PART 4
Sharenada Raharja POV
Rasanya aku ingin mementung kepala Salma karena dia adalah orang yang menyebabkan diriku harus bersiap siap malam ini karena Juna akan mengajakku ngopi ditempat "anti mainstream" versinya. Bagaimana bisa saat aku mampir ke SPBU untuk sekedar pipis Salma membuka chattku dan membalas chatt Juna. Demi Tuhan, aku shock membaca chatt Juna padaku, apa yang akan dipikirkan Juna tentangku?
Pukul 19.00 WIB Juna sudah sampai di rumah dan aku melihat mobil Land Rover Discovery tahun 2021nya sudah nangkring di luar pagar rumah.
Aku penasaran apa pekerjaan Juna hingga bisa membeli mobil itu? Tidak cuma itu, dari penampilannya Juna itu jauh dari kata mewah bahkan cenderung apa adanya. Karena malam ini aku hanya melihatnya memakai kaos dan celana training panjang. Sumpah, nggak ada keren-kerennya jadi cowok berbanding terbalik dengan mobilnya.
"Nad, udah siap?" Tanyanya ketika aku sampai di ruang tamu.
"Sudah, gini saja 'kan?"
"Iya, udah cukup begitu aja." ucapnya sambil tersenyum dan aku baru sadar ternyata benar kata Salma kalo Juna itu ganteng. Lebih tepatnya tampan berpadu dengan manis. Lesung pipinya yang samar-samar terlihat di balik jambangnya membuatnya terlihat Maco. Lama-lama bisa aku sandingkan ia dengan Nick Bateman.
"Om, Tante, Mas Adam, Juna ijin keluar dulu sama Nada dan pasti pulangnya larut banget. Bisa dini hari juga karena sekarang sudah jam 7 malam."
"Nggak usah pulang aja sekalian, biar besok pagi langsung gue seret ke KUA, 'kan Eyang bakal bahagia lahir batin kalo kalian nikah."
Aku lemparkan bantal sofa ke arah Adam.
"Sudah, Jun. Yuk, buruan kalo kelamaan nanti ketularan jadi jones kaya si Adam," kataku sambil berjalan mendahului Juna setelah mencium dan memeluk Mama dan Papa untuk berpamitan.
"Percaya sama yang sudah mau kawin, jangan lupa pelangkah gue Harley Davidson lho, ya. Restu gue mahal harganya." Aku mendengar Adam mengodaku sambil tertawa cekikikan.
"Jun, kita mau ke mana?" Aku bertanya pada Juna ketika aku sadari mobil Juna menuju ke arah pantai Gunung Kidul.
"Ngopi di tempat anti mainstream, Nad."
Aku hanya bisa mengangguk. Asli, awas aja si Salma kalo sampai Juna melakukan hal yang tidak tidak kepadaku. Jelek-jelek begini aku masih gadis. Setelah perjalanan sekitar dua jam, sampailah aku dan Juna di pinggiran jalan yang masih berbatu, gelap dan jauh dari rumah penduduk. Tapi aku yakin ini di tepi pantai karena aku masih bisa mendengar debur suara ombak pantai selatan. Sejujurnya saat ini pikiranku sudah tidak lurus, aku sudah takut Juna akan memperkosa lalu nmembunuhku dengan menjatuhkan diriku ke pantai. Malah bisa juga si Juna bakalan memutilasiku kali ini dan aku pastikan tidak akan ada saksi yang melihat bahkan bulu kudukku saja sudah berdiri saat ini.
"Nggak usah mikir yang nggak-nggak. Buruan bantuin gue bawa tendanya dan pakai ini," kata Juna sambil menyerahkan jaket Gunung berwarna pink kepadaku.
Aku hanya menurutinya saja. Juna memakaikan headlamp nya padaku setelah ia menggunakannya juga. Aku melihat Juna mengendong tas Gunung ukuran 80 L di punggungnya.
Sumpah, walau ini malam dan sepi, aku bisa melihat Juna terlihat santai saja. Tidak merasa keberatan menggendong tas gunungnya yang aku tau itu cukup berat karena ada isi logistik, air dan peralatan memasak.
"Kamu jalan di depan aku pelan-pelan saja. Oh iya, ganti pakai sepatu gunung ini sandal kamu, biar nyaman jalannya."
Juna menyerahkan sepatu Gunung yang heranku kenapa bisa ukurannya pas dan ini masih baru. Punya siapa ini sepatunya? Tidak mungkin Juna tau ukuranku, secara aku saja tidak pernah ngobrol dengannya sejak kejadian di cafe rumah sakit itu.
Selama hampir satu jam aku berjalan melewati pinggiran tebing pantai, kebun penduduk, beberapa kali melewati kandang sapi yang aku heran apa pemiliknya tidak takut sapi sapi itu hilang di taruh di tengah kebun ketela seperti itu di pinggir tebing pula.
"Nad, kamu kalo capek bilang. Kita bisa istirahat dulu."
"Nggak kok Jun, tenang saja, aku masih kuat, insyaallah."
"Itu nanti belok kanan terus tunggu aku duluan yang turun. Biiar kamu aku bantuin soalnya itu tinggi banget."
Setelah sampai memang aku tengok ke bawah dan cukup lumayan tinggi juga. Akhirnya aku membiarkan Juna turun lebih dulu. Setelah Juna membantuku turun aku merasakan angin pantai begitu terasa hingga membawa butiran pasir menerpa wajahku. Untungnya malam ini air laut sedang tidak pasang. Aku melihat Juna mendirikan tenda gunungnya berwarna merah dengan begitu cekatan.
Laki-laki seperti Juna ini mungkin sudah stock langka di habitatku. Muda, tampan, rendah hati, memiliki jiwa "laki banget." Pantas saja followers-nya banyak cewek-cewek ABG yang baru merasakan menikmati keindahan negri 62 tercinta ini. Lagian cewek mana yang nggak baper dapat perlakuan kaya gini dari Juna. Di ajak ngopi di pinggir pantai cuma berdua, okay aku ulangi lagi. CUMA BERDUA ... BERDUAAA ... dan pantai ini aku yakin belum terbuka untuk umum karena sulitnya medan yang kami tempuh tadi.
"Nad, kamu masuk aja dulu ke tenda, aku mau bikin api unggunnya."
"Kamu perlu bantuan nggak, Jun?" Tanyaku dari dalam tenda.
"Kalo kamu nggak keberatan aku minta kamu siapin gelas, piring sama keluarin logistik. Katanya kamu mau ngopi di tempat anti mainstream."
Ya Tuhan...aing kudu ottoke* menghadapi laki laki seperti Juna ini.
*Ottoke adalah ekspresi jika sedang dalam masalah atau situasi yang terjadi di luar harapan. Kosakata ini sama artinya dengan ungkapan, 'apa yang harus dilakukan nih atau 'gimana ini'.
"Okay, aku keluarin. Kamu mau dimasakin apa? sini aku masakin."
"Emang kamu bisa masak?"
"Bisalah, bahkan aku itu lebih jago soal urusan dapur daripada urusan merias diri."
"Baguslah kalo gitu, aku kira kamu jago urusan ranjang."
Bug ....
"ARJUNA!"
Aku lemparkan roti tawar seplastik penuh sambil berteriak dari dalam tenda. Juna hanya tertawa lepas di luar dan entah bagaimana baru aku sadari ternyata "lo gue" bisa berubah menjadi "aku kamu." Sejak kapan panggilan itu berubah, aku saja tidak mengingatnya dan menyadarinya.
***
Arjuna Harvito Widiatmaja POV
Malam ini entah bagaimana aku bisa akur dengan Nada tanpa membahas masalah kemarin. Satu yang harus aku tarik dari kata-kataku dulu jika Nada tidak akan bisa mengikuti gaya hidupku. Ternyata aku salah besar.
Nada adalah tipikal perempuan yang tidak terlalu banyak mengeluh. Bukan perempuan yang menjaga gengsi, apalagi memanfaatkan laki-laki yang dekat dengan dirinya. Kenapa aku bilang seperti itu?
Tadi ketika dalam perjalanan ke pantai, aku mengajaknya membeli logistik, aku menanyakan apa yang Nada ingin makan, kita bisa beli sekarang dan aku bermaksud melajukan mobilku ke salah satu Mall yang menyedikan bahan makanan tapi Nada menolaknya dan memilih membeli bahan makanan di kios belakang pasar kranggan. Aku baru sadar ternyata Nada berbelanja sayur mayur lengkap dengan bumbu bumbunya dan malam ini aku bertindak sebagai asisten Nada di pinggir pantai ini, memasak dengan alat seadanya menggunakan nasting, kompor gunung, dan terpaksa kami memasak di dalam tenda karena diluar angin sangat kencang.
"Nih, sudah jadi supnya, tapi aku lupa beli beras."
"Emang mau makan dobel karbo kamu malam-malam begini, Nad? 'kan supnya udah ada kentangnya. Nggak takut gendut kamu?"
"Naik sekilo dua kilo bukan dosa, Jun."
"Jadi nggak takut?"
"Nggak, btw, ini jaket sama sepatu punya siapa kok masih baru dan ukurannya pas di aku?"
"Oh, aku ambil tadi stock di toko. Aku kira-kira saja ukuran sepatunya. Dengan tinggi kamu yang sekarang, kemungkinan besar kaki kamu juga panjang jadi aku ambilin ukuran 40"
"Oh, makasih ya. Btw, nonton bintang di luar, yuk mumpung di pantai. Ini pengalaman pertama aku camping di pinggir pantai. Kalo Deva, Robert sama Salma tau bisa-bisa bakalan ngintilin ikut ke sini mereka."
"Kamu kapok?"
"Ya pastinya nggaklah, pengen ke sini lagi tapi blm tau jalannya, makanya pulang besok pagi kalo sudah cukup terang ya? aku pengen hafalin jalan."
"Iyalah, masa sekarang mau balik. Rugi. Aku mau nonton bintang dulu soalnya. Cuma aku kepikiran sama Papa Mama kamu, Nad."
"Mereka nginep di rumah sakit jagain Eyang."
"Gimana kondisi Eyang?"
"Alhamdulillah sudah baik semua, paling kalo nggak ada masalah dua tiga hari lagi boleh pulang ke rumah."
"Alhamdulillah, kalo Eyang Astuti sehat, lamarannya bisa cepat dilangsungkan."
Ketika aku mengatakan itu, Nada terbatuk batuk karena ia sedang makan sopnya.
"Jun, bisa nggak sih sekali saja nggak ngerusak suasana?"
"Ya maaf, Nad."
***