Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PART 2

Sharenada Raharja POV

Tiga hari sudah kondisi Eyang stabil tapi tidak ada perbaikan dan sudah tiga hari pula Aldi menerorku tanpa henti. Di hari pertama Aldi menelepoku tanpa henti dan hingga datang ke rumah. Hari kedua Aldi lebih gila lagi menerorku hingga sampai ke kantor serta juga ketiga sahabatku. Robert, Deva dan Salma pun tidak luput dari terornya hingga akhirnya kami semua memBlokir kontak Handphone Aldi secara berjamaah. Di hari ketiga ini saat aku sampai di depan gerbang rumah aku mememukan Aldi sudah berdiri di sana sehingga aku melajukan mobil meninggalkan rumah lagi. Setelah aku ingat-ingat kembali ternyata aku belum mengatakan kata putus padanya, sehingga aku memutar kemudiku kembali masuk ke jalan menuju rumah. Aldi masih berdiri di depan mobilnya, aku buka pintu mobilku dan menghampiri Aldi. Aldi yang melihatku datang langsung menghampiri.

"Hai, Nad." sapa Aldi padaku yang aku jawab hanya dengan senyuman dan anggukan.

"Tolong kamu jangan usik hidup aku atau orang disekitar aku lagi. Karena sejak aku melihat langsung kelakuan kamu kemarin, aku anggap kita sudah selesai. Terimakasih untuk semuanya, Di. Semoga kamu berbahagia."

Setelah memberikan bom atom kepadanya tanpa memberikan kesempatan untuk menyetujui atau menolak keputusanku tentang kandasnya hubungan ini, aku berlalu meninggalkannya menuju Guest House milik Eyang di daerah Jalan Monjali. Karena aku merasa malam ini aku butuh beristirahat di sini. Menenangkan pikiran yang carut marut sebelum besok pagi menggantikan tugas Adam menjaga Eyang Putri di rumah sakit.

Pagi hari setelah aku sarapan dan pamit kepada pak Manto, penjaga guest house milik Eyang, aku lajukan mobil menuju ke daerah ring road. Segera setelah memarkirkan mobil, aku menaiki lift menuju kamar Eyang. Disana aku melihat Adam sedang sarapan.

"Hai, Nyet. Sorry ya, telat ke sini." kataku kepada Adam sambil tersenyum. Aku memang tidak memanggil Adam dengan Sebutan Mas, Abang atau kakak, mungkin karena jarak umur kami yang hanya 18 bulan. Aku memanggil dirinya dengan panggilan Monyet, seperti cara sahabatnya yang bernama Shara memanggilnya. Uniknya Adam tidak pernah marah ketika dipanggil monyet oleh orang-orang terdekatnya. Karena ia juga jomblo karatan, terkadang ketika kami jalan bersama pun orang akan mengira kalo kami saudara kembar tidak identik atau bahkan sepasang kekasih.

"Nggak pa-pa, Lo udah makan belum? kalo belum, nih gue barusan beli makan di restoran bawah."

"Sudah, Nyet. Lo habisin aja makanannya."

Setelah Adam menghabiskan makanannya, aku mengajaknya berbicara empat mata di sofa.

"Ada apa, Nad? Muka lo kaya habis dikejar debt colector gitu."

"Nyet, gue putus sama Aldi."

Adam hanya menatapku tanpa memberikan komentarnya sedikitpun. Cukup lama Adam terdiam.

"Kok lo diem aja sih, Nyet?"

"Berarti apa yang dibilang sama Wanda bener dong. Aldi selingkuh."

"Hah? Kok Wanda tau Aldi selingkuh?"

"Waktu itu gue 'kan meeting ke Bali sama tinjau beberapa aset keluarga kita disana. Terus kebetulan hotelnya Wanda sama gue beda karena dia ngajak suami sama anaknya sekalian liburan gitu katanya. Ternyata pas di loby Wanda lihat Aldi pelukan dan ciuman gitu. Awalnya dikira itu lo makanya dia pengen nyamperin, tapi pas dilihat makin deket ternyata bukan, ya dia nggak jadi nyapa. Akhirnya pas selesai meeting Wanda cerita ke gue soal itu."

"Monyetttt ... kok lo tega nggak cerita ke gue soal itu!" Kataku yang sudah mulai gemas dengan kakakku yang menyimpan ini seroang diri.

"Emang lo bakalan percaya? Paling juga enggak. Lo kan *bulol ke Aldi. Sekarang kalo lo sudah tau tabiat asli mantan pacar lo ini, sebaiknya coba deh lo terima aja perjodohan lo sama si Juna."

*Bulol : bucin tolol

"Diterima gimana sih, Nyet, kenal juga kagak, belum pasti juga dia mau sama gue. Lagian kenapa juga nggak lo aja yang dijodohin? lo kan pria kesepian kaya lagunya Sheila on seven."

Mendengar perkataanku Adam hanya mendengus bagai kuda tanpa berkomentar lebih jauh.

"Sudah ah, gue mau pulang. Lo jagain Eyang yang bener, jangan galau, malu sama umur."

Selama menunggu Eyang aku buka laptop dan menyelesaikan beberapa pekerjaanku. Sejak kejadian itu, aku berusaha menyibukkan diriku dengan pekerjaan dan bagusnya justru banyak pekerjaan yang selesai sebelum deadline. Bahkan Lulu sampai takjub karena aku kerja keras bagai kuda dan semangat 45. Dengan umurku yang sekarang, merasa galau, menangis dan jatuh hingga dasar jurang merasakan perasaan patah hati itu terlalu drama karena suka tidak suka, mau tidak mau, sakit ataupun tidak, dunia tetap akan berputar, yang sudah terjadi hanya akan menjadi kenangan dan yang terpenting adalah bagaimana menjalani hari esok dengan lebih baik dan menjadikan ini semua sebagai pelajaran hidup.

Ketika pintu kamar Eyang diketuk, aku baru sadar jika kini sudah masuk jam besuk di hari Minggu. Aku membukakan pintu dan menemukan wanita seusia Eyang berdiri di depan pintu bersama dengan seorang laki-laki dengan wajah tampan, berkulit putih, berbadan bagus yang mungkin tampak muda untuk seusianya. Bisa aku katakan dia ganteng, berwibawa dan memiliki senyum yang menawan. Pasti istrinya begitu beruntung memiliki suami setampan ini.

"Maaf, apa benar ini kamar Astuti?"

"Iya benar, mari masuk, Bu, Pak."

Setelah di dalam beliau mengenalkan dirinya dan anaknya. Aku baru tau ini yang namanya Eyang Ningrum dan Pak Wisnuaji, Papanya Juna.

Eyang Ningrum langsung mendekati ranjang Eyang sedangkan laki-laki itu menyerahkan parsel buah dan sekotak roti yang aku tau itu roti favorit Eyang putri.

"Wis, mana Juna? Kok lama sekali cari parkiran, jangan-jangan dia kabur."

"Coba aku telepon dulu ya, Bu."

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Setelah pembicaraanku dengan Adam tadi, aku sempat penasaran dengan wujud rupa si Juna ini. Semoga saja good looking kalo nggak kasian sekali nama itu disematkan kepada orang yang tidak tepat. Mungkin Arjuna akan menangis tersedu-sedu jika namanya dipinjam oleh orang yang tidak tepat.

Tidak ada pembicaraan yang terjadi di ruangan ini, yang terdengar adalah suara Eyang Ningrum sedang terisak dan Pak Wisnuaji yang sedang sibuk menelepon. Hingga hampir 10 menit kemudian muncullah sesosok lelaki yang mungkin seumuran denganku, tinggi kisaran 187 centimeter, memakai kaos hitam polos, di luarnya ia menggunakan kemeja flanel kotak kotak, celana jeans panjang sobek sobek di bagian lututnya. Tampangnya aku yakin tidak murni 100% keturunan Jawa, Seperti ada percampuran darah luar. Sangat berbeda sekali dengan Aldi yang termasuk lelaki pesolek atau metroseksual. Secara keseluruhan bisa kubilang lelaki ini adalah lelaki idaman sahabatku, Adeeva Abriana Utama, alias si sampah.

***

Arjuna Harvito Widiatmaja POV

Pagi tadi aku sudah diseret oleh Papa untuk ke Jogja. Bayangkan betapa niatnya Papaku ini karena pukul 6 pagi sudah sampai di Temanggung hanya untuk menjemputku ke Jogja. Sesuatu yang menurutku sangat buang-buang waktu, bensin dan tenaga. Mau tidak mau aku harus ikut dengannya. Sampai di jogja pukul 8 pagi aku langsung melesatkan diriku di kamar dan mandi. pukul 09:00 WIB, Papa sudah mengajakku menjemput Eyang dirumahnya. Ketika aku bertanya kenapa minggu pagi ini Papa repot-repot menjemputku ke rumah, jawabannya, "ketemu calon besan" sangat membuatku ingin pergi. Kenapa bukan Papa saja yang dicarikan istri setelah 27 tahun lebih menduda dan hidup mandiri? Bukankah Papa lebih membutuhkan belaian kasih sayang daripada diriku?

Dengan berat hati aku melangkahkan kaki memasuki lorong rumah sakit dan menuju ke kamar Eyang Astuti. Aku tarik nafas dalam-dalam sebelum pelan-pelan mengembuskannya dan bersiap memasuki ruangan itu.

Ceklek.....

Pertama kali setelah aku membuka pintu itu yang terlihat oleh mataku adalah sosok wanita menggunakan dress pendek di atas lutut warna hitam, tinggi, berkulit eksotis, dan memiliki body yang akan membuat suaminya kelak betah berada di ranjang.

"Juna, kenalin ini Nada, calon istri kamu."

Suara Eyang sukses membuatku dan Nada langsung melotot dan saling memperhatikan satu sama lain dari atas sampai bawah.

Oh, aku tidak perlu diperhatikan olehnya sampai seperti ini. Toh aku sadar diri, melihat penampilanku yang jauh dari standartnya, tidak mungkin dia akan mau mendampingiku, apalagi aku ajak jalan-jalan ke gunung. Pasti ribet bersama perempuan model seperti ini. Yang bakalan banyak mengeluh karena capek, kotor, panas, ada lintah, ada ular, nyari kamar mandi nggak dapet. Sudah pasti perempuan seperti Nada tidak akan mau menjalani semua itu.

Aku melihat Nada mengulurkan tangannya, sebagai bentuk sopan santun aku juga mengulurkan tanganku untuk menyalaminya. Setelah itu Nada mempersilahkan aku duduk di sofa. Aku memilih duduk di hadapannya. Tidak lama aku duduk, Eyang dan Papa datang menghampiri kami, mereka duduk di sebelahku. Saat ini aku duduk diapit oleh Eyang dan Papa.

"Nada, apakah Eyang Astuti sudah menyampikan semuanya ke kamu?"

Aku melihat Nada hanya tersenyum, bingung mungkin mau menjawab apa pada Eyangku ini.

"Eyang pribadi belum membicarakannya dengan saya, tetapi melihat Eyang kondisinya seperti saat ini, sebagai seorang cucu saya tidak punya pilihan lain selain menuruti keinginannya dan membahagiakan Eyang selagi Tuhan masih memberikan kesempatan."

Aku kaget mendengar jawaban Nada. Aku melihat Nada menundukkan kepalanya tidak berani menatap kami bertiga. Karena aku merasa perlu membicarakan semua ini dengannya, aku meminta ijin kepada Eyang untuk membawa Nada keluar sebentar dan menitipkan Eyang Astuti pada Eyang putri dan Papa.

***

Saat ini aku dan Nada ada di salah satu restoran di dalam rumah sakit. Aku sengaja mengajaknya kesini.

"Nad, Lo mau minum sama makan apa? Gue pesenin."

"Samain aja sama yang Lo pesan."

Akhirnya aku memesankan menu nasi gudeg ayam suwir dan teh panas untuknya. Setelah pesanan kami datang aku mengajaknya makan dulu sebelum mengajaknya berbicara. Karena bagiku membicarakan hal-hal berat dan penting itu lebih baik dalam keadaan kenyang.

"Nad, lo serius sama apa yang Lo bilang tadi di atas?"

"Iya, gue serius."

Aku menghela nafas mendengar jawaban Nada.

"Pernikahan bukan mainan, Nad dan itu akan mengikat seseorang seumur hidup. Pernikahan yang diawali dengan cinta saja banyak yang berakhir dengan perpisahan apalagi kita yang nggak ada rasa sama sekali. Itu terlalu berat buat dijalani."

"Gue nggak peduli, seenggaknya Eyang gue bahagia. Lagian gue sudah dapat karma karena nggak dengerin nasehat Eyang."

"Gue nggak yakin bisa, Nad. Gue nggak mau terikat, gue nggak bisa jadi suami yang baik. Gue adalah orang yang mencintai kebebasan di atas segalanya."

"Selagi itu bukan sex bebas dan narkoba gue tutup mata sama kelakuan lo."

"Gue juga nggak segila itu, Nad. Lo nggak tau gue sama sekali dan begitupula gue. Di samping itu gue yakin, lo nggak akan bisa ikutin gaya hidup gue, Nad. Dari apa yang gue lihat lo itu adalah tipe perempuan yang bakal jadi Thropy wife."

"Maksud lo apa?"

Kali ini aku melihat Nada langsung emosi setelah mendengar kata-kata Thropy wife yang barusan keluar dari mulutku.

"Dengar dan camkan baik-baik di kepala lo Jun. Gue ini perempuan mandiri dengan pekerjaan bergaji delapan digit setiap bulan. Gue nggak perlu sokongan dana dari orang lain untuk memenuhi kehidupan gue atau gaya hidup gue. Dan gue yakin lo pun nggak tau gaya hidup yang gue jalani selama ini seperti apa. Jangan melihat orang hanya dari cover luarnya aja!"

Setelah menumpahkan segala bentuk kejengkelannya kepadaku, akhirnya Nada meninggalkanku sendiri seorang diri di dalam cafe tersebut. Kini baru aku baru aku sadari jika aku sudah menyakiti hati Nada di pertemuan pertama kami hari ini.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel