7. Bangcat dan Renata
Sejak pertama kali dikenalkan oleh Bangbi saat main di apartemen Bangpan dulu, aku sudah merasa takut. Tentu saja karena sejujurnya, aku sudah pernah melihat dia, empat tahun sebelum itu. Tepatnya, saat aku baru beberapa hari resmi menjadi pelajar SMP.
Hari itu, kebetulan Papa dan Bangbi tidak bisa menjemputku di sekolah. Aku disuruh menunggu di Vinint, kafe milik Om Bisma dan Om Romi. Aku sih tidak keberatan, karena jaraknya juga tidak terlalu jauh. Tidak sampai setengah jam dengan jalan kaki.
Agnes kecil saat itu masih sangat penakut. Karena itu, saat di pertengahan jalan melihat aksi perkelahian beberapa anak SMA, aku ketakutan setengah mati. Bukan hanya tubuhku yang gemetaran, kakiku juga ikut tak bertenaga. Mataku menyaksikan dengan jelas, seorang anak laki-laki berkacamata dengan penampilan norak, dikeroyok oleh tiga orang lainnya yang kelihatan sangat berkuasa.
Aku tidak tahu apa yang mereka katakan pada si norak itu, karena posisiku bersembunyi di balik pohon besar yang cukup jauh. Tapi suara tawa mereka yang menggelegar, mampu membuat detak jantungku seolah berusaha melompat ke perut. Aku sangat takut. Tubuh mereka begitu tinggi dan kuat. Mereka dengan mudah membuat si norak yang sudah tidak berdaya itu, makin menggelepar di tanah. Satu laki-laki yang lebih mendominasi pukulan demi pukulan itu, tertawa paling keras. Suaranya seperti menembus di gendang telingaku.
Karena tak kuat melihat anak berkacamata itu 'disiksa', aku membalikkan badan dan memerosot. Tubuhku bersandar di batang pohon, memeluk lutut. Seandainya jalan yang kulalui bukan di tempat pengeroyokan itu, aku pasti sudah berusaha kabur. Mau balik arah, sekolah pasti sudah sangat sepi. Akhirnya, aku menunggu sampai mereka berhenti. Saat anak yang kutebak merupakan pemimpin dari mereka berkata tegas, aku ikut tersentak. Namun tidak tahu kenapa aku malah penasaran dengan wajah yang dimilikinya. Karena itu, dengan gerakan super pelan, aku kembali mengintip.
Wajah itulah yang sampai saat ini menjadi salah satu sumber ketakutanku. Seseorang yang bernama David Catra Fahreza. Orang yang pagi ini berhasil memaksaku mengganti rok dengan baggy pants dan melapisi blus—yang katanya menerawang—dengan kardigan tanpa lengan. Dan membuatku mengawali hari dengan suasana hati yang buruk.
"Nes!"
Aku tersentak, spontan mendongak ke arah samping mejaku. Di mana meja kerja Ririn berada. Wanita yang merupakan teman sekampusku itu, geleng-geleng kepala sambil berdecak.
"Ngelamun aja sih. Kerjaan numpuk, butuh dibelai, tuh!"
Aku hanya menyengir. Lalu berusaha untuk kembali fokus pada kertas sketsa yang kugunakan untuk mendesain beberapa pakaian yang nantinya akan kuajukan di fashion week beberapa bulan lagi.
"Mbak Agnes!"
Belum juga pensilku kembali tergores, suara Fani membuatku urung. Juniorku di kampus itu melangkah diiringi senyum lebar, sembari menenteng tas kertas berlogo toko roti milik bundanya Rasti.
"Apaan tuh, Fan?" tanya Ririn.
"Biasa, Mbak." Fani menaikturunkan alis ke arahku. "Dari Dedek Dewa."
"Ciyeee dapat kiriman lagi." Ririn tertawa menggoda. Aku berdecih. Lebih memilih kembali berkutat pada pekerjaan. "Hari ini apa, Fan? Coba buka."
"Cheesecake, Mbak. Woah ... favorit gue ini!"
"Favorit Agnes juga, kali. Kalau enggak, mana mungkin si berondong ngirim ini?"
Mereka berdua tertawa. Aku berdecak, meraih ponsel dan bangkit.
"Mau ke mana, Nes? Nggak mau lihat dulu? So yummy, lho!"
"Kalian makan aja!"
Aku melangkah keluar dari ruangan kerja kami di lantai tiga ini. Menuruni anak tangga yang menghubungkan ke dua lantai di bawahnya, yang digunakan sebagai toko pakaian brand kami. Di dekat toilet, ada pintu kecil yang mengarah ke balkon kecil tempat kami biasa bersantai. Aku menuju ke sana, sambil mencoba menghubungi nomor seseorang.
"Halo, Mbak." Suara riang di seberang sana membuatku mendengus. "Gimana cake-nya? Suka?"
"Suka your ass!" balasku, ketus. "Ngapain sih lo kirim-kirim kayak gitu tiap hari? Gue kan udah bilang, stop!"
"Buat minta maaf, apalagi?"
"Lebay!" semprotku tepat di layar ponsel.
"Gue lagi sibuk syuting. Jadi biarin kiriman gue dulu aja yang wakilin. Besok kalau udah balik Jakarta, gue langsung cus temuin lo."
"Nggak butuh. Gue nggak butuh barang-barang lo, apalagi orangnya!"
"Hilih kemarin padahal ada yang bilang peduli, tuh."
"Dih. Itu gue kemaren lagi kerasukan aja!"
"Emang setan bisa ngerasukin badan lo? Bukannya kalian sebangsa setanah air, ya?"
"Bodo ya bodo!"
Dia terbahak-bahak. "Habisnya, selama tiga tahun ini kita deket, baru kemarin itu lo marah yang bener-bener marah ke gue."
"Dan lo panik? Takut kehilangan gue? Terus kirim makanan tiap hari biar gue maafin?" Aku terkekeh mengejek. "Lo lupa bokap gue orang kaya? Beli seratus kali lipat barang yang lo kirim, juga enteng. Lebih dari mampu. Lo cuma ngehina gue dengan kayak gini, bego!"
"Wah wah wah suombongnya!"
"Gue sombong juga karena ada bukti konkritnya."
"Iye-iye, cewek mah selalu menang." Aku tak bisa menahan gelak tawa. "Jadi, lo maafin gue, kan?"
Aku mengulum senyum. "Gimana ya, berhubung gue nggak tega sama bocah kayak lo. Ya udah, iyain aja. Mewek entar kalau gue ilang."
"Orang kepedean matinya kayak gimana sih? Gue penasaran."
Tawaku makin keras. Sebenarnya, belum satu jam sejak mengomeli Dewa malam itu, aku juga sudah memaafkan. Tapi aku sengaja tidak menjawab dan membalas semua telepon dan pesan darinya, biar dia tahu rasa. Dan dia sok-sokan mengirim berbagai makanan sebagai permintaan maaf. Bahkan saat dia di Bali pun, kirimannya tak berhenti. Dan kebanyakan malah berakhir di perut anak-anak butik.
"Tapi inget ya jangan berantem lagi kalau bukan dengan alasan melindungi diri. Apalagi cuma buat ajang gengsi." Untung kemarin itu tidak tersebar ke publik, jadi dia aman.
"Iya, bawel!"
"Kalau masih lo lakuin, gue bakal ngilang ke tempat yang nggak lo tahu."
"Heh, lo kira gue bakal ancur cuma karena lo ilang, gitu? Bangun woy bangun, siang-siang masih aja ngimpi!" sewotnya.
Lalu sambungan diputus begitu saja. Aku tertawa keras. Dasar bocah!
***
"Mamaaa!"
Aku berteriak sumringah saat turun dari Miko. Mama yang berdiri di teras rumah hanya geleng-geleng kepala. Tapi kedua tangannya terenteng lebar. Dengan cepat, aku menaiki undakan kecil-kecil itu dan langsung berhambur ke pelukan perempuan terhebatku ini.
"Kangeen!"
"Bilangnya kangen, tapi betah banget tuh tinggal di apartemen abangnya." Mama mencibir, namun tetap menciumi kepala dan keningku.
"Bukan betah, Ma, tapi karena tuntutan pekerjaan. Agnesia Sinta princess Wijaya harus berdedikasi tinggi sama pekerjaannya, duong. Iya, kan? Iyalah. Iya bangeet!"
"Dasar ya, ngeles aja bisanya. Ya udah masuk, yuk. Papa udah nunggu di dalam."
Kami berjalan masuk, dengan aku yang tetap memeluk pinggangnya. Sayang banget aku dengan perempuan ini. Perempuan lembut, hangat dan anggun yang selalu berhasil membuat Bapak Andromeda Wijaya untuk berada dalam kuasanya.
"Masih ingat rumah, kamu?"
Aku dan Mama saling bertatapan di ambang ruang tamu dan ruang tengah, lalu tertawa kecil.
"Duh, My King lagi ngambek nih?" Aku bergegas menghampiri pria yang duduk di sofa panjang, memasang ekspresi masam. "Sini peluk dulu!"
Aku langsung duduk, memeluk pinggang Papa dan menyelusupkan kepala di dadanya. Mau tak mau, Papa juga balas memelukku.
"Papa kangen ya sama Agnes? Kangen banget nget nget? Sampai tadi siang ngancam bakal buang semua novel Agnes, kalau malam ini nggak pulang? Ciee ciee King Papa!"
"Apa sih? Jangan geer. Itu tadi hp Papa dimainin sama Athar, tahu. Ngapain juga Papa kangen anak bandel kayak kamu!"
"Athar udah punya hp sendiri ya, Opa. Ogah pinjem hp Opa yang nggak ada cacingnya!"
Suara bantahan itu membuatku menoleh. Bocah berusia tujuh tahun menuruni anak tangga dengan masih berfokus pada layar tab di tangannya.
"Atharva, jalannya jangan sambil lihat hp, Nak!" Mama langsung menegur.
"Iya, Oma."
"Iya itu dilakukan dong, Sayang."
"Bentar, Oma, cacingnya udah gede ini. Athar udah peringkat satu!"
Aku berdecak gemas, memilih bangkit lalu langsung merebut benda itu dari tangan Athar. Kutabrakkan cacing Athar dengan cacing lain, sehingga memunculkan pemberitahuan game over.
"Ontaaa!" Athar mengerang protes.
Kujulurkan lidah pada bocah itu. "Makanya kalau dinasehatin itu dipatuhin. Jangan iya-iya aja."
"Bundaaa Onta nakal!" Dan bocah itu langsung berlari ke dapur, untuk mengadu ke bundanya.
Aku terkikik. Kembali duduk di antara Papa dan Mama, setelah menaruh tab Athar ke atas meja.
"Jahil banget sih sama keponakan sendiri."
"Lucu, Ma." Aku tergelak. Rasanya memang belum lengkap kalau belum menggoda bocah satu itu.
"Kak Widya ngapain di dapur, Ma? Masak, ya?"
"Iya, masak makanan kesukaan kamu. Jadi, malam ini kamu harus makan nasi."
"Siap, Mama."
Ah, rasanya senang sekali bisa meluangkan waktu untuk pulang ke rumah Bapak Andromeda. Seperti kembali ke tempat yang semestinya. Bukan berarti apartemen Bangbi tidak nyaman, tapi tetap saja beda. Apalagi, sejak kecil sampai kuliah selesai, aku sama sekali tidak pernah pisah dengan rumah ini. Tidak seperti Bangrai yang sudah biasa jauh, tapi setelah menikah memutuskan untuk tinggal di sini menemani masa tua orang tua kami.
"Hei, my princess, kenapa ngelamun?"
Usapan di pipi, membuatku mendongak ke arah Papa. Aku hanya menyengir.
"Mikirin cowok, ya? Hayo, udah ada cowok kan? Ngaku." Mama ikut menoel-noel pipiku.
"Enggak, nggak ada."
"Awas aja kalau kamu dekat sama laki-laki, tapi nggak dikenalin ke Papa."
"Iya, Papa." Aku memeluk Papa lagi. Rasanya nyaman, sangat nyaman. "Papa kepingin Agnes nikah umur berapa?"
"Ngapain nanya gitu? Tuh kan, kamu udah punya pacar lagi, ya?" Sorot mata Papa kelihatan jelas sekali menuduh.
"Enggak, Papa. Kan cuma nanya."
"Kalau Agnes maunya umur berapa?" sela Mama.
Aku menggeleng. Semakin memeluk pinggang Papa. "Nggak usah nikah aja, bisa nggak? Nggak mau pisah sama Papa Mama."
Mama tertawa. Mencubit pipiku. "Masa gitu? Nggak mau kayak Bang Raihan sama Bang Bian? Punya teman hidup? Punya anak yang lucu-lucu?"
"Enggak. Mau hidup terus sama Papa Mama aja."
"Kalau Papa Mama udah nggak ada?"
"Ih Papa!" Mataku memanas. "Jangan ngomong gitu. Papa Mama pokoknya harus sama Agnes selamanya."
"Nggak bisa gitu dong, Sayang. Hidup kan nggak abadi. Nggak bisa kalau harus sama kamu terus."
"Nggak mau, Mama."
"Tapi sebelum itu terjadi, Agnes janji ya, temukan orang yang benar-benar sayang Agnes. Yang bisa cinta Agnes sebesar cinta Papa Mama. Yang bertanggung jawab dan bisa diandalkan. Yang sempurna, jauh sempurna dari Papa."
"Papa Mama yang paling sempurna. Nggak ada yang lain. Nggak mau yang laiiin!" Kubenamkan wajah di dada Papa, sambil mulai menangis.
Papa terkekeh, mengecupi puncak kepalaku. "Sudah, Ma. Jangan diterusin. Udah mewek ini princess-nya."
Mama ikut tertawa. Mengusap-usap pundakku. "Iya-iya, maafin Mama, Sayang."
Tolong maklumi sikapku ini, teman. Aku memang semanja ini jika sudah bersama Papa dan Mama. Rasanya selalu kembali jadi anak kecil yang tetap akan sangat butuh perlindungan mereka. Mungkin karena anak bungsu kali ya, jadi ya mau seberapa pun umurku, aku tetap jadi yang terkecil. Aku juga tidak akan rela jika meninggalkan mereka, jika nanti sudah bertemu jodoh. Alasan itulah yang menjadi penyebab kenapa saat ini aku belum terlalu memikirkan masalah asmara. Aku tidak ingin terikat dengan seseorang yang nantinya menikahiku, lalu diharuskan untuk tinggal jauh dari kedua orang tuaku. Aku tidak mau.
"Cengengnya adik Abang."
Suara itu membuatku mendongak. Bangrai ternyata sudah duduk manis di sofa single, menyaksikan kami dengan senyum lembutnya.
"Dih, Bangrai nguping, ya?"
"Enggak nguping. Cuma nonton." Dia tertawa, lalu merentangkan kedua lengan. "Nggak mau peluk Abang?"
"Dih, orang hampir tiap hari Abang mampir ke butik, kok. Udah kenyang pelukan Abang, aku tuh!" tolakku.
Aku serius. Sejak Bangrai memutuskan untuk berhenti jadi manajer kafe Vinint dan fokus membantu bisnis Papa, kami sering bertemu di butik. Karena butikku dekat dengan Vinint, sementara tiap siang dia akan selalu ke kafe itu untuk makan siang bersama Kak Widya. Maklumlah, abangku ini satu-satunya yang mau meneruskan usaha Papa di bidang kontraktor. Bangbi sudah mendirikan restoran sendiri, setelah keluar Vinint tiga tahun lalu. Sedangkan aku lebih suka di bidang fashion.
"Kalau gitu, kamu harus cari laki-laki yang mau tinggal di kompleks ini, Dek. Atau kalau perlu, di rumah ini."
"Nggak ah. Aku nikahnya besok aja kalau udah umur tiga puluh."
"Hush. Kamu umur segitu, Papa sama Mama udah umur enam puluh lebih, Sayang. Nanti nggak punya kesempatan ngelihat anak kamu."
"Udah ya, Ma, ya jangan mulai bahas umur lagi. Agnes nggak suka." Dengan cemberut, aku bangkit. "Agnes mau mandi aja."
Kuambil tas di atas meja dan langsung melangkah menuju anak tangga.
"Ngambek, Dek?"
"Udah tahu, nanya!" balasku ketus, tanpa menoleh ke belakang.
Mereka bertiga tertawa. Aku makin cemberut. Aku sangat-sangat tidak suka jika membahas umur. Memang terkesan pengecut, tapi seperti inilah aku. Ini semua karena aku terlalu sayang pada mereka, dan tidak akan sanggup jika ditinggalkan. Meski tidak merasakan sendiri, tapi aku pernah menyaksikan betapa hancurnya Bangpan saat Om Bisma, Tante Viny dan Oma Jeni pergi. Melihat itu saja sudah membuatku ikut hancur. Apalagi jika mengalaminya sendiri? Aku tidak mau!
Belum sampai membuka pintu kamar, aku dikejutkan dengan getar ponsel yang beruntun. Notifikasi grup WhatsApp antara aku, Kia, dan Rasti.
Rasti
*sending a picture
gaes liat apa yg gw dpt barusan?
Kia
ini kak dave kan?
Rasti
yoi. gw lg jln sm dio trs liat bangcatnya agnes
Me
sejak kpm dia jd bangcatnya gw?
Rasti
sejak dia nanya lo suka dia ato gak???
Me
SI-AL-AN!!!!!
Aku berdecak kesal. Menyesal rasanya karena sudah keceplosan cerita pada Rasti dan Kia tentang pertanyaan Bangcat malam itu. Rasti jadi gencar sekali menggoda, bahkan mengolok-olokku dengan bilang kalau pria itu menyukaiku. Padahal jelas-jelas aku sudah bilang kalau alasan dia bertanya hanya karena aku mengaku benci tukang pukul. Makanya, aku sama sekali tidak akan percaya kalau tukang pukul itu menaksirku. Hih, malah jadi ngeri sendiri!
Kubuka kembali chat grup kami bertiga, meski sudah mematikan data seluler karena kesal. Kutatap foto yang dikirimkan Rasti. Renata dan Bangcat ada hubungan apa, ya?
***