Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8. Jaga Diri Ala Bangcat

"Ayo, Onta!"

"Bentar dong, bocil. Ini Aunty parkirin Miko dulu."

"Ditinggal di sini aja kenapa, sih?"

"Ngalangin orang jalan, Pinteer." Aku tersenyum gemas campur jengkel, masih sambil berusaha memarkirkan Miko di tempat yang luang. "Entar digerek sama polisi, Aunty nggak mau, ya!"

"Onta bawel!"

Aku hanya mendengus. Setelah berhasil parkir dengan baik dan benar, barulah aku menekan tombol buka pada pintu yang sedari tadi tidak sabar ingin dibuka oleh anak tunggal Bangrai ini.

"Duitnya jangan lupa dibawa. Athar nggak mau ya nanti ditahan Pak satpam kalau Onta nggak bisa bayar!"

Aku mengelus dada. Ya Allah, kuatkan hati hamba dalam menghadapi keponakan songong, bossy, dan petakilan ini. Aamiin.

"Ayo dong jalannya cepetan, Onta. Dasar cewek!"

Aku berdecak, meraih sebelah tangannya untuk digenggam agar bocil ini berhenti lari. "Kamu yang jangan lari-lari. Nanti kalau kamu ilang, Aunty nggak bakal nyari. Biar aja entar Ayah sama Bunda cari anak lain yang kalem, nggak kayak kamu!"

"Ih, nggak boleh, Ontaaa!"

"Ya makanya jadi bocah jangan petakilan!"

"Iya-iya." Dengan bibir manyun, akhirnya bocah cilik ini rela tangannya kugenggam.

Kami berjalan memasuki gedung pusat perbelanjaan dengan langkah santai. Sebenarnya, Minggu pagi ini aku sudah punya rencana untuk tetap santai di rumah bersama Papa dan Mama. Tapi ternyata kedua orang tuaku malah ada pertemuan rutin dengan para sahabat Papa.

Dan karena katanya kasihan melihatku kesepian, Bangrai memintaku menemani Athar nonton. Sedangkan dia ingin quality time dengan istrinya demi kesuksesan proyek untuk menghasilkan anak kedua. Semalam, Bangrai sudah memesan tiket di bioskop untuk tiga orang, tapi karena hanya kami berdua yang menonton, ya sudah yang satunya jadi mubazir.

"Filmnya masih entar tiga jam lagi. Kita mau ngapain dulu?" tanyaku, ketika kami sudah berdiri di lantai satu.

"Mandi bola!"

"Oke."

"Eh eh, enggak, ding." Athar mendongak, menggoyang-goyangkan tautan tangan kami. "Main game di Timezone!"

"Ookee."

Aku mengajaknya naik eskalator. Dia mepet-mepet, mendongak dengan tatapan memelas. Aku yang tahu maksudnya, hanya menghela napas. Lalu menggendong badannya yang bisa dikatakan sangat berbobot ini. Ini salah satu kelemahan Athar, takut naik eskalator.

"Onta, jangan langsung ke Timezone!"

Menggeram, aku menatapnya sambil berusaha keras menahan kesal. "Terus mau ke mana?"

"Beli chiki dulu. Terus beli susu melon."

"Iya, Sayaaang."

Heran, keponakanku yang satu ini rewelnya minta ampun. Semua maunya harus dituruti. Efek jadi anak satu-satunya ya itu. Semua orang di rumahku memanjakannya, tapi hanya aku yang memang agak tidak akur dengannya. Mau bagaimana lagi? Lebih mudah menjahili bocah ini daripada bersikap lembut seperti yang selalu dilakukan Kia haha.

Kami membeli beberapa cemilan bermicin dan susu melon kesukaan Athar. Setelah itu, baru ke Timezone. Game center itu cukup ramai dikunjungi oleh para pengunjung dari berbagai usia. Kebanyakan yang memang sekeluarga, menurut pengamatanku. Maklumlah, weekend selalu jadi pilihan untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Beda dengan Bangrai dan Kak Widya yang malah melempar anaknya ke aku.

Wahana yang pertama kali dituju si bocil adalah Animal Kaiser. Dia langsung bergabung bersama anak-anak lainnya. Sebenarnya aku dipaksa ikut main di sebelahnya yang masih kosong, tapi aku malas. Dengan sedikit debat kekanakan, akhirnya aku menang. Beberapa orang tua melihatku sambil geleng-geleng kepala, tapi aku muka tembok saja. Toh, tidak ada yang kenal ini.

Karena di dekatnya disediakan beberapa bangku plastik, dan aku memanfaatkannya untuk duduk. Animal Kaiser, walaupun harga satu kali mainnya cukup mahal, tapi Athar selalu lupa waktu dan mengulang-ulanginya hingga puas. Akan sangat pegal kalau aku harus berdiri menungguinya. Lebih baik sambil mengecek pesan-pesan yang masuk ke ponsel, kan?

Rasti

*sending a picture

morning ciwik2 ??

Kia

morning

cie yg lg date sm pcr

Rasti

iye dungs

emg sepupu ipar lo yg JOMLO????

Kia

agnes gak jomlo kok tp single berkualitas

Rasti

hilih iti mih bihisi ilisnyi iji

bihisi giilnyi titip JIMBLI???

Kia

rasti mah

Rasti

ya sori dedeq suka khilap qaqa?

lg pd ngapain nih?

Kia

kia di rmh date sm bimbim sm babanya

*sending a picture

Rasti

??IH UCUL BIMBIM PGN GW CULIK TP TAKUT DIGOROK BANG PANJI

Kia

???

agnes mana nih?

Rasti

iye diem2 bae msh mlr lo nes?

Kia

mlr apaan??

Rasti

ya suka2 lo mau ngartiin apa molor ato melar???

Aku memiringkan bibir, menahan umpatan karena ejekan Rasti yang sangat-sangat menistakanku. Heran, akhir-akhir ini dia semakin sering mengolok-olokku karena status yang masih sendiri. Sama saja dengan calon tunangannya alias adik Bangpan alias Diodoran Kampret itu. Setiap bertemu selalu saja mengajakku adu mulut.

Me

helloooooo agnes princes papa andro cambek ada yg rinduuu?

teros ras teros aja nistain gw

msh gw liat

gak tau aja lo klo jaman skrg karma tuh cpt bgt datengnya

Ki itu bimbim guanteeeng bgt cih ??

btw gw lg jd induk si athar nih

Kuarahkan kamera ke arah Athar, lalu mengirimkannya ke grup. Balasan datang tidak lama kemudian, tapi belum sempat membuka, tiba-tiba aku merasa tidak nyaman. Dan benar saja saat menoleh, ada tiga orang remaja yang duduk di sebelah bangku, memandangiku sambil senyum-senyum. Keningku berkerut, balik menatap tajam mereka. Tapi bukannya takut atau minimal malu karena kepergok, mereka malah makin melempar senyum genit. Mataku melotot.

"Apa lo?" tanyaku, galak.

Salah satu dari mereka, yang memakai jaket bomber, tertawa kecil. "Cuma mau kenalan, Mbak."

"Mbak Mbak! Sejak kapan gue nikah sama mas lo?!"

"Uuu galak sih, mbaknya. Makin ngegemesin, deh." Dan mereka tertawa lagi.

Aku memutar bola mata. Iya sih, aku ingin sekali ada yang mengakui kadar menggemaskanku yang tinggi. Tapi tidak bocah kemarin sore begini, kali!

"Heh heh, ngapain masih liatin gue?" Aku berdiri, berkacak pinggang saat tahu mereka makin intens menatapku. "Mau gue colok satu-satu, mata lo?!"

Si jaket bomber itu ikut berdiri, mendekatkan wajahnya ke arahku. "Sini colok, Mbak. Pakai bibir tapi, ya."

Aku menggeram. "Sia–"

"Dek."

Panggilan itu membuat umpatanku kembali tertelan. Pundakku menegang. Bibirku mengatup. Ketiga remaja ini tidak lagi mengarahkan mata ke arahku, tapi ke balik badanku. Perlahan, kuputar leher untuk menoleh.

"B-bang...."

Pria itu melirikku sambil mengusap rambut gondrongnya yang tergerai, lalu menatap tajam tiga remaja kurang ajar itu. "Mereka teman kamu?"

"Bu-bukan, Bang."

Dia mengangguk paham. Aku bergidik, sedikit menggeser badan saat menyadari kilatan emosi mulai tampak di sepasang mata gelapnya.

"Serius kalian mau dicolok pakai bibir cewek ini?" tanyanya santai. "Itu artinya cium, kan?"

"Eng-enggak, Om. Kita ... kita cuma bercanda."

"Iya, Om."

"Iya, Om."

Mereka bertiga sudah menciut di tempatnya. Aku menipiskan bibir, tidak tahu mau tertawa atau takut.

"Tidak masalah kalau mau dicium dia–"

"Bangcat!" Tanpa sadar, aku meninggikan suara sambil menatapnya protes.

Bangcat menoleh ke arahku dengan senyum miring. "Dia memang menggemaskan, kan?"

Wajahku memanas. Bukan karena tersipu. Please ya, dia mengatakan itu dengan tatapan meremehkan. Dan aku tersinggung!

"Oh ya," Bangcat kembali menatap ketiga remaja itu. "Setelah kalian dapat itu, kalian akan dapat bonus gratis menginap di ICU."

Lalu sahabat Bangbi ini tertawa ringan saat melihat mereka membelalak terkejut.

"Bagaimana? Tawaran yang menarik, kan? Tenang, saya dokter, kok. Saya bisa tentukan berapa lama kalian bisa menikmati fasilitas gratis–"

"Ma-maaf, Om. Kami salah. Kami nggak akan ulangi lagi. Mbak, kami minta maaf. Permisi."

Setelah salah satu dari mereka mengucapkan rentetan kalimat dengan suara penuh getar itu, mereka bertiga langsung pergi. Bahkan bisa dikatakan mereka nyaris berlari. Aku mengembuskan napas. Lega karena bocah-bocah kurang ajar itu akhirnya pergi, tapi juga takut pada pria yang berdiri di sebelahku ini.

Bangcat berbalik memunggungiku. Aku tidak tahu untuk apa. Tapi bisa kulihat kedua bahunya naik turun dengan cepat. Belum sempat aku menarik napas, dia sudah kembali membalikkan badan. Kakiku sontak mundur karena ngeri dengan tatapan galak dan penuh emosi miliknya.

"Kamu senang?" tanyanya dengan suara tertahan. Aku mengerjap. "Kamu sengaja kan biar digoda kayak gitu?"

"E-enggak." Dia gila, ya?

"Terus kenapa kamu pakai baju kayak gini?"

Dengan bingung campur takut, aku menunduk. Memeriksa penampilanku yang rasanya normal-normal saja. Hanya rok jeans warna putih dengan panjang di bawah lutut, dan blus off shoulder berwarna biru laut. Bahkan atasan yang kugunakan ini tidak menerawang. Roknya juga tidak sependek kemarin saat dia protes, kok.

"Maksud Abang?" Aku kembali mengerjap, menatapnya tak mengerti.

Dan matanya melotot. Dia berdecak, tanpa banyak kata langsung melepas jaket army yang membalut badannya dan melemparnya ke arahku. Yang tentu saja refleks kutangkap.

"Pakai."

"T-tapi Bang–"

"Harus Abang yang pakaikan?"

Dengan tergesa, aku langsung memakainya. Aroma musk memenuhi indera penciumanku. Jaket itu cukup panjang, membuatku harus menggulung bagian lengan agar kedua tanganku kelihatan. Sangat kebesaran untuk ukuranku. Cukup lama aku sibuk sendiri dan saat sudah sadar, ternyata Bangcat sudah duduk di bangku bekasku tadi.

Dia menatapku, menepuk tempat di sebelahnya. "Duduk sini."

Dengan terpaksa, aku menurut. Dia mengambil air mineral yang kubeli, membuka tutupnya, lalu mengulurkannya padaku. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menerima, dan meminumnya beberapa teguk. Setelah aku selesai, dia mengambilnya lagi. Dan langsung menghabiskannya sekali teguk.

Mataku membelalak. "A-abang ... itu kan ... bekasku."

"Terus?"

"Abang nggak jijik?"

"Kamu punya penyakit menular?"

"ENGGAK!" Aku langsung mengatupkan mulut.

Sebelah alisnya terangkat. "Udah berani bentak Abang?"

"Hah?" Aku menggeleng kencang. "Bukan gitu. Enggak. Bukan mau ... maaf."

Kupikir dia akan marah lagi, tapi ternyata sedetik setelah itu dia tertawa. Keras sekali, hingga beberapa orang menoleh dua kali. Aku memanyunkan bibir, memandangi kuku-kuku yang bersih dari kutek.

"Dek."

Aku menoleh. Kali ini, dia kembali ke mode serius. Sama sekali tidak ada tanda-tanda sisa tawa di bibirnya. Orang ini aneh!

"Kadang, laki-laki berani bersikap kurang ajar, itu karena si perempuan yang memancing. Dan kamu tanpa sadar juga melakukan itu."

Spontan, aku kembali berdiri. Kuberanikan untuk menatapnya kesal. "Aku nggak kayak gitu."

Aku terkejut saat tangannya meraih pergelangan tanganku. Lalu menariknya hingga aku kembali terduduk. Mataku memanas. Ada rasa sedikit nyeri di ulu hati saat mendengar Bangcat mengataiku begitu. Memangnya aku semurahan itu? Sampai harus menggoda bocah remaja?

"Kamu nangis? Astaghfirullah. Kenapa malah nangis, sih?"

Ya terus gue harus ketawa, gitu?! "Aku nggak murahan."

Aku membuang muka. Mengusap air mataku yang dengan seenaknya lolos. Bikin aku kelihatan makin lemah. Kutatap Athar yang untungnya masih asyik main. Untunglah.

"Ya Allah, bukan itu maksud Abang!" Nada suaranya naik setengah oktaf. "Kamu emang nggak ada niat buat melakukan itu. Tapi cara berpakaian kamu itu tanpa sadar sudah bikin para laki-laki mikir kurang ajar."

Meski bingung, tapi aku masih menolak untuk menatapnya. Bisa kudengar dia mengembuskan napas berat. Kesal, Bang?

"Walaupun belum bisa pakai pakaian yang syar'i dan berjilbab, seenggaknya pakai baju yang lumayan tertutup. Tapi baju kamu tadi apa? Pundak kamu kelihatan. Semua mata laki-laki bisa lihat dengan mudah. Mereka bisa langsung berfantasi kurang ajar, kalau kamu mau tahu."

Terkejut, aku sampai menoleh ke arahnya. "E-emang iya?"

Dia mengangguk. "Kalau saja kamu tahu isi otak laki-laki, apalagi kalau lihat perempuan yang pakai baju seksi, kamu nggak akan berani keluar rumah. Abang jamin."

Menyadari maksud ucapannya, aku menunduk. Gila saja. Teringat baju-baju terbuka yang jadi koleksi di lemariku. Aku jadi ngeri.

"Tapi ... yang berjilbab dan bajunya tertutup juga bisa kok mengalami pelecehan gitu-gitu." Aku masih tak terima juga, dong. "Kayak di berita-berita itu."

Bangcat tersenyum miring. "Nah, pikiran laki-laki memang sekotor itu. Nggak semua, tapi apa salahnya antisipasi kan? Yang baju tertutup aja bisa jadi bahan fantasi, apalagi yang sengaja mengumbar badan?"

"T-tapi ... tapi ... kan tergantung cowoknya juga pikirannya gimana."

"Memang." Bangcat menjawab cepat. "Tapi juga, Abang dan semua abangmu nggak bakal suka kalau kamu pakai pakaian terbuka. Itu intinya. Pakai rok dan baju pendek boleh, tapi jangan yang terlalu terbuka. Sampai sini paham?"

Aku mengangguk, masih tetap memandang ke bawah. Iya juga sih, kalau aku memakai pakaian terbuka, semua laki-laki dalam keluargaku akan protes. Bangcat tergelak, lalu menggumamkan kalimat yang tidak jelas di telingaku.

"Ontaaa!"

Aku mendongak. Athar sedang berlari ke arahku. Lalu berhenti tepat di depan sepasang sneakers-ku.

"Mau minum."

Aku mengangguk. Mengambil susu melon di dalam plastik, lalu memberikan padanya. Tapi Athar malah menatapku dengan raut berpikir yang sangat kentara.

"Onta nangis?" Lalu matanya beralih ke arah Bangcat—yang sepertinya baru disadari keberadaannya oleh bocah ini. "Om siapa? Om yang bikin Onta nangis, ya?"

Athar sudah memasang ekspresi mau perang. Aku meringis.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel