-takut, dan terkesiap ketika melihat wajah kakunya. Jemariku yang bertautan, makin banyak memproduksi keringat dingin.

"B-bang ... aku ... tadi aku ... aku nggak niat ... serius nggak ... nggak nying-gung ... A-bang–"

"Dek."

Aku bergidik. 'Dek'nya dia itu bukannya terdengar manis, tapi menyeramkan!

"Kamu—" Bangcat memiringkan kepala. "—nggak suka Abang?"

Hah?

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel