Ringkasan
Sebagai perempuan modern yang sukses dalam karier, dijodohkan adalah sesuatu yang sangat konyol dalam hidupku. Tapi ketika aku mulai mengenalnya apakah aku sanggup untuk mengubah semuanya, termasuk pandangan hidupnya tentang hubungan dan pernikahan? - Sharenada Raharja - *** Kata orang menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kalo nasibku memang harus menikah dengannya apakah harus aku terima? padahal aku tidak memiliki kemampuan untuk mencintainya, dia yang sempurna tak kurang satu apapun sebagai istri idaman. - Arjuna Harvito Widiatmaja -
PART 1
Sharenada Raharja POV
Siang ini kakiku berlarian secepat yang aku bisa dengan memakai high heels setinggi 5 cm menyusuri lorong sebuah rumah sakit di Jogja menuju ruangan the ultimate value setelah aku meninggalkan ruangan rapat kantor pukul 10.00 WIB, karena Lulu sekretarisku menginformasikan bahwa Eyang terkena serangan jantung dan sedang dilarikan ke rumah sakit. Ketika sampai di depan kamar tersebut, aku membuka pintu ruangan itu dan di dalam terlihat Mama dengan keadaan mata sembab, yang aku tau karena efek tangisannya. Ada Papa yang setia disisinya sambil memeluk Mama, ada kakakku, Adam yang sedang berdiri sambil bersedekap memandang Eyang yang sudah berbaring menggunakan segala macam alat yang tidak aku tau fungsinya.
"Ma, gimana keadaan Eyang sekarang?" Tanyaku sambil berjalan mendekati kedua orangtuaku dan menyalaminya
"Kata dokter kondisinya sudah stabil, Nad tapi nggak boleh banyak pikiran atau masalah yang membuat Eyang tertekan."
"Memang Eyang punya masalah apa, Ma? kok sampai kaya gini?"
"Mungkin karena Mama kemarin menentang keinginan Eyang buat jodohin kamu sama Juna. Jadinya Eyang sedih, kepikiran, karena dia sudah janji sama bude Ningrum, buat jodohin kamu sama cucunya kalo kalian sudah dewasa."
Deg...
Aku merasa kini justru jantungku yang berhenti sepersekian detik mendengar kata kata Mama. Apa mama bilang, "dijodohin" yang bener aja, sudah tahun 2021 kok masih mau menganut jaman Siti Nurbaya aja si Eyang. Mamaku memang hebat, sudah berani menentang keinginan Eyang, tapi kalo ujungnya Eyang seperti ini, aku yakin Mama pasti menyesali keputusannya. Sedangkan aku? Aku sudah memiliki kekasih bernama Aldi yang aku pacari sejak 2 tahun yang lalu.
"'Kan semua juga tau kalo aku sudah punya pacar Ma, ya aku nggak bisa kalo harus sama Juna. Lagian aku nggak kenal sama dia."
"Tapi Nad, sekarang yang terpenting itu kesehatan Eyang, bukan apa yang kamu mau," Adam menatapku dengan tatapan elangnya itu.
"Ya kalo gitu, lo aja kali, Dam yang nikah sama si Juna, gue mah ogah," kataku setelah itu aku meninggalkan ruangan ini karena aku yakin aku akan meledak bila terlalu lama berada di sini.
Dalam keadaan siaga satu seperti ini, satu satunya yang terlintas dikepalaku adalah segera menemui Aldi untuk memaksanya segera melamar dan menikahiku. Terserah Aldi siap tidak siap, hanya itu bukti kesungguhan Aldi dalam menjalin hubungan denganku. Toh usia kami yang sudah 28 tahun bisa dikatakan cukup matang untuk berumah tangga.
Karena aku tau Aldi sedang pulang ke Jogja, aku lajukan mobilku menuju rumahnya di daerah Godean. Ketika sampai di depan perumahan rumah Aldi, aku langkahkan kaki memasuki halaman rumahnya dan karena ingin memberi kejutan pada Aldi, aku membuka pintu rumah itu dengan kunci yang pernah Aldi berikan padaku. Kondisi rumah ketika aku memasukinya sangat sepi, tapi aku tau Aldi ada dirumah karena mobilnya ada di Garasi.
Ketika aku semakin masuk ke ruangan tengah, sayup-sayup aku mendengar suara desahan, erangan, rintihan dan itu suara wanita. Aku mencari sumber suara itu dan aku temukan sebuah kamar di pojokan dekat dapur. Pelan-pelan aku coba membuka pintu kamar itu dan hari ini mataku ternodai dengan adegan doggy-style di atas ranjang antara Aldi dan seorang wanita yang aku kaget setelah aku perhatikan lebih teliti ia adalah sekretaris Aldi di kantor.
Ya Tuhan,
aku tak mampu berkata kata, aku hanya bisa melongo, hingga Aldi menyadari kehadiranku. Kakiku terpaku, aku merasa saat ini aku merasa jadi patung.
"Nada?" Mata Aldi sudah selebar piring ketika menyadari keberadaanku. Aku masih diam ketika melihat Aldi turun dari kasur dan mencoba memakai pakaiannya. Aku yang tersadar atas semua kejadian ini segera berlari meninggalkan rumah Aldi secepat yang aku bisa. Sayup-sayup aku mendengar Aldi memanggil manggil namaku namun aku terus mengabaikannya.
Aku lajukan toyota prius biruku sekencang mungkin meninggalkan daerah jalan Godean yang aku tau tidak akan bisa sangat kencang karena ramai. Entah kenapa, aku wanita yang jarang sekali menangis bisa menangis kali ini. Tumpah ruah sudah semua tangisanku di mobil siang ini.
Dari semua kejadian kali ini, yang aku syukuri hanya satu, aku masih bisa mempertahankan kehormatanku selama aku berhubungan dengan Aldi. Melihat kejadian kali ini seolah aku merasa jika Eyang yang tidak pernah menyetujui hubunganku dengan Aldi adalah sebuah petunjuk bila Aldi memang bukan orang yang baik dan itu terbukti dengan adegan 21 tahun keatas yang aku tonton tadi.
***
Arjuna Harvito Widiatmaja POV
Hari ini Eyang memaksaku untuk mengunjunginya di rumah keluarga. Satu hal yang aku tau tentang Eyang adalah pasti ada sesuatu yang Eyang inginkan dariku. Karena aku mengetahui sifat Eyang ini, aku memutuskan untuk tidak pernah menemuinya bila itu bukan hari raya idul Fitri. Tapi asistenku sejak siang sudah bolak balik mengkonfirmasi bila ini sangat penting dan menyangkut hidup dan mati seseorang. Okay, memang kadang Eyang suka melebih lebihkan sesuatu. Tapi Dimas tidak akan berhenti menerorku di telepon atau memasuki ruanganku bila aku tidak segera menuruti keinginan Eyang.
Pukul 17.00 WIB sengaja aku meninggalkan kantor tepat waktu, karena harus menuju ke rumah Eyang di daerah sekitar Wijilan. Setelah perjalanan hampir satu jam dari kantorku karena macet jam pulang kerja, aku memasuki halaman rumah Eyang yang begitu rapi dan asri.
"Den Juna sudah datang. Monggo, Den Monggo, sudah ditunggu sama Ndoro."
"Ya Mbok, saya ke dalam dulu, ya."
Memasuki rumah Eyang yang bergaya tradisional modern ini membuatku teringat masa kecil yang sering aku habiskan ditempat ini jika Papa ada urusan diluar kota atau luar negri. Aku ucapkan salam ketika aku melihat Eyang yang dibalas dengan senyumannya yang sangat mencerminkan senyum seorang Ningrat. Eyang yang memakai kebaya, jarik dan rambut di sanggul masih menampakkan keanggunannya di usia
75 tahunan. Ketika aku mulai duduk, Eyang tanpa basa basi langsung menembakkan rudalnya kepadaku. Karena Eyang cukup tau aku tipikal orang yang tidak suka berbasa basi
"Jun, kamu sudah punya calon belum?"
"Calon apa Eyang?" Tanyaku balik sambil tertawa karena aku sudah menduga duga ujung dari pembicaraan absurd ini.
"Calon istri."
Aku yang tidak ada keinginan untuk menikah atau terikat dalam suatu hubungan jelas sekali tidak memiliki calon dan aku tau maksud Eyang ini apa.
"Kayanya lebih baik Eyang cariin istri dulu buat Papa, biar Papa nggak kesepian. Juna masih fokus sama kerjaan dan nggak ada waktu buat urusin istri."
"Oh ya, kamu bilang nggak ada waktu? Tapi Eyang tau kamu baru balik dari Semeru 'kan minggu lalu? Apa kamu nggak bosen naik turun gunung? ingat Juna umurmu sudah hampir kepala tiga."
Aduh...
si Eyang tau dari mana pula kalo aku barusan mendaki lagi? Mendaki adalah sebuah hoby yang sudah aku geluti sejak SMA karena aku merasa gunung adalah tempat yang tepat untuk melepas penatku selama ini.
"Baru 28 tahun lebih sedikit Eyang."
"Terserah, karena Eyang tau kamu itu paling seneng ngapelin monyet gunung, makanya Eyang carikan kamu jodoh dari bangsa manusia bukan primata."
Aku tertawa mendengarnya.
"Emang eyang mau jodohin aku sama siapa? Emang dia mau sama laki-laki modelan aku gini?"
"Sama Nada. Sharenada Raharja."
Aku kaget mendengar namanya. Sharenada Raharja. Nama perempuan yang sering disebut-sebut oleh teman temanku ketika SMA dulu. Anak sekolah sebelah yang dulu katanya berbody tinggi semampai bak super model, berkulit eksotis, ramah dan pintar. Sempurna, beda dengan aku yang seperti ini adanya.
"Pokoknya Juna nggak mau, terserah Eyang mau gimana, biar dia buat Papa aja. Papa 'kan awet muda juga. Mukanya mirip Chuando Tan begitu. Orang nggak akan percaya kalo Papa sudah 55 tahunan."
Setelah menolak dengan mentah-mentah usul Eyang itu, aku keluar dari rumah Eyang dan pulang menuju Temanggung, karena aku memang lebih memilih untuk tinggal di sana. Disebuah kota kecil di kaki gunung Sindoro dan Sumbing yang masih asri dan sejuk.
***