UANG KAGET MODAL NIKAH
“Kamu kenapa?” tanya Rifin ketika sekonyong-konyong Gendhis mengambil bongkahan es batu dari dalam freezer. Gadis itu menyeka ujung bibir dengan benda dingin yang dilapisi oleh kain. Tamparan wanita tadi sangat kuat, sehingga membuat bibirnya terantuk gigi.
“Cuma salah paham aja, kok. Aku nggak apa-apa,” jawab Gendhis sekenanya.
Memang benar itu adalah sebuah kesalahpahaman. Secara, tidak ada hubungan istimewa antara Gendhis dan Galang. Pria itu sudah memiliki calon istri, pun dengan dirinya yang saat ini menjalin hubungan serius dengan Rifin. Kedua pria itu bukan pilihan karena sejak awal Gendhis tidak pernah menyukai Galang.
Rifin merapikan tempat tidur dan menyuruhnya untuk segera beristirahat. Jam menunjukkan pukul 22.30 tetapi pria itu tetap terjaga menunggu Gendhis pulang. Padahal, besok ia harus masuk pagi.
“Rifin, kita nikah, yuk!”
“Apa?! Nikah?!”
Rifin tampak terkejut saat Gendhis mengutarakan bahwa sebaiknya hubungan keduanya diresmikan. Bukan tanpa alasan, sejak kedatangannya, hingga sekarang kasur yang seharusnya untuk ia tempati malah tidak pernah dipakai. Ya, keduanya tidur bersama dan hampir setiap malam dan menjelang subuh melakukan hubungan layaknya suami-istri. Bisa dikatakan, mereka adalah pasangan tidak sah seperti beberapa penghuni indekos lainnya.
“Kenapa? Kamu nggak serius sama aku? Iya?”
“Bukan begitu, Dhis. Kamu kan tahu, aku baru lepas masa training, hutang aku ke kamu aja aku belum bisa bayar. Nikah itu butuh banyak biaya, Dhis.
“Soal biaya nggak usah dipikirin, kita nikah di kampung aku aja. Bapakku pasti seneng banget, Fin.”
“Nanti aku pikirkan lagi ya, Dhis?”
Tidak seperti biasanya, Rifin tidur dengan memunggungi Gendhis. Sepertinya, permintaan gadis itu tadi mengusik pikirannya.
‘Ah, apakah aku salah bicara? Bukankah hubungan yang seperti ini justru pihak wanita yang paling dirugikan? Entahlah, saat wanita mencintai dengan tulus, tetapi pria mencintai dengan nafsu,’ batin Gendhis.
Beberapa hari kemudian, di pagi hari, Gendhis mengantar Rifin, hingga ke pagar indekos. Tak lupa, ia menggantungkan tas berisi bekal makan siang buatannya pada skuter matik yang akan dikendarai Rifin.
“Nanti kamu mau ke mana?” tanya Rifin yang mengetahui bahwa hari ini Gendhis sedang libur. Sejak menjadi leader ia selalu memiliki libur di hari Minggu. Senang tapi tidak juga. Rifin selalu libur di hari Jumat. Hal itu menyebabkan keduanya tidak memiliki waktu bersama untuk jalan-jalan berdua.
“Nggak tahu, Nisa kerja, kamu kerja. Nggak ada temen, bingung mau ke mana?” jawab Gendhis.
“Oh, aku usahakan pulang cepet, deh! Biar ntar sore kita bisa jalan,” ujar Rifin yang membuat Gendhis semringah.
“Emang bisa?” tanya Gendhis pura-pura meragukan Rifin.
“Bisa lah, pura-pura sakit. Terus izin pulang, hahaha ....”
Itulah Rifin, pria yang lucu dan penuh perhatian di mata Gendhis. Menyentuh dengan sangat lembut hingga Gendhis selalu berpikir, lebih baik mati bila tanpanya. Ia adalah sosok yang sempurna secara fisik maupun kepribadian. Hanya saja, kurang beruntung dalam segi ekonomi.
TOK! TOK! TOK!
“Eh, Bang Galang. Maaf, Bang. Aku nggak mau kena tampar lagi.”
Gendhis segera menutup kembali pintu itu, tetapi kalah kuat dengan tenaga Galang.
“Dhis, Dhis, Gendhis ... sekali ini saja. Temani aku makan siang, ya! Minggu depan aku akan menikah, please!”
Dengan berat hati, akhirnya Gendhis mengiyakan permintaan Galang. Gadis itu menyambar tas tangan tanpa memeriksanya terlebih dahulu. Keduanya berjalan beriringan menuju mobil Galang yang tampaknya baru dibelinya. Entahlah, untuk seorang supervisor swalayan yang memang besar, tetapi ia terlihat terlalu kaya, tidak seperti umumnya orang dengan jabatan tersebut.
Setengah jam perjalanan, mereka sampai pada kafe yang terkenal karena mahal bukan karena enak. Seumur-umur, baru kali ini Gendhis masuk ke tempat elit seperti ini. Ya, meskipun harus dengan orang yang ia sendiri sebetulnya sudah muak sejak lama.
“Ini untukmu,” ujar Galang sembari meletakkan sebuah kotak yang ditentengnya sedari tadi sejak keluar dari mobil.
“Apa ini, Bang? Abang yang mau nikah, kok, aku yang dikado?”
“Bukalah!”
Sebuah tas tangan bermerek dagang terkenal buatan luar negeri memadati benda berbentuk kotak itu. Jika itu asli, harganya mungkin mencapai ratusan juta rupiah. Astaga, ini sepertinya berlebihan dan membuat Gendhis takut jika sampai calon istri Galang akan sakit hati bila mengetahui ini semua.
“Maaf, Bang. Aku nggak bisa terima ini. Abang bawa balik saja,” tolak Gendhis pada Galang.
“Lho, kenapa? Anggap saja ini kenang-kenangan dariku. Setelah menikah nanti, aku tidak akan bekerja di swalayan itu lagi.”
Galang memaksanya untuk menerima hadiah tersebut. Akan tetapi, Gendhis lagi keras kepala dan tetap menolak. Tiba-tiba, Galang membuka tas mahal itu kemudian beralih membuka tas miliknya. Saat pria itu menuang semua isinya ke dalam Hermes hal mengejutkan terjadi yang membuat gadis itu benar-benar tertunduk malu.
“Ini? Dhis, ini ... kamu? Kamu punya ....”
“Iya, Bang. Aku punya pacar. Sudah empat bulan kami tinggal sekamar. Maaf karena tidak memberitahu Abang,” jawab Gendhis yang kemudian merampas benda bermerek dagang Sutra yang dipungut Galang dari dalam tas miliknya.
“Dhis, pria itu harus menikahimu. Dia nggak bisa menidurimu setiap malam seperti itu. Bagaimana jika suatu saat dia mencampakkanmu?”
“Sudah kukatakan itu padanya, Bang. Belum bisa dia putuskan. Katanya dia masih harus mencari biaya pernikahan agar nggak malu di depan keluargaku.”
Hingga selesai makan siang, obrolan keduanya hanya tentang Rifin. Mau tidak mau, Gendhis menceritakan semua kepada Galang. Pria itu tampak kecewa, tetapi pada akhir pertemuan, Galang mengatakan bahwa telah ikhlas jika Gendhis memilih untuk segera mengakhiri masa lajang, pun dengan dirinya.
Galang berjanji akan selalu mencintainya, tetapi hal itu justru tidak membuat Gendhis merasa senang. Ia merasa sangat berdosa karena telah mengabaikan perasaan pria tersebut selama ini. Hanya ada Rifin di hatinya. Lagi pula, ia tidak ingin menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Galang dan Karin nantinya.
“Lho, bisa juga kamu pulang cepat, Fin?” tanya Gendhis pada Rifin yang tergopoh-gopoh masuk kamar. Rifin mengunci rapat pintu lalu menariknya ke sofa depan televisi. “Ada apa sih, Fin?”
“Tadi, Abang kamu menemuiku,” jawab Rifin yang membuat Gendhis semakin tidak mengerti. Abang siapa yang ia maksud? Gendhis adalah anak tunggal dan di kota ini tidak memiliki sanak saudara satu pun.
“Abang yang mana, ah! Jangan ngaco deh!”
“Dia bilang Abang angkat kamu. Namanya Galang. Nih, dia ngasih duit sebanyak ini,” jelas Rifin sembari menjejerkan sepuluh gepok uang di atas meja.
“Seratus juta?! Untuk apa?!”
Tak dapat dipercaya, menurut pengakuan Rifin, Galang datang menemuinya dan memberikan uang sebesar seratus juta untuk modal nikah. Entah apa yang ada dipikiran pria itu. Bagaimana mungkin ia dengan mudah menggelontorkan dana sebesar itu untuk orang agar menikahi wanita yang sebenarnya ia sendiri mencintainya?
“Mggak, Fin. Kamu harus balikin duit itu!”
“Nggak. Kerja setahun juga nggak bakalan dapat duit sebanyak ini. Rejeki jangan ditolak. Ini modal buat kita nikah. Kamu sendiri, kan, yang bilang kalau kita harus secepatnya menikah?”
‘Ah, iya. Bukankah tadi siang aku telah menceritakan semua perihal mengenai Rifin kepada Bang Galang? Aku tak menyangka dia sampai nekat melakukan ini,’ batin Gendhis.
Seminggu kemudian, semua karyawan swalayan mendapatkan undangan untuk menghadiri pernikahan Galang dan Karin. Galang Lukito dan Karin Anandita, kedua nama itu tercetak indah pada sampul undangan dengan kesan mewah, tetapi tetap elegan. Gendhis berniat mengajak Rifin ke acara resepsi. Beruntung, dengan senang hati pria itu bersedia ikut dengannya.
“Selamat, Bang! Semoga samawah, aku ikut bahagia,” ucap Gendhis sembari menyalami pucuk jari mempelai pria.
“Makasih, Dhis. Jangan lupa undang aku di pernikahan kalian nanti.”
Gendhis beralih pada mempelai wanita. Mengucapkan ucapan selamat kepadanya, tetapi ... di luar dugaan. Karin tidak bersedia menyambut jabatan tangan darinya. Wanita itu justru melengos, tak sudi menatap wajah wanita yang pernah ditamparnya, beberapa waktu lalu. Ternyata, kesalahpahaman di antara keduanya belum juga tercerahkan.
Melihat hal tersebut, Rifin segera menggandeng dan menyeret Gendhis untuk meninggalkan pesta. Pria itu tidak terima melihat kekasihnya dipermalukan sedemikian rupa. Sampai di parkiran, Gendhis melepaskan cengkraman tangan Rifin dan menghentikan langkah.
“Rifin! Kamu apa-apaan, sih?!” protes Gendhis.
“Kamu nggak lihat, mempelai wanitanya nggak ada akhlak. Orang ngasih selamat malah dicuekin. Aku nggak terima, ya! Kamu dipermalukan seperti itu," ocehnya kesal.
“Aku nggak apa-apa, kok. Di antara kami cuma terjadi sedikit kesalahpahaman saja. Makanya Mbak Karin bersikap seperti itu,” bela Gendhis mematahkan anggapan Rifin mengenai sikap sombong Karin.
Setelah pertikaian di area parkir itu berakhir dengan permintaan maaf Rifin kepada Gendhis. Keduanya melanjutkan perjalanan menuju ke restoran seafood. Tanggung, sudah dandan ke kondangan belum makan sudah pergi. Akhirnya, meski harus merogoh kocek lumayan banyak, keduanya terpuaskan oleh sajian menu yang menggoyang lidah sebagai pelampiasan.