Ringkasan
Wanita bertubuh gemuk di samping pria tampan kerap menjadi bahan olokan. Hal itulah yang membuat Rifin menyesal telah menikah dengan Gendhis. Kebalikan dari Rifin, Gendhis justru bangga setengah mati bisa punya suami yang usianya 5 tahun lebih muda dari dirinya. Selain muda, Rifin juga sangat tampan dan berkarisma. Awalnya, Gendhis begitu yakin jika sudah cinta yang berbicara, maka fisik bukan lagi jadi syarat utama. Kenyataannya, suaminya yang tampan justru mendambakan gadis langsing nan cantik yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri. Jadi, apakah itu timbunan lemak ataukah timbunan dosa? Mengapa begitu teraniaya hanya karena tidak bisa mengenakan celana jeans ukuran 27-28? Good looking is number one, begitulah pandangan dunia para playboy seperti suami dari Gendhis Pitaloka. Info Lain
TERPAKSA TIDUR DENGAN BOS
BRUK!
Gendhis melempar tas punggung yang tak seberapa besar ke atas kasur. Penat sekali rasanya seharian bekerja penuh tekanan di balik meja kasir supermarket. Setiap hari pegang banyak uang, tetapi gaji kecil. Namun, hanya itu yang bisa ia dapatkan dari latar belakang pendidikan terakhir sekolah menengah kejuruan.
Sebenarnya, Gendhis adalah anak semata wayang. Bapaknya adalah orang tua tunggal sejak sang istri meninggal saat melahirkan putri mereka, 25 tahun yang lalu, Gendhis Pitaloka. Bukan biaya yang menjadi masalah, sehingga tidak melanjutkan ke universitas, tetapi memang dasarnya gadis itu sudah bosan juga menuntut ilmu. Eh, tak tahunya dunia kerja jauh lebih membosankan.
Ya, begitulah ... jika tidak tahan untuk belajar, maka harus bertahan dengan getirnya kebodohan. Selain itu, Gendhis merasa bapaknya itu over protektif, sehingga membuat dirinya ingin lepas dan bebas. Alhasil, sesaat setelah kelulusan Gendhis kabur ke luar provinsi guna melakoni apa itu kemandirian.
Ia masih ingat saat pertama kali menghubungi bapaknya setelah tiga bulan meninggalkan rumah tanpa seizin bapaknya. Pria tua itu terdengar terisak-isak, membujuk sang putri agar segera pulang. Terenyuh hati gadis itu ketika orang yang ia sayangi, ternyata begitu tersayat, menangisi kepergiannya. Akan tetapi, setelah ditenangkan oleh saudara sepupu, akhirnya pria paruh baya itu ikhlas, dan Gendhis pun selalu menyempatkan diri pulang kampung setiap enam bulan sekali.
“Udah pulang gawe, ya? Jangan capek-capek ya, Beb!”
Uh, sebuah pesan penghilang penat dari pacar online. Perhatian pria yang sejatinya lima tahun lebih muda darinya itu, sudah hampir setahun membersamai hari-hari yang kini tak suram lagi. Rifin, menurut ceritanya, saat ini ia sedang merantau di pulau seribu pura. Gendhis percaya, karena mereka pernah melakukan video call dan dia memang tengah berada di tempat yang seperti surga itu. Perkenalan keduanya melalui grup pecinta kucing, berlanjut dengan saling menyimpan kontak, lalu saling mengirim pesan pribadi.
Namun, akhir-akhir ini Rifin sering mengeluhkan betapa berat pekerjaan di sana sebagai asisten pemandu wisata. Dia sama seperti Gendhis yang hanya lulusan SMK. Tak ayal kerap disepelekan dianggap tidak mumpuni. Ya, setahun menjadi pengangguran di kampung setelah lulus sekolah, membulatkan tekat untuk merantau. Profesi yang saat ini ia lakoni terhitung baru setahun lebih beberapa bulan.
Upahnya sangat kecil, bahkan hanya cukup untuk tiga Minggu hidup. Sementara seminggunya lagi biasanya Gendhis mengirimkan sedikit uang. Tidak, gadis itu tidak merasa dimanfaatkan. Rifin pria yang baik dan jujur. Dia pernah meminjam uang kepadanya untuk membantu orang tua di kampung halaman karena harus menyekolahkan dua anak lainnya, yaitu adik-adik Rifin. Tak lama setelah mengaku memperoleh tip yang banyak, Rifin langsung membayar hutang tersebut.
Begitu juga dengan uang yang Gendhis transfer setiap Minggu terakhir, itu adalah murni keinginan gadis itu. Sekalipun ia selalu melarang untuk tidak melakukan hal itu lagi. Gendhis tetap mengirimkan, meskipun tidak banyak setidaknya bisa untuk makan dan membeli kretek.
“Aku mau pulang kampung saja, di sini diperlakukan seperti hewan peliharaan.”
“Namanya kerja sama orang ya seperti itu, kamu yang sabar, ya ….”
“Maaf, sepertinya aku harus pulang kampung saja. HP akan kujual untuk ongkos. Jangan kangen, ya!”
“Rifin, please! Jangan seperti ini!”
Pria itu tak terlihat online lagi. Panggilan telepon seluler maupun internet pun ia abaikan. “Ah, apa yang bisa kuperbuat untuk menolongnya?” gumam Gendhis.
Gendhis pergi ke bilik ATM tak jauh dari indekos untuk melihat saldo rekening. Alhamdulillah, bertengger belasan juta, jerih payah beberapa tahun terakhir dari gaji yang sebenarnya tidak besar. Terbesit dalam benak untuk memberikan setengah saldo kepada Rifin sebagai ongkos pulang ke kampung halaman. Akan tetapi, Gendhis punya ide yang mungkin akan disetujuinya.
Berkali-kali menelepon, tak juga dijawabnya. Gadis itu memutuskan untuk mengirim pesan dan berharap besok pagi akan dibaca. Selain itu, ia juga berharap Rifin setuju dengan tawaran tersebut.
“Rifin, aku udah transfer. Gimana kalau kamu ke sini saja? Aku janji akan carikan pekerjaan sesampainya kamu di sini.”
Harap-harap cemas menunggu jawaban dari Rifin, Gendhis tidak bisa tidur semalaman. Namun, saat azan subuh berkumandang, ia justru terserang rasa kantuk yang tak tertahankan. Alhasil, ia pun bangun kesiangan dan terlambat masuk kerja. Hal itu membuat supervisor yang merupakan keponakan owner menjadi murka. Pria itu pun mengancam akan mengadukan ini semua agar ia ditindak tegas.
“Bang, jangan dong! Aku janji, ini nggak akan terulang lagi,” ucap Gendhis memohon kepada Galang selaku supervisor yang cintanya pernah ditolak oleh Gendhis. Sejak cintanya pada Gendhis bertepuk sebelah tangan, ia sepertinya sangat dendam.
“Kenapa terlambat?” tanyanya tanpa melihat ke arah bawahannya itu.
“Aku abis pindah kost, Bang. Jadi kecapean, susun ini dan itu sendirian,” jawab Gendhis berbohong. Padahal, sudah sebulan yang lalu ia pindah indekos.
“Pindah ke mana sekarang?”
Gendhis memberikan alamat indekos dan menawari Galang untuk mampir. Entahlah, gadis itu berharap ia tidak sungguh-sungguh ingin berkunjung malam ini. Supervisor sepertinya selalu mendapatkan hari Minggu sebagai hari libur. Sedangkan Gendhis, harus rolling dengan karyawan lain dan tidak boleh pada tanggal merah.
Selamat, Galang sepertinya sudah tidak lagi mempermasalahkan keterlambatannya hari ini. Salah Gendhis memang, dua jam sudah terlewat, seharusnya tidak ada lagi toleransi dan langsung dikenakan SP. Kendati demikian, Gendhis lolos untuk hari ini.
Menyendok makan siang sembari memeriksa ponsel, gadis itu buru-buru membalas pesan dari Rifin. Terbayarkan sudah tirakatnya tadi malam. Pria itu setuju untuk tidak pulang kampung dan segera bertolak ke kota ini. Tepatnya, empat hari lagi, ia akan datang menemui Gendhis.
“Yes! Ahahai ....!”
Spontan, Aku melompat Gendhis berteriak kegirangan, sementara orang-orang memandangi. Malu sekali rasanya. Namun, semuanya terhapus oleh perasaan bahagia sebab kekasih hati akan segera tiba. Sepulang kerja, Gendhis bergegas membeli kasur, sprei, bantal, guling dan lemari untuk Rifin. Sementara, pria itu akan tinggal satu indekos dengannya sampai mendapatkan pekerjaan.
TOK! TOK! TOK!
Tengah sibuk membersihkan dan menata kamar, terganggu oleh suara ketukan pintu. Biasanya Annisa yang sering datang ke sini untuk curhat mengenai kekasihnya yang ternyata sudah beristri itu. Huh, malang sekali nasib gadis itu. Sudah terlanjur cinta tak tahunya si pria yang dibicarakan adalah Ayah sambungnya sendiri.
“Malam banget, Nis ... eh, Bang Galang. Kirain Nisa, masuk, Bang!”
Ternyata bukan Annisa yang datang, tetapi Galang. Padahal, tadi siang Gendhis hanya basa-basi saja menawarinya untuk mampir. Untung saja, indekos ini bebas tanpa peraturan yang penting bayar sewa tepat waktu. Jika tidak, Gendhis takut kalau tiba-tiba digerebek. Sebulan tinggal di sini, belakangan diketahui bahwa ada beberapa pasangan tanpa ikatan sah yang turut menyewa.
“Kamu makin seksi ya, Dhis?”
Deg, Gendhis baru sadar. Ternyata ia hanya mengenakan celana dalam dan kaos oblong putih transparan. Pantas saja, bola mata Galang seperti hendak meloncat keluar. Gadis itu melompat ke atas kasur meraih selimut untuk menutupi bagian bawah, tetapi terlambat. Pria itu secepat kilat merobohkan tubuhnya.
“Aduh! Apa-apaan sih, Bang?”
“Soal keterlambatan tadi, kira-kira mau aku tutupi atau ....” ucapnya terpotong, memaksa Gendhis untuk mengerti apa yang sedang ia inginkan sekarang.
Gendhis tahu maksud lelaki ini. Supervisor tersebut rupanya memerasnya dengan kejadian tadi. Tidak, masalah itu tidak boleh sampai dibesar-besarkan. Meskipun tidak langsung dipecat, tetapi potong gaji sudah pasti, sedangkan Rifin akan tinggal di sini. Otomatis, pengeluarannya bertambah, jika penghasilan berkurang, bagaimana kelanjutan hidup keduanya nanti?
Lagi pula, jika tidak dituruti kemauannya. Ke depannya Gendhis akan bermasalah di tempat kerja yang berakhir dengan pemecatan juga. Baiklah, sekali ini saja maka akan ia biarkan pria bertubuh tegap itu menang.
“Bang, sekali ini saja, ya!” ucapnya memohon yang entah didengarkan atau tidak oleh Galang.
Keesokan harinya, pria itu masih bermalas-malasan di atas kasur sembari memainkan ponselnya. Sedangkan Gendhis sudah mengenakan seragam swalayan terbesar di kota ini. Namun, gadis itu tidak mungkin pergi jika atasannya itu masih di sini.
“Bang! Abang pulang, gih! Aku mau berangkat kerja, udah mau terlambat, nih!” usirnya dengan nada semanis mungkin agar atasannya tidak tersinggung.
“Ini hari Minggu, aku libur,” jawab Galang seraya meletakkan ponsel, lalu meraih pergelangan tangan Gendhis yang sedari tadi berdiri di samping tempat tidur.
“Ya, Abang libur, tapi kan aku kerja. Ya, Abang pulang, ya!”
Alih-alih mengindahkan permintaan bawahannya yang menyuruhnya untuk segera pulang. Ia justru menarik dan berusaha mengulangi kenikmatan yang direngguknya semalam. Akan tetapi, kali ini segera mendapatkan penolakan. Sebisa mungkin, hal itu tidak boleh terulang kembali.
“Maaf, Bang! Tolong hargai aku, kali ini saja, tolong, ya!”
Gendhis berjanji, ke depannya akan bersikap baik kepada Galang dan tidak akan menolak jika diajak makan siang bersama. Kendati demikian, pria itu tidak memaksa untuk menjadi kekasihnya, sebab pria tersebut telah dijodohkan oleh orang tuanya beberapa bulan yang lalu dan akan segera melangsungkan pernikahan. Akhirnya, Galang bersedia meninggalkan kamar indekost milik Gendhis.