SAHABAT JADI SELINGKUHAN
Setelah huru hara drama yang mengungkap fakta bahwa Rifin tidak sepolos yang sebelumnya dipikirkan oleh Gendhis. Kali ini, Gendhis kembali harus menerima cobain, tetapi berasal dari kampung yang mengabarkan jika sekarang ayahnya sedang sakit parah. Sebagai putri satu-satunya yang paling disayang tentu ia akan sangat menyesal jika sampai hal buruk terjadi pada sang Ayah dirinya justru tidak ada di samping pria tua tersebut.
“Fin, Bapak sakit. Aku harus pulang,” ujar Gendhis kepada suaminya.
Salah seorang sanak famili menelepon untuk memberi kabar bahwa saat ini ayahnya sedang dirawat di rumah sakit. Usianya yang sudah renta memang kerap sakit-sakitan. Akan tetapi, kali ini terdengar lebih parah dari biasanya hingga harus masuk ruang ICU.
“Dhis, bukan aku enggak peduli dengan keadaan Bapak, tapi kan kamu tahu. Aku ini hanya tukang cleaning servis di restoran. Mana boleh minta cuti setahun dua kali?” Suara Rifin yang lemah seolah menyesal karena tidak mungkin baginya untuk mengantar sang istri menengok orang tua satu-satunya.
“Enggak apa-apa, Fin. Aku saja yang nengokin Bapak. Kayaknya aku bakalan lama, setidaknya nungguin Bapak sampai benar-benar sehat,” jawab Gendhis yang langsung membuat Rifin lega seketika.
Gendhis pun meminta izin dari tempat kerja dan untungnya pihak manajemen bersedia memberikan cuti panjang. Akan tetapi, selama cuti tersebut, Gendhis tidak diperkenankan mengambil gaji. Namun, gaji akan tetap dibayarkan setelah dirinya kembali dari cuti tersebut. Atas izin dari Rifin, ia pun pun segera bertolak ke kampung halaman untuk melihat keadaan ayahnya.
Pria tua itu adalah satu-satunya orang tua yang ia miliki semenjak dilahirkan ke dunia. Beliau bahkan tidak menikah lagi hanya karena tidak ingin memberikan ibu tiri kepada sang putri. Ya, momok ibu tiri yang jahat dan kejam masih tertanam pada sebagian besar pikiran orang-orang termasuk di lingkungan tinggal mereka.
Gendhis sendiri sebenarnya ingin sekali membalas kasih sayang yang telah ayahnya berikan kepada anak semata wayangnya. Keinginannya agar ia tidak pergi meninggalkan kampung halaman, belum bisa dipenuhi. Kini, ayahnya sakit parah. Jika sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan maka Gendhis pasti akan sangat menyesal jika dirinya tidak ada di sisi sang ayah.
“Pak, maafin Gendhis! Gendhis belum bisa bikin Bapak bahagia,” ucap gadis itu terisak di samping tempat tidur yang kini terbaring tubuh lemah sang Ayah.
Selama hampir sebulan, Gendhis berhubungan jarak jauh dengan Rifin karena harus merawat ayahnya. Ini bukan kali pertama bagi keduanya. Sebelumnya, Gendhis dan Rifin pernah hampir setahun menjalin hubungan jarak jauh saat Rifin masih bekerja di Pulau Bali. Gendhis pun percaya kepada suaminya karena laki-laki itu selalu menghubunginya lebih dulu sebelum ia memulainya.
Kondisi Ayah Gendhis semakin membaik. Beliau bahkan sudah bugar seperti sedia kala. Gadis itu merasa lega akhirnya bisa melihat sang Ayah kembali beraktivitas. Hanya saja, dokter tetap mewanti-wanti agar tidak melakukan pekerjaan yang berat. Karena jika kelelahan, penyakitnya bisa kambuh lagi, mengingat usianya juga sudah sangat tua.
Merasa sudah dapat ditinggal. Gendhis pun berpamitan kepada ayahnya untuk kembali ke tanah rantau. Lagi-lagi, rasa berat meninggalkan orang tua satu-satunya seorang diri, menggelayuti hati kecilnya. Di sisi lain, suaminya juga tengah menunggu sang istri agar segera kembali. Ah, pada akhirnya si tua itulah yang harus ia tinggalkan.
“Bapak jaga kesehatan ya, Pak! Maafin Gendhis!” pesan Gendhis yang berat hati saat berpamitan kepada ayahnya.
“Kamu juga, jaga diri baik-baik! Jadi istri yang baik, jangan membangkang pada suami, ingat Dhis!”
Dengan berat hati, Gendhis meninggalkan sang Ayah. Ia tak berani menoleh ke belakang lagi. Takut melihat wajah pria tua yang lagi-lagi disakiti oleh putri kesayangannya itu.
“Sudah, jangan disesali terus! Makan, Dhis! Nanti kamu sakit lho!” pinta Rifin kepada Gendhis yang sedari tadi membiarkan saja nasi di hadapannya.
Perasaan tak tega meninggalkan sang Ayah seorang diri di rumah kampung halamannya terbawa hingga ia telah sampai ke tanah rantau. Rifin mencoba menghiburnya, tetapi belum juga bisa membuatnya terbiasa tanpa memikirkan ayahnya.
“Fin, aku keluar sebentar, ya?”
“Mau ke mana? Ini aku mau berangkat kerja lho!”
“Oh, iya. Aku tunggu kamu berangkat kerja deh. Aku cuma mau ke kamar sebelah, mau berbagi sedikit oleh-oleh.”
“Kasih Nisa saja!” perintah Rifin.
“Nisa?! Oh, iya. Kalau untuk Nisa sudah aku sisihkan, dia mah yang paling banyak,” jawab Gendhis yang ternyata tidak lupa membawakan oleh-oleh untuk sahabatnya.
Sesaat setelah Rifin meninggalkan indekos untuk berangkat kerja. Gendhis mengunci pintu lalu menyambangi kamar yang paling ujung. Penghuni kamar tersebut cukup akrab dengannya. Mereka bukan pasangan kumpul kebo. Keduanya adalah suami-istri yang memiliki anak, tetapi berada di kampung halaman. Sedangkan mereka merantau berdua ke tempat ini.
“Eh, Mbak Gendhis ... tumben main? Udah sebulan enggak main, sibuk ya, Mbak? Ngomong-ngomong ada apa ini?” wanita yang biasa bekerja sebagai buruh pabrik itu memberondong dengan beberapa pertanyaan langsung kepada Gendhis.
“Enggak ada yang penting, Mbak. Cuma mau ngasih oleh-oleh,” ujar Gendhis yang tidak semua pertanyaannya dari tetangganya itu ia jawab. Ia pun segera menyodorkan sekantong jajanan khas kampung halamannya.
“Oleh-oleh? Memangnya siapa yang datang dari kampung? Ada saudara dari kampung ke sini ya?” tanya wanita itu lagi.
“Apaan sih, Mbak? Kan aku yang baru datang dari kampung. Sebulan aku di kampung, Mbak. Makanya enggak ada main ke sini,” jawab Gendhis yang langsung membuat wanita bernama Rumi itu terkejut.
Rumi menoleh ke kanan dan kiri lalu menarik lengan Gendhis sampai keduanya berada di dalam kamarnya. Ia tampak serius dan berhati-hati hendak memberi tahu apa yang selama ini ia telah lihat.
Namun, setelah mendengar penuturannya justru Gendhis lah yang sekarang terkejut. Jadi, selama dirinya berada di kampung, suaminya kerap membawa wanita. Rumi berkali-kali melihat sosok wanita yang berambut hitam panjang seperti Gendhis dan memakai jaket merah jambu milik Gendhis keluar dari kamar mereka. Selain itu, Rifin juga memboncengkan wanita tersebut yang mungkin untuk mengantarnya pulang.
“Sumpah, Mbak! Aku kira itu Mbak Gendhis. Aku sempat ragu juga soalnya tuh cewek badannya kecil. Cuma, potongan rambut sama dan jaket yang dipakai juga yang biasanya Mbak Gendhis pakai,” terang Rumi menjelaskan keterkejutan yang ia rasakan ketika baru tahu jika sebulan terakhir ini rupanya tetangganya itu sedang berada di kampung halaman untuk merawat sang Ayah yang sedang sakit.
“Mbak, aku balik dulu. Makasih informasinya,” ujar Gendhis berpamitan kepada pemilik kamar.
‘Apa lagi ini? Apakah Rifin selingkuh? Lalu siapa gadis itu?’ tanya Gendhis di dalam hati.
Gendhis menggeledah kamar, berharap mendapatkan petunjuk untuk membuktikan keterangan dari tetangganya tadi. Akan tetapi nihil. Tidak ada hal aneh, semua sama seperti saat terakhir kali ia tinggalkan.
Meski sangat gelisah, Gendhis berusaha setenang mungkin saat Rifin pulang dari bekerja. Tidak ada bukti, bagaimana mungkin ia tega menuduh pria yang sangat dicintainya itu. Hingga sepertiga malam, gadis itu belum bisa tidur. Sementara dengkuran halus sudah sedari tadi terdengar dari pria yang berbaring di sebelahnya.
Gendhis memberanikan diri untuk membuka ponsel milik Rifin. Password yang pakai belum berubah sehingga membuat dirinya masih leluasa memeriksa aplikasi kirim dan balas pesan.
‘Astaghfirullah, tidak mungkin,’ kejut Gendhis di dalam hati.
Ia pun segera menyalin semua chat mesra itu lalu mengirimkannya ke kontaknya sendiri kemudian menghapusnya. “Tega kamu, Fin ...,” lirihnya kemudian.
Pagi harinya, Gendhis kembali berpura-pura tidak tahu apa pun mengenai perselingkuhan suaminya. Ia juga berangkat kerja, sementara Rifin masih di rumah karena tidak mendapatkan giliran masuk pagi. Gendhis masih menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Ia melakukan semua pesan-pesan dari sang Ayah untuk menjadi istri yang baik. Meskipun hatinya kini sakit oleh pengkhianatan sang suami.
Saat jam makan siang, Gendhis izin untuk pulang dengan alasan tidak enak badan. Beberapa Rekannya berkata mungkin ia sedang hamil, tetapi tidak. Sejak menikah hingga saat ini Gendhis masih rutin meminum pil KB. Sesuai dengan keinginan Rifin bahwa Rifin belum siap untuk menjadi orang tua. Gendhis sengaja pulang tengah hari karena ada sesuatu yang harus ia lakukan dan itu penting.
Membawa sekantong oleh-oleh dari kampung. Gendhis menyambangi Nisa di tempat kerja. Gadis yang pandai memasak itu tampak senang tatkala bertemu dengan sahabatnya yang sudah sebulan tidak bersua dengannya. Alih-alih ikut senang, Gendhis justru terkejut dengan penampilan Nisa yang baru. Ia menyambung rambutnya yang semula sebahu menjadi sebatas pinggang. Mewarnainya menjadi hitam seperti rambut milik Gendhis. sementara sebelumnya gadis manis itu selalu setia dengan warna pirang untuk mahkotanya itu.
‘Ah, memang dia rupanya,’ batin Gendhis. Ia memaksakan sebuah senyuman di bibir tatkala Nisa menyongsong lalu memeluknya.
“Dhid! Uh ... kangen tau sama kamu,” ujar Nisa dengan nada manjanya.
Gendhis menggiring Nisa untuk keluar area restoran menuju tempat yang agak sepi di dekat lift barang. Kebetulan lokasinya memang di sebuah mall yang juga ada cabang swalayan tempat Gendhis bekerja. Hanya saja, sayangnya Gendhis tidak dipindah tugaskan ke sini. Padahal jika itu terjadi, ia dan Rifin bisa lebih dekat dan saling mengawasi.
“Rambut baru, nih?” tanya Gendhis memulai basa-basi.
“Eh, iya. Cantik ‘kan?” Nisa balik bertanya tentang penampilan barunya.
“Nis, aku minta tolong sama kamu, jauhi Rifin!”
“Maksud kamu apa, Dhis?” tanya Nisa yang masih sok polos tidak berdosa.
Nisa mengelak ketika sahabatnya itu menuduhnya telah berselingkuh dengan Rifin. Akan tetapi, saat bukti chat mesra antara keduanya diperlihatkan. Ia tidak berkutik lagi. Gadis itu berdalih bahwa suami Gendhis lah yang lebih dulu memulai, sehingga hubungan terlarang itu terjadi.
“Rifin yang memulai? Emang enggak ada otak kamu ya, Nis? Tetanggaku berkali-kali nampak kamu berada di kos-kosanku pas aku pulang kampung. Itu artinya kamu yang nyodorin diri kamu sendiri,” geram Gendhis yang mulai meninggikan suaranya.
Gendhis hampir menghajar gadis bertubuh mungil itu, tetapi dicegah oleh Willy, teman Gendhis yang bekerja di salon yang terdapat di mall tersebut. Laki-laki kemayu itu kebetulan melintas saat percekcokan itu terjadi. Pria setengah wanita itu mendorong-dorong Nisa dengan gaya gemulai.
“Hush! Sana, Nis! Elu mending cabut deh! Sana! Hush! Hush!” usir Willy pada Nisa.
Dengan rambut acak-acakan, Nisa berhasil lolos dari Gendhis sebab kedatangan Willy. Mereka bertiga sebenarnya berteman. Gendhis tahu waria itu berusaha menjadi penengah bagi keduanya. Setelah kepergian Nisa, Gendhis kembali memikirkan perselingkuhan suaminya. Apakah ini berarti hubungan persahabatannya dengan Nisa akan berakhir? Atau justru pernikahannya dengan Rifin yang berakhir?