DILABRAK CALON ISTRI BOS
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Gendhis menjemput Rifin di bandara dengan motor matik kesayangan. Pria itu bilang hanya membawa satu tas punggung jadi tidak perlu memesan taksi. Jantung gadis itu berdebar-debar tak karuan. Setelah hampir setahun akhirnya keduanya bisa bertemu secara langsung.
“Gendhis, ‘kan?” tanya seorang pria tampan yang sedari jauh sebenarnya sudah saling pandang. Gendhis berpikir jika pria tersebut tampak berbeda dengan terakhir kali melakukan video call dengannya, tepatnya dua bulan yang lalu. Rifin tampak rapi, mungkin karena rambut sebahunya itu diikat ke belakang.
Kecanggungan di antara keduanya tak terelakkan lagi. Seperti belum pernah mengenal sebelumnya. Akan tetapi, memang benar adanya, ini adalah pertemuan pertama. Gendhis pun tiba-tiba kehilangan kata-kata dan salah tingkah.
Tak berlama-lama, Gendhis membawa pria itu meluncur ke indekost. Sebuah kamar yang sudah dirapikan sejak tiga hari yang lalu. Berharap Rifin akan betah tinggal di tempat ini.
“Em, memangnya nggak apa-apa, ya? Ini kita tinggal sekamar?” tanya Rifin ragu-ragu yang kemudian dibalas dengan anggukan cepat oleh Gendhis.
“Ini, kan, ada dua kasur, nggak apa-apa, dong!”
Gantian pria itu yang mengangguk-anggukan kepala. Gendhis segera menyiapkan makanan untuk mereka berdua. Beruntung, tadi pagi Annisa mengantar lauk tambahan. Gadis asal Minang itu memang piawai dalam hal masak-memasak. Semua bahan yang tersedia begitu mudah diubah menjadi makanan dengan cita rasa sempurna. Sepertinya, Gendhis mesti banyak belajar darinya. Apalagi, Gendhis sebenarnya sudah teringin mengakhiri masa lajang.
“Enak, nggak?” tanya Gendhis kepada Rifin yang tampak bersemangat melahap makanan di atas meja setinggi tiga puluh centimeter.
“Hu’um, enak banget. Kamu yang masak, ya?”
“Nggak semua, kalio dan sambal hijau itu Nisa yang masak,” jawab Gendhis tanpa mmenutup-nutupi.
Rifin tidak asing lagi mendengar nama Annisa. Sejak berpacaran, Gendhis beberapa kali bercerita mengenai gadis itu. Hanya saja, mereka memang belum pernah bertemu meskipun sekadar melalui sambungan internet. Kendati demikian, pria itu tidak penasaran dengan sosok wanita jago masak tersebut.
Namun, cepat atau lambat keduanya juga pasti akan akrab. Beberapa waktu lalu, Annisa mengatakan bahwa restoran tempatnya bekerja membutuhkan pegawai yang akan ditempatkan di bagian penyajian minuman. Rifin memang tidak memiliki pengalaman di bidang itu, tetapi menurut Annisa itu bukan masalah besar. Banyak juga karyawan di sana yang seperti Rifin. Asalkan bersedia belajar dan bekerja secara team, semua akan berjalan lancar.
“Kamu terlambat lagi, Dhis?” tanya Galang memergoki Gendhis yang tergopoh-gopoh memasuki area kasir.
“Maaf, Bang! Tadi aku nunggu angkotnya lama banget, maaf ya, Bang!”
“Memangnya motor kamu ke mana?”
Galang tidak boleh tahu kalau motornya dibawa Rifin untuk wawancara kerja. Bisa-bisa dia menyelidik lalu mengetahui bahwa Gendhis dan Rifin tinggal sekamar. Meskipun di antara Gendhis dan Galang tidak ada hubungan istimewa, tetapi di antara keduanya sedang terjalin simbiosis mutualisme. Sama-sama untung dan sama-sama enak.
“Eh, anu … itu …! Namanya motor tua, Bang. Biasalah mogok,” jawab Gendhis berbohong. Padahal, motor itu belum ada dua tahun ia beli dan angsurannya pun belum lunas.
“Oh, kamu ke office saja, tadi Pak Petrus yang suruh.”
‘Eh, ada apa ini? Kupikir Bang Galang akan menepati janjinya. Lantas mengapa sekarang aku dipanggil oleh Pak Petrus selaku manajer di tempat ini? Jangan-jangan, aku akan dipecat. Meninggalkan kasir, aku buru-buru memenuhi panggilan sang manajer,’ batin Gendhis.
“Gendhis, terima kasih telah bekerja dengan baik. Mulai besok, kamu bisa menempati posisi baru. Yuni cuti melahirkan dan mungkin tidak akan kembali bekerja. Jadi, aku rasa posisi itu tepat untukmu.”
Alhamdulillah, mimpi apa gadis itu semalam? Datang terlambat justru diangkat menjadi leader. Hampir saja ia berprasangka buruk kepada Galang. Ah, sepertinya semua ini ada campur tangan pria bertubuh tegap itu juga. ‘Baiklah, segelas Thai Tea sepertinya cukup untuknya.’ Batin Gendhis yang berniat untuk mentraktir Galang.
Gendhis menyodorkan segelas besar Thai Tea kepada Galang. Pria itu tampak heran, tetapi menerima pemberian tersebut. Namun, ia tetap bertanya apakah itu sebuah sogokan atau murni pemberian.
“Enak aja! Ini tu hadiah buat Abang.”
“Lho, memangnya aku berjasa apa?”
“Jadi, mulai besok aku menggantikan posisi Mbak Yuni sebagai leader. Jangan pura-pura, ah! Pasti Bang Galang, ‘kan yang merekomendasikan aku?”
Pria itu terkekeh. Ternyata dugaan Gendhis tidak meleset. Sebab Galang lah ia naik jabatan yang otomatis juga naik gaji. Pria yang beberapa bulan lagi akan menikah itu rupanya tak puas dengan ucapan terima kasih dan segelas minuman. Ia mengajak Gendhis untuk ke bioskop malam ini. Akan tetapi, bagaimana dengan Rifin?
“Bisa, dong? Malam ini kita pergi nonton?”
“Aduh … gimana, ya?”
“Jam delapan, aku tunggu di depan bioskop.”
Pria itu berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Gendhis. Gadis itu pun menganggap itu sebuah pemaksaan. Mau tidak mau, ia pun harus pergi malam ini. Jika tidak, bisa-bisa Galang marah dan ia kehilangan pekerjaan.
“Rapi banget, mau ke mana?” tanya Rifin tatkala melihat Gendhis memantaskan diri di depan cermin.
“Emm, ada teman ulang tahun. Kamu nggak apa-apa ‘kan, kutinggal bentar?”
Pria itu menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Tampak raut tak senang di wajahnya. Mungkin ia ingin ikut bersama Gendhis, tetapi sungguh tidak mungkin. Acara ulang tahun itu hanya bualan semata. Sebenarnya, Gendhis akan pergi ke bioskop bersama Galang.
Meski gadis itu tahu, Rifin sebenarnya tidak mengizinkan, tetapi pria itu tidak mungkin berani melarang. Namun, dalam diamnya lelaki itu ada kekesalan dan kekecewaan. ‘Maafkan aku, Rifin! Sebenarnya aku juga tidak ingin pergi. Jika boleh memilih, diri ini lebih memilih nonton televisi di kamar bersama kamu,’ batin Gendhis.
“Sudah lama nunggu, Bang?” tanya Gendhis pada Galang yang sudah datang lebih dulu.
“Lumayan, yuk masuk!”
Saat hendak mematikan ponsel, tiba-tiba Rifin menelepon. Ragu-ragu antara menjawab atau mengabaikan.
“Siapa?” tanya Galang.
“Eh, nggak ada, temen. Mungkin mau main ke kos-kosan,” jawab Gendhis berbohong.
Sebuah film bergenre romantisme baru saja selesai mereka tonton. Galang ternyata memiliki selera film yang bagus. Biasanya, orang sepertinya juga romantis. Namun, Gendhis tidak menyesal karena telah menolak cintanya.
PLAK!
“Pelakor kamu, ya?!”
Seorang wanita sekonyong-konyong menghampiri lalu menampar Gendhis. Galang mendekapnya dan memaksanya meninggalkan tempat itu sekarang. Kemudian, keduanya tak terlihat lagi setelah berhasil menyita perhatian orang-orang. Gendhis tertunduk ketika puluhan pasang mata itu menatap padanya.
Jangankan mereka, ia sendiri pun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan, perempuan yang tadi itu, baru pertama kali ia lihat. Apes sekali Gendhis hari ini. Jika saja bukan karena ingin mempertahankan pekerjaannya ia juga tidak ingin pergi dengan Galang.