5. SUAMIKU SEORANG GIGOLO
Keesokan harinya, Gendhis dan Rifin kembali ke tanah rantau. Walaupun sebenarnya dilarang oleh para kerabat terutama ayahnya, tetapi yang namanya istri sudah pasti wajib ikut ke mana suami pergi. Lagi pula, Rifin tidak begitu menyukai kampung halaman sang istri. Ya, desa terpencil itu hanya ada sawah dan pohon karet. Jauh dari hingar-bingar suasana perkotaan. Hendak membeli kebutuhan sehari-hari juga termasuk sulit. Pasar basah jaraknya lebih dari lima kilometer, apalagi supermarket, harus ke kabupaten.
“Cie ... pengantin baru!” goda Annisa. Sehari setelah kedatangan keduanya, gadis itu bertandang ke kos-kosan Gendhis.
“Makanya nikah, biar kayak kami,” tantang Gendhis menanggapi godaan sahabatnya itu.
“Jangan salah! Biar kata aku jomlo, dijamin bahagia lahiriah dan batiniah,” seloroh Annisa yang tak mau kalah.
Mereka pun terkekeh mengakhiri obrolan. Sedangkan Rifin enggan bergabung dan memilih memainkan ponsel di atas kasur. Pria itu sepertinya risi kalau ada Annisa di ruangan mereka. Ia pernah meminta Gendhis agar menyuruh Annisa tidak sering-sering datang. Di tempat kerja ketemu, masa di rumah juga ketemu, orangnya kurang asik. Begitu menurut Rifin yang sebenarnya sulit untuk dituruti olehnya. Biar bagaimanapun, gadis itu sudah lama menjadi sahabatnya.
“Nis, kamu pulang gih! Ini oleh-oleh buat kamu sama ibu kamu. Bawa, ya!” usir Gendhis dengan halus sembari menyodorkan sekantong besar oleh-oleh khas Jawa bagian timur.
“Ya Allah, repot-repot bawain oleh-oleh segala. Makasih lho, ya! Aku pulang kalau gitu. Fin! Aku pulang, ya!" teriak Annisa sembari melongokkan kepala ke arah Rifin yang tetap cuek.
“Hem!” Rifin hanya berdehem tatkala gadis itu pamit pulang. Gendhis masih berprasangka baik dan hanya berpikir mungkin Rifin lelah setelah perjalanan jauh.
“Maaf ya, Nis …,” ujar Gendhis meminta maaf kepada Annia. Ia sangat menyesalkan sikap suaminya yang menurutnya kurang menghargai Annisa.
Gadis itu pun undur diri. Bias wajahnya tetap ceria sekalipun si tuan rumah abai padanya. Begitulah Annisa, cantik, centil, dan menggemaskan. Sayang, sepertinya ia belum bisa move on dari Juki, pacar sekaligus mantan ayah tirinya.
Annisa memang anak yang berbakti. Patuh pada sang Ibu yang dengan tega memenjarakan pacar anaknya. Padahal, Juki memang lebih pantas dengannya daripada dengan ibunya.
“Dhis, pinjam nomor rekening dong!”
“Untuk apa, Fin? Emang rekening kamu kenapa?”
“Temen aku mau kirim duit. Dia bilang itu ganti karena nikah kemarin dia nggak bisa datang. Rekenigku terblokir, kan, udah empat bulan lebih enggak ada transaksi. Saldonya juga nol rupiah.”
“Oh ... oke, nanti aku kirim via chat ya.”
Siang harinya, saat sedang menikmati makan siang. Gendhis menerima notifikasi SMS dari bank yang menginformasikan ada penambahan saldo sebesar lima juta rupiah pada rekening miliknya. Oh, mungkin teman Rifin. Namun, jumlahnya kenapa banyak sekali? Muncul pertanyaan di dalam pikirannya. Fantastis kalau hanya untuk isi sebuah amplop kondangan.
Saat pulang kerja, Gendhis tidak mendapati suaminya berada di kamar indekos. Padahal, hari ini seharusnya pria itu juga masuk pagi dan pulang sore. Tempat kerjan Rifin juga tidak begitu jauh dan ditempuh dengan mengendarai sepeda motor. Sedangkan tempat kerja Gendhis lebih jauh, tetapi mengalah dengan mencegat angkot setiap berangkat dan pulang kerja.
Ada suara nada dering terdengar begitu kuat. Dilihatnya sepatu milik Rifin juga sudah di atas rak. Suaminya sepertinya sudah pulang dan saat ini sedang keluar. Rifin juga tidak membawa ponsel yang ternyata sedang diisi daya. Gendhis abaikan panggilan tersebut karena tidak mau lancang, mengorek-ngorek HP suami. Akan tetapi, panggilan itu terus-menerus tanpa jeda yang membuatnya akhirnya terpaksa menjawab.
“Assalamualaikum!”
“Rifin mana?”
“Siapa ini?” tanya Gendhis pada seseorang di seberang sana yang memiliki suara serak-serak basah yang ia yakin itu adalah seorang perempuan.
“Nella, pacar Rifin. Kamu sendiri siapa?”
“Pacar? Asal kamu tahu, ya! Aku istrinya!”
“Jangan ngaku-ngaku kaku, ya! Rifin itu pacar aku sejak dia menginjakkan kakinya di Bali. Oh, jadi kamu yang membawa kabur Rifin? Pantesan, aku balik dari Chicago dia udah nggak di sini. Dasar pelakor!”
Gendhis menyalakan televisi dengan mengeraskan volume. Kemudian, diletakkannya ponsel tersebut di atas nakas, tepat di depan televisi.
“Ngomong sana sama TV!” gerutu Gendhis yang kesal pada orang yang mengaku sebagai pacar suaminya saat berada di Bali.
“Assalamualaikum!”
Rifin pun akhirnya datang. Kedua tangannya menenteng kantong plastik berisi buah-buahan dan jajanan ringan. Setelah meletakkan barang bawaan, dia meraih remote TV lalu mengecilkan volume. Gendhis melengos, tak sudi menatap wajahnya. Pengakuan wanita tadi membuat Gendhis berpikir buruk pada pria yang belum ada sebulan menjadi suaminya.
“Siapa Nella?” Gendhis bertanya dengan masih tanpa melihat ke arah Rifin. “Apa dia yang mengirimkan uang ke rekeningku?” Gendhis sudah mengecek mutasi melalui email dan benar, nama orang yang mentransfer adalah Nella Kirana
“Dhis ....”
“Jawab! Kamu pacaran sama dia dan belum mengakhiri hubungan kalian, Hah?!”
“Maaf, Dhis!”
“Jahat kamu, Fin!”
“Dhis, aku lebih buruk dari apa yang kamu pikirkan. Maafkan aku!”
Pria itu bersimpuh di hadapan istrinya. Ia meraih kedua tangan Gendhis, ada penyesalan yang tampak di pelupuk matanya. ‘Ah, apakah aku harus luluh semudah ini?’ batin istrinya.
“Dhis, sebenarnya ... aku bukan seorang asisten guide. Profesiku dulu adalah piaraan tante-tante berduit. Dan wanita yang kamu sebut sebagai Nella itu adalah tante berusia 49 tahun yang kerap menggunakan jasaku. Beberapa waktu yang lalu, ia kembali menghubungiku. Dan uang yang dia transfer itu adalah untuk membeli tiket pesawat ke bali karena ia ingin bertemu denganku," jelasnya panjang lebar.
Itulah wujud asli seorang Bustanul Arifin yang entah sebenarnya buaya atau komodo? Di balik karismatik itu tersimpan rahasia yang begitu menjijikkan yang terpaksa harus ditelan begitu saja oleh Gendhis. Rifin terus meminta maaf kepada istrinya. Akan tetapi, lidah wanita itu terasa kelu untuk sekadar mengatakan iya atau tidak. Namun, ia rupanya salah paham terhadap diamnya seorang wanita. Pria itu bangkit, berjalan menuju dapur mini yang masih satu ruangan dengan kamar. Diambilnya sebilah pisau lalu mengarahkannya pada pergelangan tangan kirinya.
“Rifin, jangan!”
“Nggak, apa gunanya aku hidup jika kamu tidak memaafkanku? Aku mati saja.”
“Tidaak! Jangan lakukan itu, aku mohon! Oke, aku percaya kamu sudah bertobat. Aku memaafkanmu, ayo! Ayo, letakkan pisau itu, kita lupakan masalah ini, ya!”
Gendhis berjalan perlahan mendekati pria yang hampir mengakhiri hidupnya itu. Berhasil mengambil alih benda tajam di tangannya. Ia pun melempar pisau itu ke lantai. Keduanya pun berpelukan dan terisak-isak.
Untuk kesekian kalinya, Rifin berhasil meluluhkan hati Gendhis. Tidak, itu bukan hanya sekadar meluluhkan, tetapi memanfaatkan. Rifin memanfaatkan sikap lemah istrinya untuk bisa memaafkan semua kesalahannya dan memaklumi kekurangannya.
Tidak hanya itu. Rifin sengaja mengatakan masa lalunya sebagai piaraan tante-tante agar Gendhis ilfeel terhadap dirinya, lalu meminta bercerai. Sayangnya, hanya dengan sedikit gertakan saja wanita itu langsung memaafkan kesalahan yang teramat fatal yang telah ia perbuat.
‘Huh, perempuan gendut ini susah sekali disuruh pergi. Benar-benar mengganggu,’ batin Rifin yang masih memeluk Gendhis. Sent Gendhis masih terisak-isak dan mengira suaminya tulus meminta maaf.