SEMAKIN TERSAKITI SEMAKIN MEMPERCANTIK
Gendhis yang akhirnya menerima tawaran dari Karin, mantap untuk membalas dendam kepada mantan suami juga mantan sahabatnya. Namun, itu artinya ia juga harus bersedia memberikan keturunan kepada Galang. Sungguh harga yang harus dibayar sangatlah mahal. Akan tetapi, hanya dengan begitu ia akan bisa membungkam mulut-mulut yang pernah menghinanya karena gemuk dan jelek.
"Dhis, nanti kalau elu udah cantik, cetar, kayak Jennie Blackpink jangan lupa sama gue, ya!" pesan Willy pada Gendhis saat mengantarnya ke bandara internasional.
"Iya, kamu enggak mungkin kulupakan, Will," jawab Gendhis.
"Cepetan balik kesindang, jangan lama-lama! Terus, titip salam buat Oppa-oppa di Korea!" ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
"Jangan sedih dong! Aku begini supaya bisa balas dendam sama mereka."
"Bagaskara! Gue suka gaya elu!"
"Bagaskara siapa?!" tanya Gendhis heran.
"Iih, puspa gue ngomong sama elu. Bagaskara itu artinya bagus, mantap, cocok, Hem!"
Dasar Willy, seharusnya Gendhis yang pusing menanggapi bahasanya. Akan tetapi, memang hanya dia satu-satunya teman Gendhis saat ini. Kini, Gendhis harus berangkat ke negeri ginseng untuk menjalankan misi balas dendam. Entah berapa bulan wanita itu harus tinggal di sana. Gendhis juga tidak berani berpamitan kepada ayahnya di kampung. Keputusannya untuk menjalani serangkaian operasi plastik tentu tidak diketahui sama sekali oleh keluarganya.
Gendhis memotret dirinya di depan kaca toilet. ‘Akan kusimpan, ini adalah terakhir kalinya kulihat tubuh tambun dan wajah buruk ini. Saat aku terbangun nanti, aku akan menjadi orang lain. Wanita cantik yang dipenuhi dendam di dalam hatinya,’ batin Gendhis yang kemudian menitikkan air mata.
"Rifin, Nisa, tunggu saja pembalasanku,” gumamnya.
Meja operasi, di tempat itulah wanita itu mempertaruhkan semuanya demi sosok yang baru untuk raganya. ‘Ah, apakah aku orang yang tidak mensyukuri nikmat sang pencipta? Tunggu? Nikmat yang mana? Ditinggal suami karena gemuk dan jelek, apakah itu yang harus disyukuri?’
‘Willy benar, jika ingin dipertahankan, maka aku harus memantaskan diri sebagai orang yang patut dipertahankan.’
‘Rifin juga benar, lebih baik pergi daripada bertahan tapi tersiksa. Iya, dia tersiksa karena harus bersanding dengan wanita jelek sepertiku.’
‘Nusa juga benar, ia tidak perlu cemburu pada Dugong, kuda nil, dan kerbau sepertiku. Cemburu itu bukan tanda cinta. Cemburu itu adalah pengakuan pada diri sendiri atas kekurangan pada diri sendiri. Ya, dibandingkan diriku, Nisa jauh lebih sempurna, untuk apa cemburu?’
Setiap malam sebelum tidur, Gendhis selalu mengingat perkataan mereka semua. Kini, ia telah percaya kepada dirinya sendiri bahwa keputusannya kali ini adalah benar.
"Terima kasih! Eh, maksudku ... thank you!" ucap Gendhis pada seorang wanita Korea penjaga toko buah. Sudah empat bulan ia melalui masa pemulihan. Hari ini, Gendhis berjalan-jalan sebelum kembali ke Indonesia Minggu depan. Karin sudah terus-menerus menelepon agar ia segera menemui Galang.
"Hallo! Wait!" teriak seorang pria berwajah oriental, tetapi Gendhis yakin dia bukan asli warga negara Korea.
"Yes, Sir?" jawab Gendhis setelah menghentikan langkah.
"Maaf, aku tadi mendengarmu mengucapkan terima kasih. Apakah kamu orang Indonesia?" tanya pemuda yang bernama Novan.
Novan, wisatawan asal Indonesia itu baru saja terpisah dari rombongannya. Akan tetapi, sayangnya dia bertemu dengan orang yang kurang tepat. Karena Gendhis sendiri sama sekali tidak paham dengan lokasi sekitar. Ya, ini adalah kali pertama bagi Gendhis meninggalkan apartemen yang sengaja disewa oleh Karin untuknya selama tinggal di Korea. Hanya klinik kecantikan dan apartemen rute yang setiap hari ia lalui.
Karena tidak bisa membantu menemukan rombongan Novan. Ia pun mempersilakan pria itu untuk beristirahat di apartemennya. Dengan begitu Novan juga bisa mengisi daya agar bisa menghubungi teman-temannya.
"Kamu tinggal di sini sendiri?" tanya Novan yang dibalas dengan anggukan kepala oleh Gendhis
"Gimana? Bisa menghubungi rekanmu?" tanya Gendhis.
"Emm, sebenarnya aku memang sengaja kabur,” jawab Novan.
"Apa?!"
Salah satu dari rombongan wisata itu adalah wanita yang dijodohkan dengannya. Menurut Novan, ia tidak setuju dengan perjodohan tersebut. Si wanita adalah janda kaya raya yang memiliki usia sebelas tahun lebih tua darinya.
Usut punya usut, perusahaan ayahnya diambang kebangkrutan. Cara satu-satunya adalah mencari pinjaman modal yang sangat besar dan ternyata wanita itulah satu-satunya investor yang bersedia. Hanya saja, semua tidak berjalan dengan lancar. Mereka masih terbelit hutang yang mengharuskan sang investor kembali untuk turun tangan menggelontorkan dana pinjaman pada perusahaan dengan jumlah yang fantastis. Merasa berhutang budi dan materi, Ayah Novan mengatur perjodohan keduanya demi kerja sama yang tidak akan putus.
"Kamu dijual ayahmu?" tanya Gendhis ragu.
"Emm, kok ngeri kedengarannya? Tapi ya ... begitulah! Kamu sendiri di sini ngapain? Kerja, kuliah, atau apa?" Novan balik bertanya.
"Ah, aku ... aku istri simpanan," jawab Gendhis asal.
"Oh ... patutlah!"
"Patut? Maksudnya?"
"Ya, wanita cantik dan seksi sepertimu biasanya memang simpanan pria kaya raya. Melihat tempat tinggalmu ini, tentu harga sewanya fantastis. Hem ...."
Keduanya saling pandang, sesekali menyipitkan mata. Gendhis yakin jika saat ini Novan sedang berpikir yang tidak-tidak tentangnya. Padahal apa bedanya mereka? Keduanya sama-sama akan menikah dengan orang yang tidak mereka cintai hanya demi uang.
"Novan!"
"Hem!"
"Apa aku terlihat seperti orang Korea?" tanya Gendhis mencari topik pembicaraan.
"Iya, awalnya kupikir kamu orang Korea. Ternyata Mbak-mbak," jawabnya ketus.
"Hei! Memangnya kenapa kalau aku ternyata Mbak-mbak? Dari pada kamu, sebentar lagi akan menikahi Bude-bude, hahaha ...." balas Gendhis.
Tak terima dengan ejekan dari Gendhis. Pria itu melempar bantal ke mukanya. Tak mau kalah, ia membalasnya. Keduanya pun akrab dalam sekejap. Seperti anak-anak yang berlarian di dalam rumah. Hingga akhirnya, Gendhis terjatuh di atas tempat tidur bersama Novan.
Pandangan mata bertemu, berkali-kali menelan ludah karena gugup. Sesekali pria itu menyapu bibir merahnya dengan lidah. Sangat dekat, hingga keduanya bisa saling mendengar napas masing-masing yang terengah-engah setelah berlarian. Novan mendekatkan wajahnya pada Gendhis, sangat dekat, dan hampir ....
"Ah, aku harus menelepon ibuku," ucap Gendhis mengejutkan Novan yang sontak membatalkan adegan saling cium itu.
‘Astaga, padahal ibuku sudah lama meninggal saat melahirkanku. Bodoh sekali diri ini, kenapa harus ibu, kenapa bukan yang lain?’ batin Gendhis.
Setelah pergi ke balkon dan pura-pura berbicara dengan orang di telepon. Gendhis kembali ke dalam. Pria itu tampak tengah duduk di atas sofa sembari mengganti-ganti saluran televisi. Perlahan, Gendhis duduk di sebelahnya.
"Kesal, ya?" tanya Gendhis dengan hati-hati.
"Eh, enggak. Kenapa?"
"Minggu depan aku kembali ke Indonesia. Kamu?"
"Ikut," jawabnya singkat.
Tanpa ba-bi-bu, pria itu tiba-tiba menyergap lalu menindih Gendhis. Sorot matanya tajam, mengintimidasi agar Gendhis tidak menghindar lagi. Jantung Gendhis berdegup kencang, bertalu-talu bagai genderang perang.
‘Astaga, mati aku,’ batin Gendhis.
Hari ini, Gendhis merindukan tubuh gemuknya yang dulu. Sekarang ia terlalu mungil untuk melawan tubuh pria yang mendekapnya begitu kuat.
"Tunggu! Jangan buru-buru! Aku belum siap,” ujar Gendhis.
"Idih, kepedean. Memangnya aku mau ngapain kamu?" potong Novan disertai cengkraman yang mengendur.
"Eh ...." Malunya Gendhis, ternyata Novan tidak hendak melakukan apa-apa padanya. Pria itu tertawa terbahak-bahak karena berhasil dengan tipuan yang pura-pura beringas terhadap Gendhis.
"Dasar semprol!" umpat Gendhis pada Novan yang masih belum bisa berhenti tertawa.
Setelah hari itu, setiap hari sebelum kembali ke Indonesia. Waktu keduanya lalui dengan penuh canda tawa. Saling mengerjai satu sama lain. Ini adalah liburan bagi mereka, karena setelah ini, mereka akan dihadapkan pada kenyataan pahit dan getirnya kehidupan. Novan dengan janda tua kaya raya, sementara Gendhis dengan Galang.
Namun, keduanya sepakat akan selalu saling support. Pertemanan di antara Gendhis dan Novan dipastikan tidak hanya saat ini saja. Akan tetapi, ketika di Indonesia nanti ini semua tidak akan berakhir.