Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

SALAHKAN ISTRI YANG JELEK

"Dhis, bisa kita bicara sebentar?" tanya Rifin dengan nada lemah ketika Gendhis tengah sibuk merapikan belanjaan ke dalam lemari pendingin.

"Iya, ngomong aja,” jawab Gendhis yang masih belum mengalihkan perhatian dari bahan-bahan makanan di tangannya.

"Aku ingin kita berpisah!"

Deg, seketika Gendhis menghentikan aktivitasnya. Sejurus kemudian beralih kepada pria yang belum lama menikah dengannya itu. Berharap telah salah dengar atau hanya mimpi belaka. Rifin memang selingkuh, tetapi bukan berarti pernikahan mereka harus berakhir begitu saja. Itu sebabnya, Gendhis memperingati Nisa tanpa meminta klarifikasi apa pun dari Rifin.

Semua kesalahan Gendhis anggap adalah Nisa yang harus bertanggung jawab bukan Rifin. Gadis itu penggoda sedangkan suaminya adalah korban. Begitulah caranya memaafkan Rifin. Akan tetapi, sepertinya Nisa mengadukan kejadian kemarin pada Rifin.

"Fin, aku salah apa?" tanya Gendhis dengan suara mendengung menahan tangis agar tidak pecah.

"Kamu enggak salah. Aku yang salah, pernikahan ini tidak membuatmu bahagia bukan?"

"Enggak, Fin. Aku bahagia menikah denganmu, demi Allah aku bahagia."

Pria itu tampak menundukkan kepalanya. Untuk sesaat suasana menjadi hening. Agaknya ia tengah berpikir kata-kata apa yang ingin dia lontarkan kepada istrinya. Begitu pula dengan sang istri yang menunggu ia bicara.

"Aku mencintai Nisa."

Ah, akhirnya kejujuran itu keluar dari mulut pria itu. Gendhis paham betul watak suaminya itu. Ia orang yang jujur pada perasaan. Dalam kondisi terdesak maupun tidak, mudah baginya untuk mengutarakan isi hatinya. Bak disambar petir. Suaminya berterus terang bahwa telah jatuh cinta kepada sahabatnya.

"Tapi kenapa? Aku pikir ...,” tanya Gendhis yang terhenti.

"Dhis, kamu benar. Nisa gadis yang cantik dan ceria. Dia pandai dalam segalanya. Berhias, memasak, berinteraksi, bahkan saat di atas kasur—"

"Cukup! Jangan lanjutkan lagi!" seru Gendhis yang sudah tidak tahan lagi mendengar suaminya memuji perempuan lain di hadapannya.

Gendhis meraih kunci motor, lalu pergi meninggalkan kamar indekos. Ia berkendara dengan air mata yang dibiarkan menganak sungai. Tidak ada arah tujuan. Gendhis hanya ingin Rifin tidak melihat dirinya menangis.

Sesampainya di tepi danau kota, ia membuka ponsel dan melihat banyak panggilan tak terjawab. Itu adalah Rifin yang berkali-kali menelepon. Alih-alih menelepon balik, Gendhis justru menghubungi sahabatnya yang lain. Pria kemayu yang sebenarnya sudah berkali-kali memperingati dirinya agar tidak terlalu dekat dengan Nisa.

"Halo, Will! Tempat kamu ada kamar kost kosong enggak?" tanya Gendhis pada Willy melalui sambungan telepon.

"Eh, ada. Kenapa say?" jawab Willy dengan logat kemayunya.

"Bayarin dulu gih! Ntar malam aku pindah ke situ. Tunggu Rifin berangkat kerja!" pinta Gendhis pada pria kemayu itu.

"Rifin kenapa memangnya?"

"Ntar kuceritain."

Gendhis menutup sambungan telepon dengan Willy. Beruntung masih ada kamar kosong di tempat pria itu tinggal. Ia yakin ini keputusan yang tepat. Pergi sementara dari Rifin. Akan tetapi, sejujurnya ia masih berharap Rifin mencegah kepergian istrinya ini. Atau setidaknya datang untuk menjemput.

Saat Gendhis kembali ke kos-kosan, ia mendapati secarik kertas di atas nakas. Tulisan tangan Rifin yang disertai tanda tangan juga.

'Gendhis, maafkan aku. Kamu baik dan selalu mengerti aku. Dhis, aku seorang lelaki. Mempunyai pasangan yang cantik adalah keinginan semua pria termasuk aku. Aku tidak akan membandingkan dirimu dengan Nisa. Semoga ada pria baik yang akan menerimamu apa adanya. Sekali lagi, maafkan aku. Mari kita akhiri pernikahan ini baik-baik.'

Gendhis berdiri di depan cermin yang memantulkan bayangan lengkap dirinya dari ujung kaki hingga kepala. Wajahnya penuh jerawat, pipi tembam dan kusam. Bibirnya jauh dari kata merah merona karena cenderung coklat kehitaman. Tubuhnya, ah ... sudah tidak ada lekuk lagi kecuali luberan lemak di sana-sini. Kulitnya yang dulu kuning langsat, kini gelap terbakar matahari. Pantas saja Rifin tak lagi menginginkan istrinya itu. Jangankan pria, ia sendiri saja tak selera melihat dirinya sendiri.

Gendhis segera mengemasi barang-barang miliknya yang hanya pakaian dan beberapa aksesori saja. Selain itu, ia meninggalkannya di tempat itu. Membiarkan semua yang dibeli dengan jerih payahnya untuk Rifin. Semua itu ia lakukan semata-mata karena masih berharap kalau-kalau Rifin berubah pikiran dan memintanya untuk kembali bersama.

Tiga hari berselang setelah Gendhis memutuskan untuk pergi. Rifin masih tetap tidak menghubunginya. Pria itu bahkan tidak dapat dihubungi, sepertinya Rifin telah mengganti nomor telepon dan menonaktifkan semua akun media sosial miliknya. Sementara Gendhis yang bodoh masih berharap suaminya itu akan datang menjemputnya. Sebulan berlalu, Gendhis mulai menyerah menunggu dan berniat untuk kembali ke indekos mereka berdua pernah tinggal bersama.

"Eh, Mbak Gendhis! Pindah ke mana sih?" tanya Rumi yang sudah berseragam lengkap layaknya karyawan pabrik elektronik di kota ini.

"Ini mau balik, Mbak," jawab Gendhis.

"Balik? Lha, bukannya kamar Mbak Gendhis sekarang udah ada yang ngisi, ya? Baru semingguan kayaknya penghuni baru masuk," terang Rumi menjelaskan jika pemilik kamar telah mendapatkan penyewa yang baru.

Gendhis terlambat, Rifin sudah tidak tinggal di tempat itu lagi. Ke mana suaminya pergi pun Rumi sebagai tetangga terdekat pun tidak tahu-menahu. Satu-satunya cara untuk dapat bertemu dengan Rifin adalah restoran tempat suaminya itu bekerja. Tak ingin berlama-lama, Gendhis segera menuju mall tempat restoran itu dibuka.

Kebetulan sekali, Rifin tengah merokok di luar restoran sembari memainkan ponselnya. Segera Gendhis menghampiri pria berkulit putih itu sebelum ia menghindari jika melihatnya datang.

"Rifin!" panggil Gendhis pada suaminya.

"Eh, Dhis! Bukannya ...,” ujar Rifin terhenti.

"Kenapa kamu pindah? Telepon enggak aktif, kamu ngilang enggak ada kabar. Kita masih suami-istri, Fin!"

"Ssstt! Pelankan suaramu, Dhis! Aku enggak mau orang-orang salah paham,” larang Rifin yang langsung membuat Gendhis merasa bingung.

"Salah paham?!"

"Ssstt! Dhis, di antara kita tidak ada hubungan apa-apa lagi. Pergilah mencari teman pria lain, begitu pula denganku."

"Tapi, Fin—”

"Rifin!" panggil Nisa kepada pria itu. Gadis itu tiba-tiba muncul lalu menggamit lengan suami sahabatnya tanpa sungkan pada Gendhis yang masih istri dari Rifin. "Kamu ngapain ngobrol sama Gendhis di sini?" tanya Nisa kepada Rifin.

"Enggak ada, dia yang datang tiba-tiba. Kenapa? Cemburu, ya?" goda Rifin sembari mencubit hidung mancung Nisa. Adegan mesra itu berlangsung tepat di hadapan Gendhis yang notabene masih istri sah dari Rifin.

"Apaan sih? Enggak mungkin aku cemburu sama kuda nil. Hahaha ...." Nisa dan Rifin tertawa terbahak bahak mengejek wanita bertubuh tambun itu.

Keduanya pergi meninggalkan Gendhis begitu saja. Ia sangat sakit hati ketika melihat Rifin merangkul pundak gadis yang tingginya hanya sepundak pria itu. Kecil mungil dan cantik. Nisa bak boneka Barbie sedangkan Gendhis lebih mirip dengan sosok kuda nil.

Tega sekali mereka berdua terhadap wanita bertubuh gemuk itu. Mereka memang serasi, tetapi bukan berarti harus melakukan pembullyan seperti ini. Gendhis memang pemalas sehingga tubuhnya menggemuk dan wajahnya tampak sangat kusam. Selama sebulan ia berusaha diet dan merawat kulit. Tujuannya, agar saat kembali ke kos-kosan Rifin, pria itu pangling dan menerimanya kembali.

Hasilnya setelah setengah mati menahan lapar dan membeli skincare mahal, Gendhis sama sekali tidak berubah. Masih sama dan justru semakin buruk. Padahal, dulu ia tidak seperti ini. Gendhis pernah cantik. Ia juga pernah mengenakan celana jeans berukuran 27 dan ia pernah tidak perlu repot-repot memilih warna baju karena kulit cerahnya cocok dengan warna apa saja. Namun itu dulu dan sudah lama sekali.

"Jika kamu memaksa Rifin untuk menerima dirimu yang sekarang ini, itu namanya kamu egois, Dhis!" ujar Willy memberikan nasehat pada sahabatnya.

"Kok, gitu?" tanya Gendhis.

"Ya elu mikir dong! Rifin itu cowok ganteng, sementara elu ... ya gitulah. Elu pengen pasangan elu menerima elu apa adanya sementara di luar sana banyak para cewek yang mengorbankan waktu, harta, bahkan mempertaruhkan nyawanya demi terlihat cantik di mata cowok. Terus elu kayak begindang tapi ngarep posisi yang sama dengan cewek-cewek pejuang kecantikan itu? Apa enggak egois namanya? Kalau elu pengen dipertahankan, ya elu memantaskan diri. Sekarang gue tanya, elu pantas enggak buat dipertahankan?" mulut Willy memang tajam, tetapi yang ia katakan adalah kebenaran untuk sahabatnya.

Plak, seketika Gendhis merasa ditampar. Willy benar. Gendhis sangat egois karena menuntut Rifin untuk menerimanya apa adanya. Jika itu dilakukan, maka yang ada kebahagiaan hanya dirasakan oleh Gendhis, sedangkan Rifin akan tersiksa karena terpaksa menerima istri gemuk seperti dirinya. Namun, jika pria itu memilih Nisa, itu adalah keputusan yang tepat. Mereka berdua bahagia, sementara Gendhis punya kesempatan untuk memperbaiki diri dan menemukan jodoh yang lain. Meskipun, awalnya terasa sangat sakit.

"Will, kamu pikir aku enggak berusaha? Sebulan ini aku mati-matian diet dan merawat diri. Tapi kamu lihat sendiri 'kan? Enggak ada perubahan sama sekali," protes Gendhis.

"Please deh, Dhis! Gendat bertahun-tahun, burik berabad-abad, pengen berubah dalam sekejap mata? Elu lucu banget, enggak logik!" Willy kembali mencolok mata sahabatnya dengan kata-kata yang frontal dari mulutnya.

‘Aku harus bagaimana? Aku tidak ingin bercerai dengan Rifin . Diri ini masih cinta dan sangat cinta kepada pria itu,’ batin Gendhis.

Enam bulan berpisah, untuk pertama kalinya Rifin datang ke indekos tempat tinggal Gendhis yang baru. Ia tidak sendiri, ada Nisa yang turut datang. Perasaan Gendhis mulai tidak menentu. Wanita itu merasakan mereka datang membawa kabar buruk. Dan benar yang diduga, Nisa hamil.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel