DILARANG HAMIL OLEH SUAMI
Benar apa yang dikatakan Galang, setelah menikah, ia tidak lagi bekerja di swalayan. Ternyata, Karin adalah anak seorang konglomerat. Pria itu saat ini mungkin tengah berada di kantor yang mewah pada perusahaan bonafit milik keluarga istrinya.
“Kok, nggak makan? Diet, ya?” tanya rekan kerja Gendhis.
“Ah, nggak. Lagi nggak napsu makan aja,” jawab Gendhis.
“Kenapa? Jangan-jangan kamu kangen Bang Galang, ya? Hayo, ngaku!”
“Apaan, sih! Pamali tahu, Bang Galang itu sekarang suami orang. Nggak baik dibuat becandaan.”
Bagi Gendhis tiba-tiba saja suasana tempat kerja menjadi berbeda sejak ketidakhadiran Galang. Mungkin ia belum terbiasa saja. Meskipun tidak pernah ada hubungan istimewa, setidaknya belakangan ini keduanya sempat berteman cukup dekat.
Sebelum pulang ke rumah, Gendhis menyempatkan diri untuk mampir ke kios buah-buahan. Ia selalu ingat untuk membelikan Rifin anggur dan melon. Pria itu sangat menyukai buah tersebut. Asalkan Rifin senang, apa pun ia rela berikan. Kemudian, pemberhentian berikutnya adalah kebab daging. Tadi malam Rifin juga bilang ingin makan makanan khas negara Timur Tengah itu.
“Eh, Nis. Tumben main?” tanya Gendhis pada Annisa yang sudah ada di kamar indekostnya.
“Iya, nih. Tapi aku juga baru nyampai, kok. Aku pikir kamu pulang jam empat,” jawab Annisa.
“Oh, memang jam empat. Tadi mampir dulu beli buah sama kebab.”
Gendhis melirik ke arah Rifin yang tengah duduk di sofa yang berbeda dengan Annisa sembari mengutip kue nastar. Dugaan gadis itu, kue kering dengan selai nanas tersebut adalah buatan Annisa yang dibawa dari rumah. Baik memang sahabatnya itu. Tahu tanggal tua secara kebetulan membawakan camilan mahal dan enak untuk mereka.
Gendhis pun bergegas mandi dan ganti baju. Ia merasa tak enak membuat teman sahabatnya itu menunggu lagi. Apalagi, Rifin juga berada di ruangan yang sama. Namanya kos-kosan yang hanya satu kamar. Agak was-was memang. Walaupun Gendhis sangat yakin jika mereka tidak mungkin mengkhianatinya, tetapi pesona Annisa tak dapat dipungkiri. Ia lebih cantik dan langsing dibandingkan Gendhis sendiri.
“Nis, ini baru kamu yang aku kasih tau, lho!”
“Apaan?” tany Annisa penasaran.
“Aku dan Rifin akan menikah.”
Uhuk! Uhuk! Tiba-tiba, Rifin yang sedari tadi sibuk mengunyah nastar pun tersedak. Segera disodorkannya segelas air putih lalu mengelus-elus punggung pria itu.
Mereka pun tidak melanjutkan obrolan yang sempat terhenti karena Annisa tiba-tiba pamit pulang setelah menerima telepon dari ibunya. Ya, Annisa tinggal bersama ibu kandung dan ayah sambung di rumah kontrakan yang tidak begitu besar. Pria yang menikahi ibunya itu adalah yang ketiga. Sedangkan yang kedua terpaksa mendekam di penjara karena melakukan pelecehan seksual terhadap Annisa. Hebatnya, gadis itu tidak merasa trauma seperti korban kekerasan seksual pada umumnya.
Usut punya usut, sebenarnya mereka melakukan atas dasar suka sama suka. Begitu pengakuan Annisa kepada sahabatnya, Gendhis.
“Gimana ya, Dhis? Aku sebenarnya kasihan lho lihat Bang Juki dipenjara. Kalau Mama masuk malam, kami suka main di kamarku,” cerita Annisa kala itu sesaat setelah Juki, Ayah sambungnya dipenjara.
“Jorok, ah! Itu bukannya Bapak kamu,” protes Gendhis yang jijik mendengar pengakuan sahabatnya.
“Jangan salah, umur kami Cuma beda lima tahun lho. Kamu nggak tahu aja, hemmm. Hebat dia pokoknya. Uh, banjir banget bikin nagih,” bela Annisa yang semakin membuat Gendhis mual.
Hubungan terlarang keduanya akhirnya diketahui oleh Ibu Annisa. Merasa sakit hati, wanita itu melaporkan suaminya ke polisi dan menggugat cerai. Si anak pun dipaksa untuk memberikan kesaksian palsu agar memberatkan terdakwa. Annisa menurut kepada wanita yang dipanggil Ibu tersebut dengan mengatakan pada hakim bahwa dirinya telah dipaksa melayani Juki hampir setiap malam.
Sejak saat itu, Annisa tak pernah punya hubungan dengan lelaki lagi. Kendati demikian, ia mengaku tidak menutup hati bagi siapa pun. Asal baik dan cocok, ia akan siap menikah.
“Dhis, kok, kamu bilang kita mau nikah ke Nisa?” tanya Rifin setelah kepergian gadis itu. Gendhis pun tersentak dari lamunan tentang skandal Annisa dan Juki.
“Eh, bukannya emang iya. Gimana sih! Fin?”
“Iya, tapi gini lho. Kemarin itu, aku telepon Inak (ibu dalam bahasa daerah) minta izin mau nikah. Tapi Inak bilang jangan dulu.”
“Kenapa?”
“Aku ini bukan dari keluarga yang berada, Amak (ayah dalam bahasa daerah) juga kadang pulang kadang tidak, main perempuan. Adik aku ada dua masih sekolah. Inak bilang, usiaku juga masih mau 21 tahun. Bantu keluarga dulu baru nikah.”
Sebenarnya, apa yang dikatakan Ibu Rifin ada benarnya dan Gendhis paham akan hal itu. Sedih memang mengingat mereka dari keluarga kurang mampu. Namun, bagaimana dengan Gendhis dan Ayah Gendhis. Pria di kampung itu sudah sangat renta dan sangat ingin melihat putri satu-satunya ini menikah.
“Kita nikah di kampungku saja. Jangan beritahu keluarga kamu dulu. Kelak, kalau sudah pas waktunya baru beritahu mereka, gimana?” usul Gendhis. Ia masih berusaha apapun yang terjadi pernikahan harus tetap dilaksanakan.
“Tapi ….”
“Fin, memangnya kamu nggak sayang sama aku? Modal juga sudah ada yang dikasih Bang Galang kemarin. Apa lagi?”
Setelah berdiskusi sepanjang malam, Rifin setuju untuk menikah dengan Gendhis. Keduanya sama-sama meminta cuti selama seminggu dari tempat kerja masing-masing. Persiapan yang dilakukan Ayah Gendhis di kampung yang dibantu oleh sanak saudara pun sudah sempurna. Mereka pun bertolak ke Pulau Jawa untuk melangsungkan pernikahan.
“Bojomu bagus men to, Nduk?”
“Matur nuwun, Bulek!”
Semua orang memuji ketampanan Rifin bahkan ada yang menyamakannya dengan tokoh pewayangan Arjuna. Sedangkan Gendhis, hanya segelintir orang yang memujinya. Itu pun tampaknya hanya basa-basi. Diakui gadis itu, sejak tinggal dengan Rifin, berat badannya naik drastis. Itu karena ia sering makan malam dan berburu makanan enak bersama Rifin yang juga suka makan, tetapi tetap berbadan atletis. Sementara tidak dengannya, ia sangat mudah menggemuk.
Wajahnya kusam dan kulitnya gelap. Terang saja, Gendhis rela tidak membeli skincare yang penting kebutuhan Rifin tak ada yang terlewat. Namun, semua terbayar lunas tatkala pria yang ia agung-agungkan itu kini bersedia duduk berdampingan di pelaminan bersamanya.
Pesta pernikahan berlangsung selama tiga hari dua malam. Pesta paling meriah yang pernah diselenggarakan di kampung kecil itu. Gendhis sudah bilang bahwa mereka memiliki banyak uang untuk membiayai pesta tersebut. Akan tetapi, ayahnya justru menolak uang dari keduanya. Pria tua itu rupanya baru saja menjual satu dari dua sawah yang dimiliki. Sengaja disimpan untuk digunakan pada saat seperti putri semata wayang mengakhiri masa lajang.
Lelah berpesta, keduanya pun akhirnya bertemu di kamar pengantin. Meskipun bukan malam pertama, tetapi tetap saja malam yang ditunggu-tunggu.
“Apa itu, Fin? Kita kan sudah menikah, kenapa masih pakai itu?”
“Dhis, kamu jangan hamil dulu, ya! Malam ini pakai ini dulu. Besok, aku antar kamu pergi ke bidan. KB suntik yang tiga bulan sekali saja biar hemat,” terang Rifin yang sontak membuat Gendhis sangat kecewa.
Momok menjadi semakin gemuk setelah ber-KB sudah ia dengar sedari dulu. Saat ini berat badannya sudah tak terkendali. Jika ditambah dengan ber-KB pasti akan menyerupai gapura kecamatan. Gendhis pun bergidik membayangkan dirinya sendiri.
“Tapi, Fin. Nanti aku menjadi semakin gemuk. Aku risi, Fin.”
“Sssst … mau kamu kerempeng, gendut, langsing. Pokoknya, aku akan selalu cinta sama kamu.” Rifin pun mulai merayu dan seperti biasa, wanita yang baru saja ia nikahi itu pun klepek-klepek dibuatnya.
Hari pertama menjadi pasangan suami-istri. Rifin tampak tak begitu menyukai suasana di kampung istrinya. Ia terkendala bahasa dan kurang suka makanan yang disajikan. Sementara sang istri kebalikannya. Gendhis begitu bahagia bercengkrama dengan para kerabat yang memang sudah lama tidak bertemu. Tak ayal jika Rifin merasa terabaikan. Melihat sepeda, pria itu hendak mengusir kebosanan dengan berkeliling kampung.
Jalanan terjal dilalui. Udara sejuk ramah membelai membuatnya puas karena terbebas dari para kerabat Gendhis yang terus bertanya menggunakan bahasa daerah. Tiba-tiba, fokusnya tertuju pada sosok gadis desa yang sedang duduk di gubuk pinggir sawah.
“Dek, ngapain sendirian di sini? Bahaya, loh!” sapa Rifin yang kemudian meletakkan sepedanya, lalu ikut duduk di gubuk.
“Bahaya kenapa, Mas? Aku ini lagi jagain padi biar ndak dimakan burung,” jawab gadis yang masih berusia belasan tahun, tetapi tubuhnya sudah matang sempurna. “Mas, sampean orang mana? Aku ndak pernah lihat. Artis ya, Mas? Kok, putih banget kulitnya?”
Rifin tersenyum melihat keluguan gadis di hadapannya. Ia membiarkan gadis itu mengelus-elus lengannya yang berkulit putih bersih, sehingga menampakkan urat-urat biru kehijauan. Perkenalannya dengan Rini, gadis berusia delapan belas tahun itu pun tak ingin ia sia-siakan.
Modus memanfaatkan keluguan Rini pun dilancarkan. Berdalih ingin diantar berkeliling sawah, Rifin meminta gadis itu ikut dengannya, hingga ke tengah sawah.
“Tiduran di atas sini enak kayaknya, ya, Rin?” tanya Rifin sembari menunjuk hamparan pohon padi yang tumbang karena angin.
“Jangan, Mas! Nanti dimarah sama Bapak. Padinya jadi makin rusak, lho!” larang gadis lugu itu.
“Bapak kamu nggak akan tahu. Ayo, nanti kukasih tahu biar kulitmu putih kayak aku, gimana?”
Dasar gadis desa yang polos. Tergiur memiliki kulit putih seperti pria yang baru saja dikenalnya, Rini pun akhirnya berhasil diperdaya.
“Aduh … sakit, Mas!” pekik Rini.
“Udah, tahan aja! Bentar lagi cairan yang bikin kulit putih keluar. Ntar minum aja, ya!” perintah Rifin. Gadis itu meringis sambil menganggukkan kepalanya.
Benar-benar seperti mendapatkan melon ranum di tengah dahaganya kemarau. Rifin yang sebenarnya sudah muak harus tidur dengan wanita gemuk hari itu merasa sangat puas oleh Rini.