Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10. Tom and Jerry

Dulu saat kecil, menjadi desainer itu bukan merupakan cita-citaku. Aku memilih senang menggambar-gambar pakaian, tapi itu hanya sebagai hobi.

Karena seperti kebanyakan anak kecil lainnya, cita-citaku juga sering berubah-ubah tergantung musim. Kalau di TV sedang ada tayangan Conan, maka aku ingin jadi detektif. Kalau sedang main ke rumah Om Romi, maka aku ingin jadi dokter. Kalau bertemu Om Angkasa, kepingin jadi orang kantoran. Bahkan dulu pernah diajak liburan ke Denpasar untuk tinggal sebentar di rumah Kakek Danu, aku bercita-cita jadi turis hanya karena pernah kenalan dengan turis. Tertawalah, karena aku memang seabsurd itu.

Hingga di kelas 3 SMP, aku diajari menjahit oleh Tante Bintang. Awalnya hanya menjahit sembarang kain, tanpa tujuan pasti. Setiap hari aku berlatih, hingga tidak bisa dihitung lagi berapa tusukan yang mampir ke jari. Maklum, waktu itu justru aku lebih dulu latihan jahit tangan. Tapi aku merasa sangat puas ketika untuk pertama kalinya berhasil membuat sebuah bando kain yang cantik. Bando itu disukai oleh teman sebangkuku. Aku pun memberikannya dengan senang hati.

Sejak itu, aku seolah tahu mau jadi apa saat dewasa nanti. Melihat hasil karyamu disukai orang lain, entah sekecil apapun itu, rasanya sangat membanggakan. Bahagianya melebihi diterima jadi pacar gebetan. Serius. Jangan tertawa! Karena itu, meski di musim-musim tertentu, waktuku banyak tersita untuk pekerjaan, tapi aku menikmati. Kebahagiaan seorang pekerja itu adalah saat di mana hobimu bisa jadi mata pencaharian.

"Helloooo, all!"

Suara renyah itu membuatku mengangkat pandangan dari buku sketsa. Mahasiswa yang sikapnya masih seperti bocah itu tersenyum lebar menyapa Ririn dan Fani, sambil memberikan tas kertas kecil entah isinya apa. Saat menoleh padaku, dia menampilkan cengiran.

"Ngapain lo ke sini?"

"Gitu ya lo sama gue?" Dia berdecak, menyeret kursi plastik di ujung ruangan, lalu meletakkannya di sebelahku. Dua buah tas kertas ditaruh di atas meja. "Yang biru buat Athar. Yang item buat lo."

"Apaan nih?" Aku mengintip isinya yang ternyata oleh-oleh khas Bali. Ada pie susu juga, yang langsung kumakan. "Thanks."

Dia tertawa, lalu tanpa aba-aba langsung mengacak-acak rambutku.

"Heh, nggak sopan ya lo sama orang tua!" Kupukul tangannya keras-keras. Fani dan Ririn cekikikan sambil saling berbisik.

"Oleh-oleh ini nggak gratis, tahu."

Aku mencebikkan bibir. "Udah gue duga. Minta bayaran apa lo?"

Dia tersenyum miring, menaikturunkan alis. "Instagram live. Kita berdua."

"Ogah!"

"Yaah, Nes, bantuin gue kek!" Kedua tangannya ditangkupkan. "Gue harus konfirm soal instastory kemarin."

"Salah lo kenapa seenaknya posting foto selfie kita!"

Dia menatapku memelas. Aku membuang muka. Jadi ceritanya, kemarin sore aku dapat pemberitahuan di Instagram kalau Dewa memposting foto kami. Dia juga menandai akunku. Belum lima menit posting, sudah banyak fansnya yang bertanya soal hubungan kami. Yang membuatku kesal setengah mati, mereka juga mengirim DM ke akunku. Sampai aku terganggu karena rentetan notifikasinya. Dan terpaksa aku log out sementara dari sosial media itu.

"Agnes!"

"Ogah."

"Nees...."

"Gue bilang ogah ya ogah. Sono lo pulang!"

"Kok lo gitu sih? Katanya peduli? Bullshit lo!"

"Bodo. Gue udah nggak peduli lagi sama lo."

"Udah Nes, bantu aja napa, sih?" Ririn ikut bicara.

"Iya, Mbak. Sekalian konfirmasi kalau kalian emang in relationship."

"In relationship, your head!" Aku menatap Fani kesal. "Gara-gara bocah ini hidup gue nggak tenang."

"Makanya kita konfirm kalau kita cuma temen. Please...."

Aku melempar kepala Dewa dengan pensil. Belum puas, kupukul juga lengannya dengan binder tebal. Dia sampai mengelak dan terus menghindar, membuat kami akhirnya kejar-kejaran.

"Stop!"

Akhirnya aku berhenti. Tante Rahma sudah berdiri di depan pintu, dengan kedua tangan berkacak pinggang.

"Kalau mau main-main, ke sekolah Daisy aja sana!"

"Dewa nih, Tan!"

"Apaan? Gue diem ya dari tadi. Lo yang terus-terusan aniaya gue kayak kesurupan. Belum nikah aja mainnya udah kekerasan. Alamat habis nikah, di-KDRT terus, nih."

"Siapa juga yang mau nikah sama lo!"

"Kapan gue bilang mau nikah sama lo? Perasaan gue nggak nyebut itu, deh." Dewa tersenyum tengil. "Lo ngarep gue nikahin, ya?"

Aku mendesis. "Masih jetlag ya, lo? Wake up, boy, wake up!"

"Hush kalian ini kalau ketemu selalu aja cosplay jadi Tom sama Jerry!" Tante Rahma geleng-geleng kepala. "Dan kamu, Dewa. Ngapain ke sini? Model ambassador dilarang masuk ruang kerja desainer. Keluar. Keluar."

Ekspresi Dewa berubah masam. Bocah itu melotot, yang kubalas dengan lambaian tangan dan juga juluran lidah. Dan dia pun akhirnya terpaksa keluar.

***

Pulang kerja, aku tidak bisa langsung menuju apartemen karena harus mengantar Fani dulu. Gadis itu seharian ini memang tampak lemah dan agak pucat. Bahkan saat sudah hampir jam pulang tadi, dia kelihatan mau pingsan. Karena itu, aku tidak bisa membiarkannya pulang dengan bus seperti biasa.

"Thanks ya, Mbak, udah nganter."

Aku menoleh ke bangku belakang, lalu tersenyum. "It's okay, Fan. Lo kalau ada apa-apa jangan disimpan sendiri gitu. Anak-anak butik keluarga lo juga. Jangan ngerasa sendiri."

Aku bisa melihat wajah Fani agak pias saat aku mengucapkan itu. Matanya seperti menerawang, dan berpikir keras. Sebenarnya sudah beberapa hari ini aku menyadari bahwa sikapnya agak aneh. Tapi karena terlalu sibuk, aku belum sempat bertanya, atau minimal berdiskusi dengan Ririn.

"Kuat naik sendiri nggak, Mbak Fan? Biar gue bantu." Dewa yang duduk di sebelahku, mengeluarkan suara.

"Nggak usah, Wa, thanks." Fani membuka pintu, lalu keluar.

"Kalau kos-kosan lo nggak ngebolehin ada cowok masuk, biar gue yang ikut. Tangga ke kamar lo lumayan banyak lho, Fan."

"Nggak usah, Mbak. Gue masih kuat, elah." Fani tertawa garing. "Lebay banget kalian."

Aku mendengus. Jelas sekali gadis ini berusaha terlihat kuat, padahal tubuh dan wajahnya saja menunjukkan hal yang bertolak belakang.

"Ya udah, sana masuk. Gue tungguin bentar."

"Apaan sih Mbak, lo kok–"

"Gue nggak mau dibantah ya, Fan!" potongku, tegas.

Fani menghela napas. Dia menggumamkan terima kasih, lalu berjalan pelan memasuki pintu gerbang kos-kosan khusus perempuan itu. Sedangkan aku menunggu beberapa menit sampai benar-benar memastikan kalau dia sudah masuk dengan selamat.

Jangan bilang aku berlebihan. Bertahun-tahun kenal Fani, meski tidak sedekat Rasti dan Kiara, tapi aku sudah menganggap gadis itu sebagai keluarga. Fani anak yatim piatu, dan tidak memiliki saudara. Dia hidup sebatang kara. Karena itu, sebagai teman, aku harus bisa melindunginya. Sebenarnya bukan hanya aku, karena Ririn juga merasa punya kewajiban menjaga Fani.

"Dia kelihatan nggak sehat," kata Dewa, setelah aku kembali melajukan Miko.

"Hm." Aku meliriknya sekilas. "Mulai sekarang aja, Wa, gue kalau sampai apart mau langsung tepar."

"Iya."

Akhirnya, dengan terpaksa aku menuruti keinginan Dewa. Tentu saja karena bocah itu terus saja merecokiku seharian ini. Dan perjalanan pulang menjadi pilihan kami. Kebetulan, Dewa juga katanya mau menemui Bangbi untuk membicarakan bisnis entah apa.

"Halo. Assalamualaikum. Selamat malam, guys. Balik lagi di Instagram live Mahardika Dewa."

Aku yang fokus menyetir, melirik Dewa yang sedang memulai aktifitasnya menyapa fans. Dia tersenyum lebar, ramah dan tidak meninggalkan kesan tengil yang sudah sangat melekat tanpa bisa dicabut dari pribadinya.

"Sesuai janji, malam ini gue mau kenalin kalian sama cewek tua yang fotonya kemarin gue pos–aduh!" Dia mengusap-usap lengan atasnya yang kutonjok. Lalu tertawa. "Doi marah gue bilang tua!"

Aku mendesis, memalingkan muka ke depan. Seperti biasa ketika sedang menyapa para fans, dia menyelipkan candaan-candaan receh. Aku hanya menyimak.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel