Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

KARMA TIDAK BERLAKU

Rifin dan Nisa datang dengan permintaan maaf kepada Gendhis. Hal itu dikarenakan saat ini Nisa tengah mengandung, sehingga keluarga Nisa menuntut si lelaki untuk menikahinya. Akan tetapi, semua itu tidak dapat dilakukan jika Rifin dan Gendhis masih sah sebagai suami-istri.

Dimadu atau bercerai? Dua pilihan yang tidak ingin dipilih satu pun di antaranya oleh wanita seperti Gendhis.

Kendati demikian, rasa iba terhadap keduanya mengalahkan ego si istri sah. Mereka berlutut di kaki Gendhis. Sebuah pemandangan memilukan. Ah, lemahnya diri kau Gendhis. Akhirnya, ia pun bersedia bercerai dari Rifin.

"Dhis, jika memang kami tidak bisa bersatu, biarlah aku gugurkan saja janin ini," ujar Nisa dengan nada memelas.

"Jangan! Jangan lakukan itu! Bayi itu berhak hidup. Jangan hanya karena keegoisanku lantas nyawa bayi tidak berdosa harus menjadi korban. Baiklah, aku akan bercerai dengan Rifin,” sergah Gendhis sembari meraih kedua tangan Nisa, gadis cantik yang dulu adalah sahabat karibnya.

Proses perceraian yang begitu , tetapi menelan banyak biaya akhirnya membuat Gendhis menyandang status janda. Bukan janda kembang tanpa anak yang menjadi incaran para pria. Kenapa? Karena ia mungkin janda kembang, tetapi kembang bangkai karena jauh dari kata cantik dan wangi. Namun, sudah seperti inilah takdir yang harus diterima oleh Gendhis.

Rifin dan Nisa berbaik hati mengundang Gendhis ke pesta pernikahan keduanya. Akan tetapi, wanita bertubuh gemuk itu sengaja tidak hadir. Cukuplah ia menangisi pernikahan dua sejoli itu di dalam kamar, bukan di hadapan orang-orang. Gendhis masih sangat mencintai mantan suaminya itu. Jika bunuh diri tidak dosa, ia pasti sudah melakukannya.

Mendengar berita perceraian putrinya. Ayah Gendhis syok, hingga dilarikan ke rumah sakit. Beberapa hari dirawat di ruang ICU, Gendhis yang mengajukan cuti kerja pun memutuskan untuk melihat kondisinya ayahnya secara langsung. Ia sendiri juga tidak tahu apakah akan kembali bekerja atau melarikan diri dari kota ini.

Gendhis sempat menepikan diri di kampung setelah pernikahan mantan suaminya dengan mantan sahabatnya. Akan tetapi, perusahaan tempatnya bekerja terus menelepon dan ia tidak bisa memperpanjang cuti lagi. Alhasil, setelah memastikan kondisi sang ayah membaik dan bisa dirawat di rumah oleh sanak keluarga, Gendhis pun kembali ke perantauan.

"Kamu Gendhis?" tanya seorang wanita cantik berpenampilan seperti istri pejabat. Ya, itu adalah Karin, istri dari Galang, wanita yang pernah menamparnya di depan umum karena suatu kesalahpahaman.

"Iya, Mbak," jawab Gendhis singkat.

Putri konglomerat yang belum lama menikah dengan mantan atasan Gendhis itu datang dengan kabar yang mengejutkan. Dia yang dulu begitu membencinya kini merendahkan diri sendiri di hadapan Gendhis agar ia bersedia membantu Karin.

"Kenapa harus aku, Mbak?" protes Gendhis setelah Karin mengutarakan permintaannya yang menurut Gendhis sangat tidak mungkin bisa ia lakukan.

"Mas Galang maunya kamu," jawab Gendhis dengan tatapan penuh amarah. Karin sangat membenci wanita di hadapannya itu. Namun, di sisi lain, suaminya sangat menginginkan wanita tersebut.

Rumit sekali rumah tangga Galang dengan Karin. Wanita itu adalah anak tunggal dari konglomerat terpandang di kota ini. Menjadi masalah ketika hingga saat ini Karin belum juga dikaruniai keturunan dari pernikahannya dengan Galang. Dokter menyatakan wanita itu mustahil untuk hamil karena dinyatakan mandul. Sedangkan sang konglomerat telah memutuskan jika ia meninggal nanti, yang menggantikan posisinya adalah suami dari sang anak yang memberikan ia cucu, yaitu Galang. Maka dari itu, sebelum sang konglomerat berubah pikiran, Karin harus bergerak cepat.

Aneh, berlomba-lomba untuk segera hamil. Bukankah apa yang ada di dalam kandungan adalah rahasia-Nya?

"Maaf, Mbak. Aku enggak bisa. Aku enggak cinta sama suamimu, Mbak,” tolak Gendhis.

"Dhis, ini bukan perkara cinta atau tidak. Aku tahu prahara rumah tanggamu. Maaf, kamu diceraikan karena jelek dan gemuk, bukan?"

Karin memang bukan wanita sembarangan. Sama seperti ayahnya, ia juga memiliki banyak kaki tangan yang bergerak sesuai dengan perintahnya termasuk untuk menyelidiki semua tentang Gendhis hingga ke akar-akarnya.

"Mbak Karin!” seru Gendhis. Ia tersinggung dengan perkataan wanita berpenampilan glamor itu.

"Dhis! Sssttt ... aku bisa membantumu untuk membalas sakit hatimu pada mantan suami dan mantan sahabatmu itu. Asal, kamu juga bersedia membantuku."

Saat ini, Gendhis hanya seorang leader swalayan yang masih tinggal di indekos. Bisa menabung dua juta per bulan juga sudah bersyukur. Sawah ayahnya sudah dijual untuk biaya pernikahannya dengan Rifin dulu. Sekarang tinggal rumah, itu pun sekarang sudah ditinggali bersama sanak keluarga yang bersedia untuk merawat ayahnya. Jelek, gemuk, miskin. Lengkap sudah penderitaan Gendhis.

Karin datang menawarkan uang yang banyak. Ia juga bersedia membiayai semua prosedur operasi plastik di negeri ginseng. Asal Gendhis bersedia meminjamkan rahim untuknya dan Galang.

"Aku tahu kamu enggak cinta sama Mas Galang. Itu bagus, jadi aku tidak perlu cemburu padamu. Dengan wajah cantik bak artis Korea, aku jamin mantan suamimu akan tergoda, bagaimana?" Karin terus merayu dan membujuk Gendhis agar bersedia menerima tawaran darinya.

"Kalau boleh, aku minta waktu untuk berpikir ya, Mbak,” pinta Gendhis.

Tidak lantas tergiur dengan tawaran Karin, Gendhis meminta waktu untuk memikirkan masak-masak. Apa iya ia perlu membalas dendam kepada Rifin dan Nisa? Bukankah ia sendiri telah merelakan mereka menikah dengan menyetujui perceraian dengan Rifin.

Tergopoh-gopoh karena gerimis, Gendhis dengan sekantong penuh camilan menuju area parkir.

BRUK!

"Maaf, Mbak!" ucap seorang pria yang suaranya sudah tidak asing lagi, Rifin.

Ia membantu wanita yang pernah dinikahinya itu memungut belanjaan yang berserakan karena tabrakan di antara keduanya tadi.

"Lho, kamu? Kukira siapa? Soalnya makin gede aja, sebesar rumah, hahaha ...!" ejek Rifin yang tidak peduli apakah kata-katanya akan menyakiti Gendhis atau tidak.

Gendhis hanya bisa menelan ludah tatkala hinaan itu kembali terdengar dari pria yang sampai detik ini masih ia cintai. Beberapa bulan tidak berjumpa. Pria itu tampak makin bening. Kulitnya seputih salju, badannya seksi seperti bintang iklan susu L-Men.

Tak lama kemudian, seorang perempuan berperut buncit tetapi tidak gemuk, datang menyusul suaminya.

"Katanya mau ambil payung di mobil? Oh, ternyata ketemuan sama mantan?" ujar perempuan itu dengan wajah sinis.

‘Astaga, Nisa juga makin glowing. Badannya tetap body goal sekalipun sedang mengandung,' batin Gendhis yang iri melihat betapa cantiknya istri baru Rifin.

"Enggak, Honey! Ini tadi dia sengaja nabrak aku. Jangan cemburu dong! Ntar cantiknya nambah lho!" goda Rifin pada Nisa, istrinya.

"Idih, aku cemburu sama Dugong? Enggak ada yang lebih imut apa? Misalnya kerbau atau lembu, hahaha ...." ejek Nisa menertawakan penampilan Gendhis yang makin gemuk setelah beberapa bulan tak bertemu. Kemudian keduanya pergi meninggalkan Gendhis dengan suara tawa yang makin menghilang.

Gendhis terus menatap keduanya berjalan dan berhenti di samping mobil berwarna putih. Rifin mengambil sebuah payung, lalu memayungi istrinya dan berjalan melintas kembali di depannya. Tanpa menoleh ke arah Gendhis, mereka kembali ke dalam gedung pusat perbelanjaan.

Kata siapa suami yang memilih pelakor hidupnya berantakan? Mungkin Rifin dan Nisa adalah pengecualian atau kebanyakan. Keduanya semakin harmonis dan sekarang justru kaya. Rifin juga makin tampan dan terurus, begitu juga Nisa yang makin cantik dan glamor dengan barang-barang bermerek. Sedangkan Gendhis sendiri, tidak ada perubahan apa pun kecuali bertambah menderita gemuk dan menderita.

"Willy, si Rifin sekarang kaya, ya?" tanya Gendhis ketika ia telah sampai di tempat sahabatnya yang bekerja sebagai pegawai salon kecantikan.

"Emberan," jawab Willy singkat.

"Kok bisa?!” tanya Gendhis penasaran.

"Rejeki istri soleha dong. Emang elu, binal,” jawab Willy bernada geram tapi sebenarnya bercanda.

"Ish, serius aku, Will!"

"Itu si Rifin sekarang manajer di restoran tempat mereka kerja. Terus, si Nisa jadi supervisor di sana. Emang, ya, hemmm. Rejeki enggak kemenong,” pungkas Willy kemudian.

Mujur sekali nasib Rifin dan Nisa. Sudahlah serasi, beruntung di segi ekonomi, melihat dan mendengar itu semua tentunya rasanya sakit sekali bagi Gendhis. Melihat keduanya bahagia dengan semua pencapaian itu seolah membuat Gendhis berpikir bahwa karma adalah omong kosong.

"Halo, Mbak Karin! Aku Gendhis, tawaran yang kemarin itu, aku sudah memutuskan."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel